Sabtu, 22 Juli 2017

Maksud Baik dan Rasa Sayang

Saturday, July 22, 2017,  Hari Minggu Biasa XVI (A)
Keb 12:13.16-19, Rm 8:26-27, Mat 13:24-43
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Seorang ibu menemani dengan setia anaknya yang setengah lumpuh. Ketika harus diinfus dengan obat yang menyakitkan, anak itu memegang tangan ibunya erat-erat. Ibunya mencoba meyakinkan bahwa obat itu akan menguatkan dan menyembuhkan, jadi sekarang lebih baik bertahan dan membiarkan obat membawa kebaikan. Beberapa waktu kemudian keadaan anak itu berangsur-angsur membaik. Pengalaman seperti ini mungkin pernah dialami banyak orang. Rasa sayang tidak akan salah, ketika diungkapkan dalam situasi yang menyakitkan. Dan kita segera tahu bahwa itu bukan sekadar hiburan, tapi lebih lagi, kekuatan yang menyelamatkan kita karena iman. Rasa sayang sebenarnya ialah tanggung jawab iman kita terhadap seseorang.

Sementara itu, ada pula “maksud baik”, tapi dipakai sebagai alasan untuk membenarkan tindakan yang melukai orang lain. Ketika orang mengatakan bahwa maksud dia sebenarnya baik, kita merasakan situasi yang tidak sesuai harapan. Perkataan itu muncul justru karena keadaan menjadi buruk, dan itu disebabkan kecerobohan atau keputusan yang kurang dipikir masak-masak. Maksud baik yang diucapkan berubah menjadi dalih. Tindakan-tindakan iman kita lebih membutuhkan rasa tanggung jawab yang selalu dibimbing kebijaksanaan Allah.

Rangkaian perumpamaan dari Yesus yang kita dengar dalam Injil Matius hari ini dimulai dengan tanaman gandum dan lalang di ladang. Ketika disampaikan berturut-turut, perumpamaan-perumpamaan itu menegaskan sosok Yesus sebagai guru di depan para murid-Nya. Ia mengajar dengan kebijaksanaan, supaya kelak mereka pun mampu menyampaikan pesan Allah dengan benar kepada banyak orang. Gandum dan lalang adalah gambaran yang sangat inspiratif. Di awal pertumbuhan keduanya kelihatan serupa, tapi lambat laun bulir gandum makin berisi dan memberati tanamannya sehingga merunduk. Sementara itu, bulir lalang tidak berisi sehingga tanamannya makin menjulang. Pada saat berbuah itulah akan mudah membedakan keduanya.

Sebuah kata dipakai Yesus untuk pemilik ladang ketika menanggapi maksud para hamba mencabut lalang dari antara gandum: ‘aphete’ (Yun.), diterjemahkan ‘biarkanlah’, yang sebenarnya ‘ampunilah’. Kata ini muncul hingga 156 kali dalam Perjanjian Baru, dan lebih sering berarti ampunilah. Kalau begitu, lalang bukan hanya dibiarkan tumbuh karena nanti mudah dibedakan ketika berbuah, melainkan supaya gandum dan lalang tumbuh bersama di ladang. Yesus tak lupa menyisipkan pesan tentang Allah yang adil terhadap orang yang baik dan orang yang jahat. Ia tidak hanya memperingatkan orang yang jahat. Ia juga mendewasakan iman orang yang baik. Perumpamaan ini terutama ditujukan kepada kita yang memiliki kedua sifat itu di dalam diri.

Apakah masyarakat dan komunitas rohani kita harus dibersihkan dari orang yang jahat? Sesungguhnya inilah pertanyaan hamba-hamba di ladang itu kepada tuan mereka. Kejahatan harus dibersihkan, namun tidak dengan begitu saja menumpas pelakunya, yang adalah manusia seperti kita. Dalam bentuk yang kurang ekstrem, kejahatan mungkin kita alami sebagai tindakan yang mau mengganggu kebersamaan kita, ujaran kebencian dan gosip yang hendak menjatuhkan nama kita, serta sikap-sikap tidak menyenangkan yang ditunjukkan kepada kita. Akan tetapi, bukankah semua itu ‘perlu’ kita alami supaya iman kita teruji? Kalau tidak ada lalang seperti itu, katakanlah, kita tidak bisa bertumbuh semakin dewasa dalam iman. Kini kita akan mengerti perkataan Yesus itu: “Biarkanlah [ampunilah, sehingga] keduanya tumbuh bersama sampai saat menuai”. Dan saat menuai adalah saatnya Tuhan, bukan saat kita. Tuhan mengizinkan kita mengalami luka, penderitaan, dan perlakuan tidak adil, justru karena rasa tanggung jawab-Nya agar kita menjadi anak-anak yang kuat dan tahan dalam iman.

Mungkin kata-kata dalam Kitab Kebijaksanaan (Bacaan I) dapat menjelaskan lebih baik tentang keadilan Allah itu. Dikatakan bahwa Allah “mengadili dengan belas kasihan”, bahwa Ia memperlakukan manusia sebagai anak-anak yang disayangi, dan “apabila mereka berdosa, [Allah] memberi kesempatan untuk bertobat”. Allah seperti ini pasti menyayangi setiap manusia, baik yang jahat maupun yang baik. Ia memberi kesempatan bertobat kepada siapapun yang berbuat jahat, namun orang yang baik pun diajar-Nya untuk bersikap sama. Kebersamaan iman karena rasa tanggung jawab ini jugalah pesan Injil. Kita perlu belajar bertanggung jawab, sebab maksud baik saja tidak cukup.

Kelemahan orang yang merasa “bermaksud baik” terletak pada rasa tanggung jawab. Mencabuti lalang dari antara gandum mungkin muncul dari maksud yang baik, tapi kurang bertanggung jawab, karena nanti gandum pun akan tercabut. Hari ini Yesus mengajarkan suatu kebijaksanaan dalam sikap dan tindakan iman kita terhadap orang lain. Kita diminta untuk menghadapi berbagai macam orang dengan rasa sayang, yakni kemauan yang tulus untuk bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Rasa sayang seperti ini tidak akan salah, sebab mengalir dari sifat Allah sendiri yang mengasihi semua manusia.

Semoga kita bertumbuh dalam iman lewat kata dan tindakan yang menyembuhkan daripada melukai, serta yang mendamaikan daripada mengecualikan orang lain.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar