Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
Why 11:19a.12:1.3-6a.10ab, 1Kor 15:20-26, Luk
1:39-56
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kisah cinta di kalangan anak muda tak pernah habis
jadi bahan cerita dan film drama.
Kalau dengan jeli diamati, tidak semua anak muda terpesona bahagia karenanya. Dengan kata lain,
ada sebagian yang menjadi iri hati melihat
kebahagiaan orang lain. Mungkin yang sebagian ini pernah berharap bahwa dirinyalah yang seharusnya mengalami
kebahagiaan itu, tapi kenyataannya,
orang lain. Itu sebabnya banyak persahabatan yang rusak segera sesudah salah satu pihak menikah.
Kebahagiaan dianggap sebagai milik pribadi
dan lekas hilang tatkala dibagikan kepada orang-orang lain. Anak muda
masih belum terbiasa dengan
istilah 'ikut berbahagia'.
Gambaran itu sebenarnya ada juga di masyarakat.
Mentalitas yang melihat bahwa
"rumput tetangga lebih hijau" berpusat pada rasa iri hati yang dibiarkan. Relasi-relasi di lingkungan
kita ditaburi perselingkuhan yang seringkali
disebabkan rasa iri terhadap kebahagiaan orang lain. Pengaruh ini membahayakan kehidupan iman kita, sebab
iman adalah soal kesetiaan pada Tuhan
dan rasa syukur atas berkat yang sudah kita terima dari-Nya. Kita bisa menghormati hidup orang lain, hanya
jika kita mampu bersyukur atas hidup kita
sendiri. Kalau kita merasa belum bahagia, karena iman, kita masih berharap bahwa kita pun akan
mengalaminya, seperti yang telah dialami orang lain.
Kisah perjumpaan Maria dan Elisabet tidak hanya mewakili
sebuah persahabatan manusiawi yang
mengharukan, tetapi juga menyingkapkan sosok Allah yang adalah sumber kebahagiaan sejati. Maria berbagi kabar sukacita
dengan Elisabet, saudaranya, dan
'karena' itu Elisabet penuh dengan Roh Kudus, bahkan anak di dalam rahimnya pun melonjak. Roh Kudus turun
setiap kali sukacita dibagikan
kepada orang lain, dan Elisabet menyambut sukacita itu, sambil merasa tidak pantas ketika "ibu Tuhanku datang
mengunjungi aku".
Mengejutkan bahwa kisah dalam Injil Lukas yang
melanjutkan peristiwa kabar gembira
dari malaikat Gabriel ini begitu sejajar dengan kisah pengudusan Tabut Perjanjian (Kel 40) dan
perarakannya oleh Daud ke Yerusalem (2Sam 6; 1Taw 15). Di kedua kisah itu terdapat gambaran Roh Kudus yang
turun dan menaungi, Daud dan Maria
bergegas ke pegunungan, ungkapan ketidakpantasan menerima Tabut Perjanjian dan 'ibu Tuhan', Daud dan bayi Yohanes
Pembaptis yang melonjak, serta
Tabut Perjanjian dan Maria yang tinggal tiga bulan lamanya. Dengan kata lain, Maria sejajar dengan gambaran tentang
Tabut Perjanjian yang pernah
hilang pada masa nabi Yeremia dan hanya akan ditemukan saat "Allah mengumpulkan kembali umat serta
mengasihaninya lagi" (2Mak
2:7).
Di sekitar kita lebih sering dibagikan penderitaan
dan kisah-kisah sedih daripada
kabar sukacita. Kita lebih mudah menceritakan problem, yang bisa jadi disebabkan sesuatu yang belum
selesai dalam diri kita sendiri. Mungkin orang
lain jadi kasihan pada kita, tetapi dalam hal itu iman
kita kurang berbuah karena tidak
membawa semangat Roh Kudus yang selalu menghidupkan. Benarkah tidak ada 'kabar gembira' yang kita alami setiap hari?
Atau, haruskah sukacita Tuhan itu
berupa kesuksesan yang besar, kesehatan yang sempurna, serta relasi yang ideal, dan barulah kita bisa
mengisahkannya kepada orang lain?
Jangan-jangan kita melewatkan begitu banyak berkat yang masih terus kita terima setiap hari, namun tidak disadari dan
disyukuri. Mungkin kita tak mampu
menyadarinya karena mata kita selalu tertuju pada 'rumput tetangga' yang sepertinya lebih membahagiakan itu.
Gambaran Maria sebagai Tabut Perjanjian ditemukan
lagi dalam Kitab Wahyu (Bacaan I),
yang lebih jelas melukiskan bahwa ia adalah seorang individu dengan kemanusiaannya. Sebagai manusia
ia melahirkan Kristus yang kelak bangkit
mengalahkan maut. Keyakinan akan kebangkitan Tuhan diikuti dengan kebangkitan sosok yang telah mengandung
dan melahirkan-Nya juga ditemukan dalam
Mzm 132:8, "Bangkitlah, ya Tuhan, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut
kekuatan-Mu!" Dalam bahasa Gereja, mereka yang telah dibangkitkan dan mengalami surga disebut
'berbahagia'. Dalam bahasa Yesus,
mereka itu "masuk dan turut dalam kebahagiaan tuannya" (Mat 25:21). Kebahagiaan Allah selalu
ditawarkan kepada manusia.
Hari Raya Maria Diangkat ke Surga sebenarnya
menyiratkan harapan terdalam setiap
orang Kristiani. Kita pun berharap kelak akan diangkat ke sana, meskipun sadar bahwa dalam hidup kita
masih harus belajar untuk berbagi sukacita
dan turut dalam sukacita Tuhan. Dalam hal itu, ganjalan yang masih harus kita atasi ialah sikap iri hati
dalam iman yang membuat kita sulit masuk
dalam kebahagiaan orang lain. Maria adalah Tabut Perjanjian baru yang membuka diri pada Roh Kudus dan
mengandung Sang Penyelamat dalam dirinya.
Karena dia, kebahagiaan sejati yang adalah Yesus Kristus menjadi manusia seperti kita.
Dapatkah kita menjadi pribadi-pribadi yang dengan
tulus ikut berbahagia ketika orang
lain mengalami sukacita dari Tuhan? Apakah relasi dan kesetiaan orang lain menginspirasi kita untuk
bersyukur atas berkat yang sesungguhnya kita
terima juga? Semoga orang lain melihat bahwa hati tersenyum karena dipenuhi rasa terima kasih.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar