1Raj 3:5.7-12, Rom 8:28-30, Mat 13:44-52
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
"Cicing-cicing wae" dalam bahasa Sunda
menggambarkan keadaan seseorang yang diam
saja, tidak bereaksi, tidak punya semangat dan kepekaan. Sikap yang mengherankan. Biasanya ketika
menghadapi sesuatu yang menyenangkan, kita
jadi antusias, bersemangat. Akan tetapi, ternyata ada juga orang yang bergeming, lemas, seakan-akan
'ma-de-su' (=masa depan suram). Tentu saja ini adalah masalah, terutama dalam hidup bersama. Mengapa ada orang
yang "cicing-cicing
wae", seperti tak punya harapan untuk hidup? Mungkin lebih tepat bagi kita yang merasa tidak
begitu: apa yang selama ini 'tidak' kita perlihatkan,
sehingga lingkungan sekitar kita kehilangan harapan?
Lebih dari sekedar pertanyaan moral, itu adalah
pertanyaan soal hidup dan kebahagiaan.
Seorang ibu yang setia dalam iman sampai saat meninggalnya pernah ditanya, apa yang membuatnya
dulu mau dibaptis. Jawabannya sangat sederhana:
"Saya dulu sering menyapu pelataran di depan rumah kakak. Setiap pagi saya melihat orang-orang pergi ke
gereja. Wajah mereka damai dan bahagia.
Sejak itu saya ingin dibaptis." Dunia sekarang nampaknya sudah tidak sederhana lagi. Semua orang panik
mengejar dan membeli apa yang mereka sangka
kebahagiaan, dan akibatnya orang yang tidak kebagian kesempatan akan kehilangan harapan, kehilangan masa
depan. Kita pun kebingungan kalau ditanya apa yang paling berharga dalam hidup kita.
Kalau itu paling berharga, mengapa
kita mengejar hal-hal lain?
Perumpamaan Yesus tentang harta dan mutiara yang
kita dengar hari ini hanya ada
dalam Injil Matius. Kedua perumpamaan yang terdengar aneh ini, bagaimanapun, sangat menggelitik dan
menunjuk pada maksud Yesus yang tersembunyi.
Perumpamaan mengandaikan bahwa murid-murid berusaha menemukan pesan yang sangat berharga di dalamnya.
Mengapa harta yang ditemukan dipendam
lagi, dan orang itu "menjual seluruh miliknya" lalu membeli ladang itu? Siapa pula pedagang yang akan
"menjual seluruh miliknya" untuk membeli mutiara yang indah? Bukankah keduanya kini tidak punya apa-apa
lagi setelah menjual seluruh
miliknya, selain ladang dan mutiara itu?
Kita melewati sebuah kata: sukacita! Lebih dari
perjuangan untuk mencari dan pengorbanan
yang dilakukan, alasan dari kisah-kisah ini adalah sukacita. Harta dan mutiara itu tidak ke
mana-mana, karena selalu ada di sana, meski
tersembunyi. Maka, kedua perumpamaan ini lebih menekankan 'tanggapan' seseorang ketika menemukan apa yang
selama ini diharapkannya. Sukacita adalah
tanggapan iman yang paling dasar! Bagaimana mungkin orang sudah menemukan yang dicari namun tidak
bersukacita? Akan tetapi, Kerajaan Surga memang
terdiri atas macam-macam orang beriman, seperti pukat yang mengumpulkan berbagai jenis ikan. Tanggapan
iman pun pasti berbeda-beda.
Situasi di sekitar kita tak jauh berbeda dengan
zaman Yesus. Ketika tidak berhasil
menemukan dalam relasi dan keluarga sendiri, orang lantas 'membeli' kebahagiaan dalam hal-hal lain.
Padahal, 'harta' itu, kebahagiaan, sebenarnya
tersembunyi persis di tempatnya berada saat ini. Sebaliknya, mereka yang merasa tak punya modal
untuk memperolehnya, kehilangan semangat dan
tenaga untuk mencari. Yang terakhir ini memilih diam-diam saja, 'pasrah' pada keadaan, dan terus menerus merasa
celaka. Ada orang yang selalu memakai kelemahan,
penyakit, dan kejadian-kejadian yang disebutnya 'sial' untuk terus merasa terpuruk dalam hidupnya.
Bagi mereka yang mencari di tempat salah
maupun yang sudah putus asa untuk berjuang, Yesus adalah harta terpendam yang masih memerlukan para
saksi iman.
Salomo (dalam Bacaan I), dengan merendah di hadapan
Allah, memohon "hati yang
faham menimbang perkara", lebih daripada umur panjang, kekayaan, atau nyawa musuhnya. Allah memandang bahwa
permohonan itu baik adanya dan berkenan
kepada-Nya, maka Ia memberikan "hati penuh hikmat dan pengertian," sesuatu yang tidak dimiliki orang
sebelum dan sesudah Salomo. Sesuatu yang dari
dalam diri, berupa 'hati' (Ibr. 'leb'), tiada lain adalah jiwa dan kehendak yang memahami segala sesuatu
di luar dirinya. Salomo diberi kemampuan
untuk melihat dengan hatinya, semua yang indah, bermakna, dan berharga di dunia. Orang yang mampu
melihat semua itu dalam hidup tidak akan mengharapkan
dan mencari-cari yang lain lagi.
Sekali lagi, Yesus menyampaikan
perumpamaan-perumpamaan hari ini bukan semata-mata
mengenai tindakan moral kita. Kerajaan Surga dan iman kita bukan hanya soal berbuat baik. Yesus ingin
tahu, seperti apa tanggapan kita, semangat
dan antusiasme kita setelah mendengar sabda-Nya dan mengalami sendiri kehadiran-Nya dalam
sakramen-sakramen. Apakah hidup kita tetap
begitu-begitu saja? Ataukah wajah dan hati kita memancarkan damai dan bahagia yang juga dirasakan dan
mempengaruhi orang-orang yang kita jumpai?
Orang yang memiliki sukacita dalam dirinya karena
telah menemukan Yesus, tak mungkin
hanya "diam-diam saja" dan merasa terpuruk. Ia pun takkan sembarangan membeli kebahagiaan yang
memang tak bisa dibeli. Ia akan melepaskan
seluruh miliknya, dan mempengaruhi orang lain dengan hati yang penuh pengertian. Semoga kita
menanggapi Yesus, tiap saat, dengan sukacita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar