Keb
12:13.16-19, Rm 8:26-27, Mat 13:24-43
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Seorang
ibu menemani dengan setia anaknya yang setengah lumpuh. Ketika harus diinfus
dengan obat yang menyakitkan, anak itu memegang tangan ibunya erat-erat. Ibunya
mencoba meyakinkan bahwa obat itu akan menguatkan dan menyembuhkan, jadi
sekarang lebih baik bertahan dan membiarkan obat membawa kebaikan. Beberapa
waktu kemudian keadaan anak itu berangsur-angsur membaik. Pengalaman seperti
ini mungkin pernah dialami banyak orang. Rasa sayang tidak akan salah, ketika
diungkapkan dalam situasi yang menyakitkan. Dan kita segera tahu bahwa itu
bukan sekadar hiburan, tapi lebih lagi, kekuatan yang menyelamatkan kita karena
iman. Rasa sayang sebenarnya ialah tanggung jawab iman kita terhadap seseorang.
Sementara
itu, ada pula “maksud baik”, tapi dipakai sebagai alasan untuk membenarkan
tindakan yang melukai orang lain. Ketika orang mengatakan bahwa maksud dia
sebenarnya baik, kita merasakan situasi yang tidak sesuai harapan. Perkataan
itu muncul justru karena keadaan menjadi buruk, dan itu disebabkan kecerobohan
atau keputusan yang kurang dipikir masak-masak. Maksud baik yang diucapkan
berubah menjadi dalih. Tindakan-tindakan iman kita lebih membutuhkan rasa
tanggung jawab yang selalu dibimbing kebijaksanaan Allah.
Rangkaian
perumpamaan dari Yesus yang kita dengar dalam Injil Matius hari ini dimulai
dengan tanaman gandum dan lalang di ladang. Ketika disampaikan berturut-turut,
perumpamaan-perumpamaan itu menegaskan sosok Yesus sebagai guru di depan para
murid-Nya. Ia mengajar dengan kebijaksanaan, supaya kelak mereka pun mampu
menyampaikan pesan Allah dengan benar kepada banyak orang. Gandum dan lalang
adalah gambaran yang sangat inspiratif. Di awal pertumbuhan keduanya kelihatan
serupa, tapi lambat laun bulir gandum makin berisi dan memberati tanamannya sehingga
merunduk. Sementara itu, bulir lalang tidak berisi sehingga tanamannya makin
menjulang. Pada saat berbuah itulah akan mudah membedakan keduanya.
Sebuah
kata dipakai Yesus untuk pemilik ladang ketika menanggapi maksud para hamba
mencabut lalang dari antara gandum: ‘aphete’ (Yun.), diterjemahkan
‘biarkanlah’, yang sebenarnya ‘ampunilah’. Kata ini muncul hingga 156 kali
dalam Perjanjian Baru, dan lebih sering berarti ampunilah. Kalau begitu, lalang
bukan hanya dibiarkan tumbuh karena nanti mudah dibedakan ketika berbuah,
melainkan supaya gandum dan lalang tumbuh bersama di ladang. Yesus tak lupa
menyisipkan pesan tentang Allah yang adil terhadap orang yang baik dan orang
yang jahat. Ia tidak hanya memperingatkan orang yang jahat. Ia juga
mendewasakan iman orang yang baik. Perumpamaan ini terutama ditujukan kepada
kita yang memiliki kedua sifat itu di dalam diri.
Apakah
masyarakat dan komunitas rohani kita harus dibersihkan dari orang yang jahat?
Sesungguhnya inilah pertanyaan hamba-hamba di ladang itu kepada tuan mereka.
Kejahatan harus dibersihkan, namun tidak dengan begitu saja menumpas pelakunya,
yang adalah manusia seperti kita. Dalam bentuk yang kurang ekstrem, kejahatan
mungkin kita alami sebagai tindakan yang mau mengganggu kebersamaan kita,
ujaran kebencian dan gosip yang hendak menjatuhkan nama kita, serta sikap-sikap
tidak menyenangkan yang ditunjukkan kepada kita. Akan tetapi, bukankah semua
itu ‘perlu’ kita alami supaya iman kita teruji? Kalau tidak ada lalang seperti
itu, katakanlah, kita tidak bisa bertumbuh semakin dewasa dalam iman. Kini kita
akan mengerti perkataan Yesus itu: “Biarkanlah [ampunilah, sehingga] keduanya
tumbuh bersama sampai saat menuai”. Dan saat menuai adalah saatnya Tuhan, bukan
saat kita. Tuhan mengizinkan kita mengalami luka, penderitaan, dan perlakuan
tidak adil, justru karena rasa tanggung jawab-Nya agar kita menjadi anak-anak
yang kuat dan tahan dalam iman.
Mungkin
kata-kata dalam Kitab Kebijaksanaan (Bacaan I) dapat menjelaskan lebih baik
tentang keadilan Allah itu. Dikatakan bahwa Allah “mengadili dengan belas
kasihan”, bahwa Ia memperlakukan manusia sebagai anak-anak yang disayangi, dan
“apabila mereka berdosa, [Allah] memberi kesempatan untuk bertobat”. Allah
seperti ini pasti menyayangi setiap manusia, baik yang jahat maupun yang baik.
Ia memberi kesempatan bertobat kepada siapapun yang berbuat jahat, namun orang yang
baik pun diajar-Nya untuk bersikap sama. Kebersamaan iman karena rasa tanggung
jawab ini jugalah pesan Injil. Kita perlu belajar bertanggung jawab, sebab
maksud baik saja tidak cukup.
Kelemahan
orang yang merasa “bermaksud baik” terletak pada rasa tanggung jawab. Mencabuti
lalang dari antara gandum mungkin muncul dari maksud yang baik, tapi kurang
bertanggung jawab, karena nanti gandum pun akan tercabut. Hari ini Yesus
mengajarkan suatu kebijaksanaan dalam sikap dan tindakan iman kita terhadap
orang lain. Kita diminta untuk menghadapi berbagai macam orang dengan rasa
sayang, yakni kemauan yang tulus untuk bertanggung jawab atas keselamatan mereka.
Rasa sayang seperti ini tidak akan salah, sebab mengalir dari sifat Allah
sendiri yang mengasihi semua manusia.
Semoga
kita bertumbuh dalam iman lewat kata dan tindakan yang menyembuhkan daripada
melukai, serta yang mendamaikan daripada mengecualikan orang lain.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar