Keb 12:13.16-19, Rom 8:26-27, Mat 13:24-30
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Gemas terhadap anak kecil berbeda sekali dengan
gemas terhadap orang dewasa. Anak-anak
dan bayi, kalau tidak sedang rewel, memang menggemaskan. Bagi sementara orang, tingkah mereka bisa
mendorong untuk tertawa dan bersikap mengidolakan.
Kepolosan anak-anak mampu mengingatkan kita akan hal-hal yang mungkin tak pernah kita rasakan dan
alami seumur hidup. Perasaan gemas yang muncul
menggambarkan keinginan kita untuk mengalami lagi kepolosan yang apa adanya seperti itu, disayangi dan
dilindungi dengan kasih yang sehat.
'Gemas' terhadap orang dewasa itu lain lagi.
Biasanya ini disebabkan hal yang
sebaliknya, yakni tingkah lakunya yang menyebalkan dan menjadi lebih parah lagi tatkala semua orang
nampaknya membiarkannya. Hal terakhir itu
paling menentukan, sebab ketika sesuatu yang tidak adil bahkan jahat seakan-akan dibiarkan saja terjadi,
hati nurani kita terusik dan tidak bisa diam
lagi. Kita merasa 'harus' menegur atau melakukan sesuatu supaya kelakuan orang tidak semakin
menjadi-jadi. Nah, gemas di sini dianggap
sebagai ungkapan dari hati yang tidak terima ketika melihat sesuatu yang tidak baik dibiarkan terjadi. Ada yang menyebut hal ini sebuah
maksud baik. Apakah harus
diperbuat, itu soal lain. Tidak semua maksud baik kita baik untuk dilakukan.
Kebijaksanaan Yesus dalam bersikap terhadap
kejahatan dan Iblis selalu berasal
dari gambaran Allah Sang Penabur yang dikisahkan sebelumnya. Benih lalang itu dikatakan berasal dari
'seorang musuh' yang dipahami sebagai manusia
yang bermaksud jahat (Yun. 'exthros anthropos'). Jadi, Iblis ini tidak setara dengan Allah, melainkan
hanya dengan manusia. Manusia jahat inilah
yang menebarkan benih lalang di antara benih gandum. Itu sebabnya hamba-hamba tuan ladang itu yang punya
'maksud baik' bertanya, "Maukah tuan
supaya kami pergi mencabut lalang itu?" Jawaban tuan itu, yang
adalah jawaban Allah dalam
perumpamaan ini, sungguh mengagumkan: "Jangan. Ampunilah mereka agar tumbuh bersama sampai waktu
menuai tiba."
Matius memakai sebuah kata yang muncul 156 kali
dalam Perjanjian Baru, yakni 'aphete'
(Yun.), yang dapat diterjemahkan 'izinkanlah', 'biarkanlah', tetapi justru paling sering berarti
'ampunilah'. Mungkin lebih banyak lagi terjemahan
kata itu perlu dipahami sebagai perintah untuk mengampuni. Yesus menggambarkan bahwa wajah Allah
pertama-tama adalah sosok yang murah hati,
pengampun, dan 'membiarkan'. Kalau Allah membiarkan, itu karena Ia
pengampun dan kejahatan manusia
akan diselesaikan pada pengadilan terakhir, yakni ketika lalang itu "dikumpulkan dan diikat berberkas-berkas
untuk dibakar". Maksud baik
manusia tidak akan cukup untuk menyelesaikan persoalan kejahatan. Hanya 'waktu Allah' yang akan menyelesaikannya.
Bisa dibayangkan, bila keyakinan ini dipakai dalam
hidup sehari-hari, kita akan
segera protes. Kita biasanya sangat tidak tahan, benar-benar gemas, melihat kekacauan, ketidakadilan, dan
kejahatan. Sebagian orang cepat bereaksi
dengan bersuara keras atau membasminya dengan berani. Kita salut pada orang-orang seperti ini, tetapi juga prihatin
karena ketidakadilan itu seakan-akan
tak ada habisnya. Layaknya korupsi, dipangkas di satu tempat, tumbuh lebih subur di tempat lain.
Kalau tak mampu bertahan menghadapinya, kita
bisa frustrasi. Entah berapa banyak orang beriman yang bermaksud baik dan gigih melawan ketidakadilan, tetapi
semakin terpuruk dan malah diserang banyak
pihak. Kita mengira bisa membereskan kejahatan.
Kitab Kebijaksanaan Salomo (Bacaan I) menyiratkan
jawaban yang melegakan atas
kebingungan kita. "Allah memelihara dan menyayangkan segala-galanya. Ia mengadili dengan belas kasihan, dan
sangat berhati-hati memperlakukan kita. Ia
mengajar bahwa orang benar harus sayang akan manusia. Ia memberi kesempatan bertobat bila mereka
berdosa". Gambaran Allah yang menyayangkan segala-galanya itu sangat mendewasakan. Sekalipun mahakuasa, Ia
tidak begitu saja menghancurkan
orang-orang yang berbuat jahat, sebab mereka pun diberi kesempatan untuk bertobat. Jadi, ketika 'membiarkan', Ia
sesungguhnya memberi kesempatan
agar orang, dengan sadar membersihkan diri, bertumbuh sebagai benih yang baik, dan berbuah.
Lebih dari pesan bagi orang yang melakukan
kejahatan, Injil hari ini ditujukan
kepada kita semua yang punya maksud baik namun mungkin tergoda untuk terlalu cepat bereaksi. Kita
tidak diminta untuk menjadi polisi moral bagi
sesama. Kita tidak perlu mengadukan skandal atau dosa orang lain supaya ia memperoleh hukuman yang setimpal
dengan perilakunya. Mengampuninya berarti
'membiarkannya' dalam kebijaksanaan Allah, yaitu memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri.
Karena tak berbuah, lalang tegak menjulang
di antara gandum. Sebaliknya, karena makin berbobot, gandum justru merunduk. Saat dituai, lalang mudah
dibersihkan, dan tersisalah gandum yang baik
itu.
Meskipun sering gemas terhadap dosa dan kejahatan
orang lain, kita diajak untuk
mengampuni mereka. Kita sendiri mesti tetap berbuah dengan setia, semakin berbobot dan rendah hati dalam
wujud iman kita. Allah kita menyayangkan
segala-galanya; semoga kelak Yesus mengumpulkan kita ke dalam lumbung kerajaan-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar