Date: Sat, 21 Jun 2014 10:17:35
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus (A)
Ul 8:2-3.14b-16a, 1Kor 10:16-17, Yoh 6:51-58
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Anak-anak yang makan terlalu cepat biasanya ditegur
oleh orangtua mereka. Biasanya
anak-anak makan cepat-cepat karena mau pergi main lagi. Saat-saat makan itu kurang menarik bagi mereka.
Bermain lebih menyenangkan. Itu sebabnya
para orangtua mesti susah payah berjuang agar anak-anak ketika makan mau duduk dengan tenang. Segala cara
dilakukan, dan tidak selalu berhasil.
Kadang-kadang harus bercerita atau menunjuk ke sesuatu yang aneh sambil menyuapi. Kebiasaan buruk ini
berlanjut ketika orang sudah dewasa. Makan
justru semakin dipersingkat, kalau perlu dilakukan sambil bekerja, atau cukup dengan membeli 'fast food'
yang tersedia di mana-mana.
Pernahkah kita menghitung waktu makan kita? Tanpa
disadari, pada saat makan, pikiran
kita sudah mengembara ke aktivitas selanjutnya yang kita rencanakan. Sama saja, kita tidak bisa duduk 'tenang'.
Barangkali kecenderungan ini mirip
dengan yang terjadi saat kita berdoa dan membaca Kitab Suci. Pikiran kita ribut. Hati kita kalang kabut.
Sudah sering terjadi di saat hening berdoa
sendiri, bayangan kita melayang-layang ke segala kejadian, dan kita harus bersusah payah untuk tetap fokus
pada Sabda Tuhan yang kita baru saja baca.
Betapa susahnya berkonsentrasi justru dalam hal yang rohani. Itulah ironi.
Kalau diamati dengan seksama perbincangan Yesus dan
orang-orang 'Yudea' (yang lebih
banyak menentang Dia), ada tegangan yang dengan sangat jeli ditangkap oleh Yohanes. Kalau dalam
percakapan dengan Nikodemus (Yoh 3) Yesus
mengarahkan pembicaraan pada hal yang spiritual, di sini justru sebaliknya: Yesus menentang setiap
usaha 'spiritualisasi' atas sabda tentang
Diri-Nya sebagai makanan. Bagi orang Yahudi, makan "daging yang
masih ada nyawanya, yakni
darahnya" itu dilarang (Kej 9:4 dan juga Im 3:17). Itulah sebabnya orang-orang Yudea itu
tersinggung dan bertengkar di antara mereka. Dan Yesus menuang minyak ke dalam api dengan bersabda lagi bahwa
yang dimaksudkan-Nya ialah
'mengunyah' (Yun. 'trogo'), lebih dari sekedar memakan (Yun. 'esthio').
Injil Yohanes bab 6 memang berbicara tentang
Ekaristi. Sebelum persoalan 'kehadiran
riil' menjadi perdebatan, komunitas Yohanes di akhir abad pertama sudah bergulat dengan soal komuni suci.
Yesus bersabda, "Barangsiapa 'mengunyah'
daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia." Kata kuncinya adalah
'tinggal'. Yesus, dalam permenungan Yohanes,
sungguh-sungguh menghendaki para murid-Nya terus menerus 'tinggal' dalam Dia, mendengarkan sabda-Nya,
menyantap Tubuh-Nya, meminum Darah-Nya. Hanya
itu yang menjamin kesatuan iman dan hidup yang "selama-lamanya" itu. Hidup kekal ada di dalam Ekaristi.
Hidup sehari-hari kita mungkin bisa dibahasakan
dengan satu kata: tergesa-gesa.
Kita bersikap di depan banyak hal, dan bukan hanya dalam hal makan, serba efektif dan serba segera.
Kita merasa bersalah kalau suatu saat merasa
telah membuang-buang waktu. Bahkan, perjumpaan dengan beberapa orang pun kita anggap sebagai kejadian yang
tidak berguna. Duduk diam itu menggelisahkan
bagi banyak orang. Kita merasa harus aktif, menghasilkan sesuatu, melakukan apa saja. Oleh karenanya, wajar kalau di sore
hari kita sering merasa kelelahan.
Kita sudah tidak punya energi lagi untuk hal-hal yang rohani, untuk hadir di pertemuan lingkungan, apalagi
membaca sabda Tuhan. Dengan
kacamata berbeda, kita bisa dikatakan lupa dengan tujuan hidup kita sendiri, lupa dengan yang paling
berarti dalam hidup kita.
Khotbah Musa kepada umat Israel, dalam bacaan I
(Kitab Ulangan), mengingatkan
'maksud' Tuhan memberikan manna "yang tidak kau kenal dan juga tidak dikenal oleh nenek
moyangmu." Maksud Tuhan tiada lain adalah untuk "merendahkan hatimu" dan "membuat engkau
mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari
roti saja, tetapi dari segala yang diucapkan Tuhan." Yang 'diucapkan' Tuhan, bagi umat Israel, adalah persis
yang 'dilakukan-Nya' ketika membebaskan
mereka dari perbudakan di Mesir. Mereka mesti rendah hati supaya bisa mengerti. Tuhan tidak mungkin
membebaskan lantas membiarkan mereka mati
di padang gurun. Tuhanlah alasan bahwa mereka masih hidup!
Kita mungkin mencari-cari alasan untuk membuat
Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi
menjadi 'masuk akal', dan sering memang tidak menemukannya. Sebabnya ialah kita masih sulit untuk
'tinggal' dalam Yesus. Pikiran, badan, dan
hati kita senang mengembara, terlalu banyak bermain atau juga lari ke dalam pekerjaan yang serba efektif dan
menghasilkan itu. Selama tidak mengubah
rasa percaya kita menjadi kesatuan yang intim dengan Yesus, kita belum memperoleh hidup, juga belum akan
mengerti bahwa Ekaristi adalah sumber
kekuatan yang luar biasa. Bukan kepandaian, tapi kerendahan hati yang diperlukan.
Tubuh dan Darah Kristus jelas bukan 'fast food'.
Kita mesti berkumpul bersama dalam
iman yang diajarkan-Nya itu: iman yang menyatukan secara intim bersama saudara-saudara yang lain. Kita
mesti hadir langsung, mendengarkan perkataan
Yesus, mencernanya dalam hati, bersyukur dan memandang-Nya ketika diangkat di altar, dan mengunyah-Nya
dalam komuni suci. Itu semua adalah hidup
Allah yang diberikan kepada kita, saat kita mau 'duduk tenang' dalam Dia.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar