Sabtu, 19 Agustus 2017

Kepercayaan Orang yang Besar Hati

Hari Minggu Biasa XX (A)

“KEPERCAYAAN ORANG YANG BESAR HATI”

Yes 56:1.6-7, Rm 11:13-15.29-32, Mat 15:21-28

Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Sesungguhnya, sebuah keterlibatan adalah tak ternilai. Kalau melihat seorang anak kecil ikut bernyanyi dengan semangat di antara orang dewasa, kita pasti tertegun dan tersenyum. Ada ketulusan, spontanitas, dan sikap apa adanya. Pengucapan kata dan bidikan nada menjadi tidak penting. Yang memesona saat itu semata-mata ialah keinginan untuk terlibat. Sayangnya, semakin dewasa kita, semakin banyak kriteria yang dipakai untuk saling menilai sesama. Keterlibatan di antara orang dewasa tidak selalu kita hargai dan bahkan terlalu banyak kita curigai. Tampaknya kita punya kriteria yang terlalu tinggi untuk bisa mengapresiasi bantuan dan keterlibatan tulus orang lain.

Dalam hal keterlibatan, orang Jawa punya istilah bagi orang yang karena satu dan lain hal kecewa lalu tak mau datang lagi, yakni ‘mutung’ (Jw. ‘ngambek’). Meskipun tidak ada yang senang dikatakan ‘mutung’, dalam kenyataan banyak orang yang bersikap demikian. Kalau begitu, ada sikap dua arah yang sangat dibutuhkan dalam kebersamaan iman. Di satu sisi ada apresiasi, di lain sisi ada kebesaran hati. Ketika hanya salah satu yang terungkap, kita mungkin belum dewasa dalam iman. Dan lagi, tak ada orang yang senang dianggap belum dewasa.

Bagi Matius, tak ada sikap Yesus yang tanpa maksud. Dalam Injilnya yang kita dengar hari ini, Matius ‘menangkap’ maksud Yesus yang begitu dalam di balik perkataan-Nya terhadap seorang perempuan Kanaan. Matius menunjukkan bahwa perempuan itu mewakili bangsa yang dianggap sebagai “musuh lama” Israel. Bangsa Kanaan yang dahulu mendiami Tanah Terjanji bagi Israel pernah ditaklukkan atas nama Allah. Citra itu masih membekas dalam diri perempuan itu, saat mohon kepada Yesus agar menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan. Israel mungkin sudah lupa, tapi tidak bagi bangsa Kanaan. Ibu ini dianggap sebagai kecundang, orang yang dikalahkan, yang tidak penting, dan sangat mudah untuk diabaikan.

Tanggapan pertama Yesus diucapkan sambil lalu, tapi kemudian seperti menusuk hati ketika Ia berkata, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing”. Kepercayaan ibu itu tak mudah dikalahkan, dan berkata, “Benar Tuhan”. Ia menerima gambaran tentang meja makan itu, tapi menambahkan bahwa pasti ada remah-remah yang jatuh dari meja. Itu pun cukup! Di sinilah maksud Yesus terjadi. Ia menunjukkan bahwa iman harus diuji, sebab kalau tidak, murid-murid-Nya takkan belajar tentang kerendahan hati dan kebesaran hati. Dan kisah ini dalam Injil Matius menjadi saat satu-satunya Yesus mengatakan bahwa iman seseorang besar.

Bicara soal keyakinan dan keterlibatan di zaman sekarang pasti membawa kritik terhadap diri sendiri. Persis manakala kita menganalisis keikutsertaan orang lain dalam sebuah kegiatan, sebenarnya sikap batin kita sendiri sedang diuji. Kita ‘senang’ menebak dan memberi alasan pada keterlibatan orang lain, padahal mungkin motivasinya jauh lebih tulus dari yang kita sangka. Prasangka semacam ini lekas tumbuh dengan subur melalui gosip dan ‘curhat’. Dan kenyataan ialah, bahwa kita sendiri yang senang menebak motivasi orang lain, belum melakukan sesuatu yang berarti. Kita sibuk menilai orang lain dan membuat kriteria yang terlalu tinggi, sampai bahkan kita sendiri pun tidak bisa mencapainya. Padahal, kehidupan beriman seharusnya diwarnai penerimaan dan apresiasi, sebab mereka yang melayani bersama kita sudah memberikan yang terbaik dari dirinya. Betapa sulit kita sampai pada pengakuan yang diungkapkan Yesus terhadap ibu itu: “Besar imanmu”! Kita lebih terpaku pada ‘mengalahkan’ orang lain.

Baik Kitab Yesaya (Bacaan I) maupun Surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Bacaan II) menegaskan kehendak Allah yang ingin menyelamatkan semua bangsa. Yesaya menuliskan firman Tuhan bahwa “Mereka semua akan Kuberi sukacita di rumah doa-Ku”. Paulus mengingatkan bahwa “kamu dahulu tidak taat kepada Allah, [namun] beroleh kemurahan, ... supaya oleh kemurahan yang telah kamu peroleh, mereka juga beroleh kemurahan”. Artinya, kita sendiri pernah tidak taat dan diselamatkan, maka seharusnya kita mengerti bahwa Allah pun akan menyelamatkan orang lain yang justru tidak kita perhitungkan atau kita singkirkan. Allah selalu memperhitungkan kebesaran hati seseorang, sesuatu yang sering tidak kita lihat.

Hari ini kita belajar dari sabda Tuhan, tentang bagaimana mengapresiasi keterlibatan orang lain dan berbesar hati dalam mewujudkan iman kita. Setiap keterlibatan, seperti halnya iman, adalah sesuatu yang tak ternilai. Kita perlu melepaskan banyak kriteria penilaian terhadap orang lain, supaya kita sendiri mengerti bahwa Tuhan pun memanggil dia sesuai dengan kemampuannya. Jangan sampai kita membuat semakin panjang barisan orang-orang yang ‘mutung’ di sekitar kita, khususnya dalam kehidupan menggereja dan pelayanan. Kita mau belajar dari Yesus, agar bisa sampai pada pengakuan atas iman orang-orang yang telah tahan uji dan memiliki kebesaran hati.

Semoga sikap batin dan perkataan kita memberi tempat bagi siapapun yang ingin bersama kita memuliakan Tuhan dalam pelayanan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar