Yes 55:1-3, Rom 8:35.37-39, Mat 14:13-21
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Makan di warung bertenda dan pedagang kaki lima
mensyaratkan kepercayaan. Pinggir
jalan pasti bukan tempat yang bersih, belum lagi pikiran kita, ketika melihat penjual itu
mempersiapkan makanan kita dengan tangannya
sendiri, yang sesekali diusapkan pada sebuah kain lap. Makanan itu akan
kita santap dan masuk ke dalam
tubuh kita. Kita takkan berhasil menyantapnya kalau tidak punya rasa percaya. Sementara orang benar-benar
tidak sampai hati untuk makan di
warung-warung pinggir jalan, dengan alasan sejak kecil selalu makan sesuatu yang bersih atau menghindari kuman-kuman
penyebab penyakit.
Bagaimana dengan mereka yang biasa makan seadanya,
di lingkungan yang tidak bersih,
dengan menu yang jauh dari sehat? Tuhan pasti melindungi mereka, memberi kekuatan dan stamina yang tidak
dapat kita jelaskan secara masuk akal.
Kenyataannya dalam kemiskinan dan ketiadaan makanan sehat itu orang masih dapat hidup dan bekerja dengan
baik. Mungkinkah ini menjelaskan bahwa dalam
keterbatasan manusia itu rahmat Tuhan justru berlimpah ruah? Kita masih akan menghadapi mentalitas orang
zaman ini, yang cenderung menyindir Tuhan
pada saat dirinya merasa tak berdaya di depan situasi sulit. Kalau tak bisa mengatasi keadaan, kita juga
seringkali jadi sinis.
Kisah pergandaan lima roti dan dua ikan untuk
memberi makan lebih dari lima ribu
orang adalah kenangan yang sangat mengesan bagi Gereja Perdana, sehingga dicatat oleh keempat Injil.
Kisah ini bahkan direkam dua kali oleh Matius
dengan nuansa berbeda, sebab digambarkan peran yang lebih positif dari para murid di dalamnya. Berbeda
dengan di Injil lain, para murid hanya memberi
tahu Yesus bahwa "yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan". Mereka pun berhadapan
dengan situasi yang terlalu 'tidak mungkin'
untuk diatasi. Mereka tidak berdaya dan mengusulkan supaya Yesus
menyuruh banyak orang itu pergi
membeli makanan untuk mereka sendiri. Dan saat itulah mereka mendengar 'candaan ilahi' Yesus itu: "Kamu harus
memberi mereka makan".
Pengakuan para murid akan keterbatasan, atau
tepatnya 'ketidakmungkinan', persediaan
mereka sendiri justru mendatangkan mujizat yang mengagumkan dari Allah. Yesus hanya meminta,
"Bawalah ke mari [yang ada padamu itu]
kepada-Ku!" Dan pada waktu itu, para murid melihat sesuatu yang
kelak akan terjadi dalam Perjamuan
Terakhir, ketika Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu, menengadah ke langit dan mengucap berkat,
lalu memecah-mecahkan roti itu dan
memberikannya kepada murid-murid-Nya. Bahasa ini adalah bahasa Ekaristi. Allah sendiri akan bertindak,
di saat para murid berani percaya dan
melakukan apa yang diperintahkan Yesus kepada mereka.
Berkali-kali situasi yang nampaknya 'tidak mungkin'
(terselesaikan) pun terjadi di
sekitar kita: kelaparan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan. Kadang-kadang semuanya itu 'terlalu
besar' untuk kita tanggapi, apalagi kita selesaikan. Reaksi orang
bermacam-macam ketika menghadapinya. Ada yang menyerah dan berpikir untuk mengurus diri sendiri dan
keluarganya saja. Ada juga yang
berkomentar sarkastis untuk menutupi ketidakmampuannya sendiri. Sementara itu, hanya segelintir orang
dalam diam mau berbagi apa saja yang mereka
miliki untuk membantu meringankan keadaan. Yang terakhir ini adalah tindakan iman yang sangat tepat
melukiskan tanggapan atas sabda Yesus itu: mempercayakan kepada-Nya apapun yang ada pada kita!
Lebih dari sekedar mengundang untuk makan minum
tanpa bayar, sabda Tuhan melalui
Yesaya (Bacaan I) sebetulnya mengajak orang untuk 'mendengarkan' Tuhan supaya 'hidup'. Persoalannya
bukan bahwa mereka tidak punya uang, tapi
bahwa mereka membelanjakan upah jerih payah mereka untuk sesuatu yang
'bukan roti' (bukan untuk hidup
yang baik sebagaimana dikehendaki Tuhan).
Seandainya mau datang kepada Tuhan dan mendengarkan Dia, orang akan mendapatkan makanan yang terbaik.
Kepercayaan pada Tuhan ditunjukkan pertama-tama
dalam tindakan datang kepada-Nya dan mendengarkan (melakukan) apa yang disabdakan-Nya. Itulah
tanggapan terbaik untuk dilakukan dalam keadaan
yang penuh godaan.
Mungkin kita terbiasa berpikir dengan kata 'harus'
daripada 'bisa'. Ketika menghadapi
problem yang berat, kita merasa harus bisa menyelesaikannya, bahkan kadang-kadang harus saat itu
pula. Pesan Injil hari ini menegaskan soal
apa yang masih bisa kita lakukan ("yang ada pada kami") dan
membawanya kepada Yesus. Meskipun
problem yang kita hadapi nampaknya 'tidak mungkin' diatasi ("lima ribu orang" yang harus diberi makan),
selalu ada sesuatu yang masih bisa
kita lakukan.
Di sisi lain, kita mesti percaya bahwa Tuhan
memakai siapa saja agar kita bisa
makan dan hidup. Pada waktu itu, entah melalui berapa puluh tangan (yang kotor) roti yang diberkati Yesus
itu sampai pada seseorang untuk dimakan.
Mengakui keterbatasan kita sendiri dan menerima kelemahan orang lain adalah langkah awal untuk membawa apapun yang
terjadi dalam hidup kita kepada
Yesus. Kalau kita punya iman untuk melakukan hal ini, kita akan hidup, kita akan bertahan melalui
situasi yang paling berat sekalipun.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar