Sabtu, 31 Mei 2014

Komunitas Panjang Umur



Date: Sat, 31 May 2014 12:03:40
Minggu Paskah VII (A)
Kis 1:12-14, 1Ptr 4:13-16, Yoh 17:1-11
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Di sebelah Tenggara Roma, sekitar 160 kilometer, terdapat sebuah kota kecil miskin disebut Roseto Valfortore. Penduduknya bekerja di tambang marmer dan perkebunan sekitarnya - benar-benar kehidupan yang susah. Di akhir abad ke-19 penduduk kota itu mengadu nasib ke tanah harapan yang disebut Amerika, dan membangun sebuah kota di Pennsylvania. Di sana mereka memulai tambang batu tulis. Sepuluh tahun kemudian 1200 penduduk kota di Italia itu sudah pindah ke kota di Amerika yang mereka beri nama sama: Roseto. Ketika penyebab kematian sebagian besar penduduk Amerika adalah sakit jantung karena rokok, alkohol, dan obesitas, di Roseto hanya sedikit sekali orang yang meninggal karena sakit jantung. Padahal, mereka suka makan dan melakukan kebiasaan yang sama. Mereka meninggal lanjut usia.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Dokter Stewart Wolf. Ia mencari penyebab penduduk Roseto bisa panjang umur. Bukan diet. Bukan faktor genetik. Bukan karena anggur. Mereka bahkan kelebihan berat badan karena makan daging merah, sosis, salami, ham, telur, susu, dan manisan-manisan. Wolf menemukan bahwa orang-orang ini makan sama saja dengan semua orang lain. Hanya satu bedanya. Mereka hidup sangat aktif di kota itu, tinggal di rumah bertingkat bersama dua hingga tiga generasi keluarga, banyak bicara di jalan dan di tempat bekerja, makan bersama keluarga besar, ngobrol sana sini. Hanya itu yang membedakan: komunitas. Mereka panjang umur karena hidup dalam komunitas yang aktif dan penuh semangat.

Yesus, dalam Injil yang kita dengar hari ini, menghadapi kematian yang sudah pasti. Kata-kata dan doa-Nya ini terakhir kali diucapkan sebelum Ia dijemput paksa oleh prajurit untuk disalibkan. Pertanyaan besar ialah: bagaimana Ia menyampaikan pesan penting Kerajaan Allah kepada mereka yang tak pernah dijumpai-Nya secara pribadi? Jawaban atas pertanyaan itu ada dalam doa-Nya: "Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita." Yesus sudah tahu bagaimana Kabar Gembira akan disebarkan ke seluruh dunia, yakni melalui 'komunitas' para murid-Nya.

Itulah 'hidup kekal', yakni pengenalan murid-murid-Nya akan kesatuan Allah Tritunggal dalam persaudaraan dan kesatuan mereka. Yesus berdoa untuk kesatuan komunitas murid-murid-Nya, sebab mereka sudah "mengenal Bapa, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus yang diutus Bapa." 'Mengenal' dalam pandangan Yohanes selalu adalah keakraban dan kedekatan yang sangat personal, sangat intim. Komunitas adalah 'cara' yang dikehendaki Yesus agar dilakukan para murid-Nya agar mengalami hidup yang kekal itu!

Komunitas-komunitas yang kita alami sekarang ini bermacam-macam. Sebagian besar tidak ideal. Sebagian besar justru membuat kita sering sakit kepala, sedih, atau kecewa. Kita bisa menulis daftar kelakuan yang membuat komunitas kita makin rusak, antara lain bicara di belakang punggung, gosip, kata-kata sinis dan sindiran, ketidakpedulian, dan sikap-sikap emosional. Itu hanya sebagian penyebabnya. Komunitas yang kita ikuti sebenarnya punya tujuan yang baik dan bahkan rohani, tetapi entah mengapa kita cepat sekali tergoda untuk bersikap seperti itu dan terlalu gengsi untuk minta maaf dan memperbaiki diri. Sungguh disayangkan bahwa kebersamaan yang mestinya adalah sumber kekuatan yang luar biasa dinodai sikap-sikap negatif yang tidak Kristiani. Itukah sebabnya lalu banyak yang keluar?

Gambaran yang mengesankan tentang komunitas kita baca dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I). Para rasul, 'setelah' kembali dari bukit tempat Yesus terangkat ke surga, tiba di kota dan naik ke ruang atas. Bersama Maria, ibu Yesus, dan beberapa perempuan lain, "mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama". Sungguh indah dan menyenangkan kebersamaan itu! Sejak Yesus
terangkat ke surga, para murid Yesus segera teringat pesan dan doa terakhir yang pernah mereka dengar itu: supaya mereka menjadi satu, sama seperti Yesus dan Bapa. Kesatuan itu hanya bisa dijaga dengan doa bersama, sama persis dengan cara Yesus ketika berdoa kepada Bapa demi kesatuan murid-murid-Nya. Hidup kekal dimulai dari kesatuan komunitas.

Dengan merenungkan hal itu, kita tidak mau melupakan kenyataan konflik dan perbedaan yang sering mengganggu kebersamaan. Yesus pun dahulu sudah melihat benih-benih perpecahan itu di antara murid-murid-Nya. Akan tetapi, konflik itu bukan kata akhir, bahkan adalah sebuah kesempatan untuk 'memberi tempat' kembali kepada Allah di tengah-tengah kebersamaan komunitas. Kita sering lupa untuk "sehati dalam doa" kalau sedang merasa senang dalam kebersamaan. Itu sebabnya ada yang mengatakan bahwa kita mungkin hanya 'teman dalam suka', bukan dalam segala peristiwa yang dihadapi bersama.

Apakah doa bersama masih menjadi kebiasaan dari komunitas kita? Apakah kita masih saling mendoakan seperti Yesus mendoakan para murid-Nya? Doa bersama mungkin sering kita lakukan, tapi sebaiknya itu juga mengubah dan memperbaiki sikap kita satu terhadap yang lain. Kalau komunitas kita aktif dan penuh semangat, kita mengalami hidup yang kekal, yang panjang umur.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar