Date: Sat, 14 Jun 2014 11:13:32
Hari Raya Tritunggal Mahakudus (A)
Kel 34:4b-6.8-9, 2Kor 13:11-13, Yoh 3:16-18
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Seorang ibu mempunyai delapan anak. Terbayang
betapa repotnya mengurusi anak-anak
itu, mulai dari saat mereka harus makan. Ketika sebagian dari mereka masih kecil, ibu ini harus
berjuang supaya mereka mau makan, padahal
tidak semua anaknya gampang makan. Dalam usahanya, ibu ini menemukan
cara terbaik. Ia selalu berbuat
seakan-akan hendak makan untuk diri sendiri, mengambil cukup banyak porsi di piringnya. Lalu ia mulai makan
dari tangannya, tanpa sendok.
Melihat ibunya makan, dan karena sepertinya enak, satu per satu anak-anak pun mendekat dan minta disuapi. Akhirnya
ibu itu berkali-kali menambah nasi
dan lauk di piringnya, sampai anak-anak kenyang. Setelah dewasa mereka mengatakan, bahwa makan paling enak adalah
disuapi ibu, sebab yang membuat
enak adalah tangan ibu.
Orang sekarang susah memberi, apalagi memberikan
diri. Kebanyakan orang berjuang
untuk mengumpulkan dan menyimpan bagi diri sendiri. Itu sebabnya kalau ada pemberian, seringkali itu
adalah bagian yang mau dibuang, yakni sisa-sisa
yang tidak dibutuhkan sendiri. Kita selalu diajar untuk bisa mandiri, mencukupi kebutuhan kita, tapi
menafsirkannya kaku dan berlebihan. Kita
tidak lagi belajar memberi. Akibatnya, dalam relasi kita semakin kurang dikenal. Kita menjadi pribadi yang
misterius, bertahan dengan orang-orang tertentu
saja yang dianggap 'memahami' diri kita. Untunglah Allah kita tidak seperti itu.
Injil hari ini nampaknya tidak bicara langsung
tentang Allah Tritunggal, tetapi
persis menggambarkan inti kehadiran-Nya di dunia: Kasih. "Begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia telah memberikan Anak-Nya yang
tunggal." Yesus menggambarkan betapa Allah yang adalah Kasih itu
dikenal pertama-tama karena Ia
memberikan Diri-Nya sendiri dalam Putra-Nya yang tunggal. Dengan begitu Ia meyakinkan para murid bahwa kehadiran
Yesus adalah kehadiran Allah
sendiri. Kehadiran Yesus dalam Roh Kudus yang diutus-Nya setelah Pentakosta pun adalah kehadiran Allah sendiri. Itulah
sebabnya Yesus meminta para murid
untuk percaya kepada-Nya, bahwa Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa. Kalau percaya, mereka
akan mengenal dan mengalami Allah yang memberikan
Diri-Nya sendiri itu.
Yesus segera menggambarkan bahwa Allah dapat
dialami sebagai Kasih karena tindakan
'memberi'. Allah tidak mau membiarkan Diri-Nya serba misterius bagi dunia. Itu sebabnya Ia bertindak,
memberikan Diri-Nya dalam Yesus supaya dunia
mengenal-Nya dan percaya. Kisah pemberian diri ini kelak dilakukan juga oleh Yesus ketika tergantung di
kayu salib. Dari Injil Yohanes ini saja kita
segera mengerti bahwa kasih, bagi Yesus, hanyalah memberi, bukan mengambil untuk menyimpan bagi diri
sendiri. Allah pun selalu bergerak ke arah
manusia.
Salah satu ironi kebersamaan kita bisa dilihat
dalam hal partisipasi. Di zaman
ini, baik di masyarakat ataupun Gereja, kasih bisa diukur dengan partisipasi. Kita mungkin mengira bahwa
kasih itu soal relasi yang (nampaknya)
baik-baik saja, padahal yang paling riil dialami adalah partisipasi kita di dalamnya. Partisipasi itu jelas bukan hanya
minta supaya nama kita
dicantumkan, jumlah sumbangan kita tertulis jelas, atau wajah kita masuk dalam foto bersama. Sebaliknya,
partisipasi kita adalah waktu, tenaga, kehadiran,
perhatian, doa, dan jerih payah yang kita 'berikan'. Dan sayang sekali, hal-hal terakhir ini tidak
pernah bisa diwakili oleh sekedar foto dan
buku kenangan. Pengalaman memberikan apa yang berharga bagi diri kita sendiri akan selalu mengesan dan
membekas di hati orang lain. Kesan itu abadi
meski tanpa foto.
Di bagian Kitab Keluaran sebelum yang kita dengar
dalam Bacaan I, Musa dikisahkan
memohon belas kasih Allah atas bangsa Israel yang telah membuat patung lembu emas. Namun, bukan hanya
itu. Musa pun memohon supaya Allah berkenan
memperlihatkan wajah-Nya. Allah bersabda bahwa Musa takkan tahan melihat wajah-Nya, namun Ia akan lewat,
dan Musa hanya akan melihat belakang-Nya
(Kel 33:23). Dalam bacaan hari ini, Allah berjalan "lewat di depan Musa" lagi, sambil
menyerukan siapakah Dia, "Aku adalah Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih
setia!" Musa belajar mengenal
dan mengalami Allah bukan dari wajah-Nya, tetapi dari tindakan-Nya "berjalan di tengah-tengah kami" dan
bahwa Allah adalah Kasih setia
yang melimpah kepada umat manusia.
Bukankah kita jauh lebih mudah mengenali Bapa,
Putra, dan Roh Kudus dari pemberian-pemberian-Nya
yang riil? Pada saat mengenali Yesus, kita mengalami sendiri Allah yang kasih-Nya begitu melimpah sekaligus mau
berjalan di tengah-tengah kita.
Pengalaman kita dikasihi oleh Allah di setiap saat dalam hidup kita 'adalah' pengenalan yang jauh melebihi sebuah rumusan
teologis tentang Dia. Percaya
kepada Yesus membawa kita pada pengenalan akan Bapa dan Roh Kudus.
Allah Tritunggal adalah Kasih yang memberikan
Diri-Nya sendiri seutuhnya. Ia seperti
seorang ibu yang menyuapi anak-anaknya dengan makanan dari piringnya sendiri. Allah melakukan itu karena Ia
ingin dikenal, berada dekat, dan dikasihi
juga oleh manusia, ciptaan-Nya. Semoga kita mau mendekat, mengenal, dan mengalami Dia dalam setiap tindakan
Kasih-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar