“KEPERCAYAAN ORANG YANG BESAR
HATI”
Yes 56:1.6-7, Rm 11:13-15.29-32,
Mat 15:21-28
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Sesungguhnya, sebuah keterlibatan
adalah tak ternilai. Kalau melihat seorang anak kecil ikut bernyanyi dengan
semangat di antara orang dewasa, kita pasti tertegun dan tersenyum. Ada
ketulusan, spontanitas, dan sikap apa adanya. Pengucapan kata dan bidikan nada
menjadi tidak penting. Yang memesona saat itu semata-mata ialah keinginan untuk
terlibat. Sayangnya, semakin dewasa kita, semakin banyak kriteria yang dipakai
untuk saling menilai sesama. Keterlibatan di antara orang dewasa tidak selalu
kita hargai dan bahkan terlalu banyak kita curigai. Tampaknya kita punya
kriteria yang terlalu tinggi untuk bisa mengapresiasi bantuan dan keterlibatan
tulus orang lain.
Dalam hal keterlibatan, orang
Jawa punya istilah bagi orang yang karena satu dan lain hal kecewa lalu tak mau
datang lagi, yakni ‘mutung’ (Jw. ‘ngambek’). Meskipun tidak ada yang senang
dikatakan ‘mutung’, dalam kenyataan banyak orang yang bersikap demikian. Kalau begitu,
ada sikap dua arah yang sangat dibutuhkan dalam kebersamaan iman. Di satu sisi
ada apresiasi, di lain sisi ada kebesaran hati. Ketika hanya salah satu yang
terungkap, kita mungkin belum dewasa dalam iman. Dan lagi, tak ada orang yang
senang dianggap belum dewasa.
Bagi Matius, tak ada sikap Yesus
yang tanpa maksud. Dalam Injilnya yang kita dengar hari ini, Matius ‘menangkap’
maksud Yesus yang begitu dalam di balik perkataan-Nya terhadap seorang
perempuan Kanaan. Matius menunjukkan bahwa perempuan itu mewakili bangsa yang
dianggap sebagai “musuh lama” Israel. Bangsa Kanaan yang dahulu mendiami Tanah
Terjanji bagi Israel pernah ditaklukkan atas nama Allah. Citra itu masih membekas
dalam diri perempuan itu, saat mohon kepada Yesus agar menyembuhkan anak
perempuannya yang kerasukan setan. Israel mungkin sudah lupa, tapi tidak bagi
bangsa Kanaan. Ibu ini dianggap sebagai kecundang, orang yang dikalahkan, yang
tidak penting, dan sangat mudah untuk diabaikan.
Tanggapan pertama Yesus diucapkan
sambil lalu, tapi kemudian seperti menusuk hati ketika Ia berkata, “Tidak patut
mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada
anjing”. Kepercayaan ibu itu tak mudah dikalahkan, dan berkata, “Benar Tuhan”. Ia
menerima gambaran tentang meja makan itu, tapi menambahkan bahwa pasti ada remah-remah
yang jatuh dari meja. Itu pun cukup! Di sinilah maksud Yesus terjadi. Ia
menunjukkan bahwa iman harus diuji, sebab kalau tidak, murid-murid-Nya takkan
belajar tentang kerendahan hati dan kebesaran hati. Dan kisah ini dalam Injil
Matius menjadi saat satu-satunya Yesus mengatakan bahwa iman seseorang besar.
Bicara soal keyakinan dan
keterlibatan di zaman sekarang pasti membawa kritik terhadap diri sendiri.
Persis manakala kita menganalisis keikutsertaan orang lain dalam sebuah
kegiatan, sebenarnya sikap batin kita sendiri sedang diuji. Kita ‘senang’
menebak dan memberi alasan pada keterlibatan orang lain, padahal mungkin
motivasinya jauh lebih tulus dari yang kita sangka. Prasangka semacam ini lekas
tumbuh dengan subur melalui gosip dan ‘curhat’. Dan kenyataan ialah, bahwa kita
sendiri yang senang menebak motivasi orang lain, belum melakukan sesuatu yang
berarti. Kita sibuk menilai orang lain dan membuat kriteria yang terlalu
tinggi, sampai bahkan kita sendiri pun tidak bisa mencapainya. Padahal,
kehidupan beriman seharusnya diwarnai penerimaan dan apresiasi, sebab mereka
yang melayani bersama kita sudah memberikan yang terbaik dari dirinya. Betapa
sulit kita sampai pada pengakuan yang diungkapkan Yesus terhadap ibu itu: “Besar
imanmu”! Kita lebih terpaku pada ‘mengalahkan’ orang lain.
Baik Kitab Yesaya (Bacaan I)
maupun Surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Bacaan II) menegaskan kehendak Allah
yang ingin menyelamatkan semua bangsa. Yesaya menuliskan firman Tuhan bahwa
“Mereka semua akan Kuberi sukacita di rumah doa-Ku”. Paulus mengingatkan bahwa
“kamu dahulu tidak taat kepada Allah, [namun] beroleh kemurahan, ... supaya
oleh kemurahan yang telah kamu peroleh, mereka juga beroleh kemurahan”. Artinya,
kita sendiri pernah tidak taat dan diselamatkan, maka seharusnya kita mengerti
bahwa Allah pun akan menyelamatkan orang lain yang justru tidak kita
perhitungkan atau kita singkirkan. Allah selalu memperhitungkan kebesaran hati
seseorang, sesuatu yang sering tidak kita lihat.
Hari ini kita belajar dari sabda
Tuhan, tentang bagaimana mengapresiasi keterlibatan orang lain dan berbesar
hati dalam mewujudkan iman kita. Setiap keterlibatan, seperti halnya iman,
adalah sesuatu yang tak ternilai. Kita perlu melepaskan banyak kriteria penilaian
terhadap orang lain, supaya kita sendiri mengerti bahwa Tuhan pun memanggil dia
sesuai dengan kemampuannya. Jangan sampai kita membuat semakin panjang barisan
orang-orang yang ‘mutung’ di sekitar kita, khususnya dalam kehidupan menggereja
dan pelayanan. Kita mau belajar dari Yesus, agar bisa sampai pada pengakuan
atas iman orang-orang yang telah tahan uji dan memiliki kebesaran hati.
Semoga sikap batin dan perkataan
kita memberi tempat bagi siapapun yang ingin bersama kita memuliakan Tuhan
dalam pelayanan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar