Sabtu, 09 Agustus 2014

Ikut Berbahagia

Date: Sat, 9 Aug 2014 11:21:38
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
Why 11:19a.12:1.3-6a.10ab, 1Kor 15:20-26, Luk 1:39-56
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Kisah cinta di kalangan anak muda tak pernah habis jadi bahan cerita dan film drama. Kalau dengan jeli diamati, tidak semua anak muda terpesona bahagia karenanya. Dengan kata lain, ada sebagian yang menjadi iri hati melihat kebahagiaan orang lain. Mungkin yang sebagian ini pernah berharap bahwa dirinyalah yang seharusnya mengalami kebahagiaan itu, tapi kenyataannya, orang lain. Itu sebabnya banyak persahabatan yang rusak segera sesudah salah satu pihak menikah. Kebahagiaan dianggap sebagai milik pribadi dan lekas hilang tatkala dibagikan kepada orang-orang lain. Anak muda masih belum terbiasa dengan istilah 'ikut berbahagia'.

Gambaran itu sebenarnya ada juga di masyarakat. Mentalitas yang melihat bahwa "rumput tetangga lebih hijau" berpusat pada rasa iri hati yang dibiarkan. Relasi-relasi di lingkungan kita ditaburi perselingkuhan yang seringkali disebabkan rasa iri terhadap kebahagiaan orang lain. Pengaruh ini membahayakan kehidupan iman kita, sebab iman adalah soal kesetiaan pada Tuhan dan rasa syukur atas berkat yang sudah kita terima dari-Nya. Kita bisa menghormati hidup orang lain, hanya jika kita mampu bersyukur atas hidup kita sendiri. Kalau kita merasa belum bahagia, karena iman, kita masih berharap bahwa kita pun akan mengalaminya, seperti yang telah dialami orang lain.

Kisah perjumpaan Maria dan Elisabet tidak hanya mewakili sebuah persahabatan manusiawi yang mengharukan, tetapi juga menyingkapkan sosok Allah yang adalah sumber kebahagiaan sejati. Maria berbagi kabar sukacita dengan Elisabet, saudaranya, dan 'karena' itu Elisabet penuh dengan Roh Kudus, bahkan anak di dalam rahimnya pun melonjak. Roh Kudus turun setiap kali sukacita dibagikan kepada orang lain, dan Elisabet menyambut sukacita itu, sambil merasa tidak pantas ketika "ibu Tuhanku datang mengunjungi aku".

Mengejutkan bahwa kisah dalam Injil Lukas yang melanjutkan peristiwa kabar gembira dari malaikat Gabriel ini begitu sejajar dengan kisah pengudusan Tabut Perjanjian (Kel 40) dan perarakannya oleh Daud ke Yerusalem (2Sam 6; 1Taw 15). Di kedua kisah itu terdapat gambaran Roh Kudus yang turun dan menaungi, Daud dan Maria bergegas ke pegunungan, ungkapan ketidakpantasan menerima Tabut Perjanjian dan 'ibu Tuhan', Daud dan bayi Yohanes Pembaptis yang melonjak, serta Tabut Perjanjian dan Maria yang tinggal tiga bulan lamanya. Dengan kata lain, Maria sejajar dengan gambaran tentang Tabut Perjanjian yang pernah hilang pada masa nabi Yeremia dan hanya akan ditemukan saat "Allah mengumpulkan kembali umat serta mengasihaninya lagi" (2Mak 2:7).

Di sekitar kita lebih sering dibagikan penderitaan dan kisah-kisah sedih daripada kabar sukacita. Kita lebih mudah menceritakan problem, yang bisa jadi disebabkan sesuatu yang belum selesai dalam diri kita sendiri. Mungkin orang lain jadi kasihan pada kita, tetapi dalam hal itu  iman kita kurang berbuah karena tidak membawa semangat Roh Kudus yang selalu menghidupkan. Benarkah tidak ada 'kabar gembira' yang kita alami setiap hari? Atau, haruskah sukacita Tuhan itu berupa kesuksesan yang besar, kesehatan yang sempurna, serta relasi yang ideal, dan barulah kita bisa mengisahkannya kepada orang lain? Jangan-jangan kita melewatkan begitu banyak berkat yang masih terus kita terima setiap hari, namun tidak disadari dan disyukuri. Mungkin kita tak mampu menyadarinya karena mata kita selalu tertuju pada 'rumput tetangga' yang sepertinya lebih membahagiakan itu.

Gambaran Maria sebagai Tabut Perjanjian ditemukan lagi dalam Kitab Wahyu (Bacaan I), yang lebih jelas melukiskan bahwa ia adalah seorang individu dengan kemanusiaannya. Sebagai manusia ia melahirkan Kristus yang kelak bangkit mengalahkan maut. Keyakinan akan kebangkitan Tuhan diikuti dengan kebangkitan sosok yang telah mengandung dan melahirkan-Nya juga ditemukan dalam Mzm 132:8, "Bangkitlah, ya Tuhan, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut kekuatan-Mu!" Dalam bahasa Gereja, mereka yang telah dibangkitkan dan mengalami surga disebut 'berbahagia'. Dalam bahasa Yesus, mereka itu "masuk dan turut dalam kebahagiaan tuannya" (Mat 25:21). Kebahagiaan Allah selalu ditawarkan kepada manusia.

Hari Raya Maria Diangkat ke Surga sebenarnya menyiratkan harapan terdalam setiap orang Kristiani. Kita pun berharap kelak akan diangkat ke sana, meskipun sadar bahwa dalam hidup kita masih harus belajar untuk berbagi sukacita dan turut dalam sukacita Tuhan. Dalam hal itu, ganjalan yang masih harus kita atasi ialah sikap iri hati dalam iman yang membuat kita sulit masuk dalam kebahagiaan orang lain. Maria adalah Tabut Perjanjian baru yang membuka diri pada Roh Kudus dan mengandung Sang Penyelamat dalam dirinya. Karena dia, kebahagiaan sejati yang adalah Yesus Kristus menjadi manusia seperti kita.

Dapatkah kita menjadi pribadi-pribadi yang dengan tulus ikut berbahagia ketika orang lain mengalami sukacita dari Tuhan? Apakah relasi dan kesetiaan orang lain menginspirasi kita untuk bersyukur atas berkat yang sesungguhnya kita terima juga? Semoga orang lain melihat bahwa hati tersenyum karena dipenuhi rasa terima kasih.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar