Sabtu, 26 Juli 2014

Membeli Kebahagiaan

Date: Sat, 26 Jul 2014 16:51:39
1Raj 3:5.7-12, Rom 8:28-30, Mat 13:44-52
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

"Cicing-cicing wae" dalam bahasa Sunda menggambarkan keadaan seseorang yang diam saja, tidak bereaksi, tidak punya semangat dan kepekaan. Sikap yang mengherankan. Biasanya ketika menghadapi sesuatu yang menyenangkan, kita jadi antusias, bersemangat. Akan tetapi, ternyata ada juga orang yang bergeming, lemas, seakan-akan 'ma-de-su' (=masa depan suram). Tentu saja ini adalah masalah, terutama dalam hidup bersama. Mengapa ada orang yang "cicing-cicing wae", seperti tak punya harapan untuk hidup? Mungkin lebih tepat bagi kita yang merasa tidak begitu: apa yang selama ini 'tidak' kita perlihatkan, sehingga lingkungan sekitar kita kehilangan harapan?

Lebih dari sekedar pertanyaan moral, itu adalah pertanyaan soal hidup dan kebahagiaan. Seorang ibu yang setia dalam iman sampai saat meninggalnya pernah ditanya, apa yang membuatnya dulu mau dibaptis. Jawabannya sangat sederhana: "Saya dulu sering menyapu pelataran di depan rumah kakak. Setiap pagi saya melihat orang-orang pergi ke gereja. Wajah mereka damai dan bahagia. Sejak itu saya ingin dibaptis." Dunia sekarang nampaknya sudah tidak sederhana lagi. Semua orang panik mengejar dan membeli apa yang mereka sangka kebahagiaan, dan akibatnya orang yang tidak kebagian kesempatan akan kehilangan harapan, kehilangan masa depan. Kita pun kebingungan kalau ditanya apa yang paling berharga dalam hidup kita. Kalau itu paling berharga, mengapa kita mengejar hal-hal lain?

Perumpamaan Yesus tentang harta dan mutiara yang kita dengar hari ini hanya ada dalam Injil Matius. Kedua perumpamaan yang terdengar aneh ini, bagaimanapun, sangat menggelitik dan menunjuk pada maksud Yesus yang tersembunyi. Perumpamaan mengandaikan bahwa murid-murid berusaha menemukan pesan yang sangat berharga di dalamnya. Mengapa harta yang ditemukan dipendam lagi, dan orang itu "menjual seluruh miliknya" lalu membeli ladang itu? Siapa pula pedagang yang akan "menjual seluruh miliknya" untuk membeli mutiara yang indah? Bukankah keduanya kini tidak punya apa-apa lagi setelah menjual seluruh miliknya, selain ladang dan mutiara itu?

Kita melewati sebuah kata: sukacita! Lebih dari perjuangan untuk mencari dan pengorbanan yang dilakukan, alasan dari kisah-kisah ini adalah sukacita. Harta dan mutiara itu tidak ke mana-mana, karena selalu ada di sana, meski tersembunyi. Maka, kedua perumpamaan ini lebih menekankan 'tanggapan' seseorang ketika menemukan apa yang selama ini diharapkannya. Sukacita adalah tanggapan iman yang paling dasar! Bagaimana mungkin orang sudah menemukan yang dicari namun tidak bersukacita? Akan tetapi, Kerajaan Surga memang terdiri atas macam-macam orang beriman, seperti pukat yang mengumpulkan berbagai jenis ikan. Tanggapan iman pun pasti berbeda-beda.

Situasi di sekitar kita tak jauh berbeda dengan zaman Yesus. Ketika tidak berhasil menemukan dalam relasi dan keluarga sendiri, orang lantas 'membeli' kebahagiaan dalam hal-hal lain. Padahal, 'harta' itu, kebahagiaan, sebenarnya tersembunyi persis di tempatnya berada saat ini. Sebaliknya, mereka yang merasa tak punya modal untuk memperolehnya, kehilangan semangat dan tenaga untuk mencari. Yang terakhir ini memilih diam-diam saja, 'pasrah' pada keadaan, dan terus menerus merasa celaka. Ada orang yang selalu memakai kelemahan, penyakit, dan kejadian-kejadian yang disebutnya 'sial' untuk terus merasa terpuruk dalam hidupnya. Bagi mereka yang mencari di tempat salah maupun yang sudah putus asa untuk berjuang, Yesus adalah harta terpendam yang masih memerlukan para saksi iman.

Salomo (dalam Bacaan I), dengan merendah di hadapan Allah, memohon "hati yang faham menimbang perkara", lebih daripada umur panjang, kekayaan, atau nyawa musuhnya. Allah memandang bahwa permohonan itu baik adanya dan berkenan kepada-Nya, maka Ia memberikan "hati penuh hikmat dan pengertian," sesuatu yang tidak dimiliki orang sebelum dan sesudah Salomo. Sesuatu yang dari dalam diri, berupa 'hati' (Ibr. 'leb'), tiada lain adalah jiwa dan kehendak yang memahami segala sesuatu di luar dirinya. Salomo diberi kemampuan untuk melihat dengan hatinya, semua yang indah, bermakna, dan berharga di dunia. Orang yang mampu melihat semua itu dalam hidup tidak akan mengharapkan dan mencari-cari yang lain lagi.

Sekali lagi, Yesus menyampaikan perumpamaan-perumpamaan hari ini bukan semata-mata mengenai tindakan moral kita. Kerajaan Surga dan iman kita bukan hanya soal berbuat baik. Yesus ingin tahu, seperti apa tanggapan kita, semangat dan antusiasme kita setelah mendengar sabda-Nya dan mengalami sendiri kehadiran-Nya dalam sakramen-sakramen. Apakah hidup kita tetap begitu-begitu saja? Ataukah wajah dan hati kita memancarkan damai dan bahagia yang juga dirasakan dan mempengaruhi orang-orang yang kita jumpai?

Orang yang memiliki sukacita dalam dirinya karena telah menemukan Yesus, tak mungkin hanya "diam-diam saja" dan merasa terpuruk. Ia pun takkan sembarangan membeli kebahagiaan yang memang tak bisa dibeli. Ia akan melepaskan seluruh miliknya, dan mempengaruhi orang lain dengan hati yang penuh pengertian. Semoga kita menanggapi Yesus, tiap saat, dengan sukacita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar