Sabtu, 19 Juli 2014

Iman yang Berbobot: Rendah Hati

19 Juli 2014
Keb 12:13.16-19, Rom 8:26-27, Mat 13:24-30
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Gemas terhadap anak kecil berbeda sekali dengan gemas terhadap orang dewasa. Anak-anak dan bayi, kalau tidak sedang rewel, memang menggemaskan. Bagi sementara orang, tingkah mereka bisa mendorong untuk tertawa dan bersikap mengidolakan. Kepolosan anak-anak mampu mengingatkan kita akan hal-hal yang mungkin tak pernah kita rasakan dan alami seumur hidup. Perasaan gemas yang muncul menggambarkan keinginan kita untuk mengalami lagi kepolosan yang apa adanya seperti itu, disayangi dan dilindungi dengan kasih yang sehat.

'Gemas' terhadap orang dewasa itu lain lagi. Biasanya ini disebabkan hal yang sebaliknya, yakni tingkah lakunya yang menyebalkan dan menjadi lebih parah lagi tatkala semua orang nampaknya membiarkannya. Hal terakhir itu paling menentukan, sebab ketika sesuatu yang tidak adil bahkan jahat seakan-akan dibiarkan saja terjadi, hati nurani kita terusik dan tidak bisa diam lagi. Kita merasa 'harus' menegur atau melakukan sesuatu supaya kelakuan orang tidak semakin menjadi-jadi. Nah, gemas di sini dianggap sebagai ungkapan dari hati yang tidak terima ketika melihat  sesuatu yang tidak baik dibiarkan terjadi. Ada yang menyebut hal ini sebuah maksud baik. Apakah harus diperbuat, itu soal lain. Tidak semua maksud baik kita baik untuk dilakukan.

Kebijaksanaan Yesus dalam bersikap terhadap kejahatan dan Iblis selalu berasal dari gambaran Allah Sang Penabur yang dikisahkan sebelumnya. Benih lalang itu dikatakan berasal dari 'seorang musuh' yang dipahami sebagai manusia yang bermaksud jahat (Yun. 'exthros anthropos'). Jadi, Iblis ini tidak setara dengan Allah, melainkan hanya dengan manusia. Manusia jahat inilah yang menebarkan benih lalang di antara benih gandum. Itu sebabnya hamba-hamba tuan ladang itu yang punya 'maksud baik' bertanya, "Maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu?" Jawaban tuan itu, yang adalah jawaban Allah dalam perumpamaan ini, sungguh mengagumkan: "Jangan. Ampunilah mereka agar tumbuh bersama sampai waktu menuai tiba."

Matius memakai sebuah kata yang muncul 156 kali dalam Perjanjian Baru, yakni 'aphete' (Yun.), yang dapat diterjemahkan 'izinkanlah', 'biarkanlah', tetapi justru paling sering berarti 'ampunilah'. Mungkin lebih banyak lagi terjemahan kata itu perlu dipahami sebagai perintah untuk mengampuni. Yesus menggambarkan bahwa wajah Allah pertama-tama adalah sosok yang murah hati, pengampun, dan 'membiarkan'. Kalau Allah membiarkan, itu karena Ia pengampun dan kejahatan manusia akan diselesaikan pada pengadilan terakhir, yakni ketika lalang itu "dikumpulkan dan diikat berberkas-berkas untuk dibakar". Maksud baik manusia tidak akan cukup untuk menyelesaikan persoalan kejahatan. Hanya 'waktu Allah' yang akan menyelesaikannya.

Bisa dibayangkan, bila keyakinan ini dipakai dalam hidup sehari-hari, kita akan segera protes. Kita biasanya sangat tidak tahan, benar-benar gemas, melihat kekacauan, ketidakadilan, dan kejahatan. Sebagian orang cepat bereaksi dengan bersuara keras atau membasminya dengan berani. Kita salut pada orang-orang seperti ini, tetapi juga prihatin karena ketidakadilan itu seakan-akan tak ada habisnya. Layaknya korupsi, dipangkas di satu tempat, tumbuh lebih subur di tempat lain. Kalau tak mampu bertahan menghadapinya, kita bisa frustrasi. Entah berapa banyak orang beriman yang bermaksud baik dan gigih melawan ketidakadilan, tetapi semakin terpuruk dan malah diserang banyak pihak. Kita mengira bisa membereskan kejahatan.

Kitab Kebijaksanaan Salomo (Bacaan I) menyiratkan jawaban yang melegakan atas kebingungan kita. "Allah memelihara dan menyayangkan segala-galanya. Ia mengadili dengan belas kasihan, dan sangat berhati-hati memperlakukan kita. Ia mengajar bahwa orang benar harus sayang akan manusia. Ia memberi kesempatan bertobat bila mereka berdosa". Gambaran Allah yang menyayangkan segala-galanya itu sangat mendewasakan. Sekalipun mahakuasa, Ia tidak begitu saja menghancurkan orang-orang yang berbuat jahat, sebab mereka pun diberi kesempatan untuk bertobat. Jadi, ketika 'membiarkan', Ia sesungguhnya memberi kesempatan agar orang, dengan sadar membersihkan diri, bertumbuh sebagai benih yang baik, dan berbuah.

Lebih dari pesan bagi orang yang melakukan kejahatan, Injil hari ini ditujukan kepada kita semua yang punya maksud baik namun mungkin tergoda untuk terlalu cepat bereaksi. Kita tidak diminta untuk menjadi polisi moral bagi sesama. Kita tidak perlu mengadukan skandal atau dosa orang lain supaya ia memperoleh hukuman yang setimpal dengan perilakunya. Mengampuninya berarti 'membiarkannya' dalam kebijaksanaan Allah, yaitu memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena tak berbuah, lalang tegak menjulang di antara gandum. Sebaliknya, karena makin berbobot, gandum justru merunduk. Saat dituai, lalang mudah dibersihkan, dan tersisalah gandum yang baik itu.

Meskipun sering gemas terhadap dosa dan kejahatan orang lain, kita diajak untuk mengampuni mereka. Kita sendiri mesti tetap berbuah dengan setia, semakin berbobot dan rendah hati dalam wujud iman kita. Allah kita menyayangkan segala-galanya; semoga kelak Yesus mengumpulkan kita ke dalam lumbung kerajaan-Nya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar