Hari Minggu Biasa XXI (A)
“MENJADI BATU KARANG TUHAN”
Yes 22:19-23, Rm 11:33-36, Mat
16:13-20
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Selalu ada orang-orang tertentu
yang menjadi ‘pegangan’ dalam sebuah kelompok. Mereka diandalkan dan dipercaya
oleh yang lain. Kalau muncul kebimbangan, saran mereka ditunggu-tunggu. Kalau
ada pertanyaan yang sulit dijawab, mata kita tertuju kepada orang-orang ini,
karena yakin akan kebijaksanaan mereka. Ketika ada perselisihan di antara
anggota, kita tahu itu takkan lama, karena ada orang yang akan meredakan ketegangan.
Dalam iman, kita percaya bahwa Roh Kudus sungguh-sungguh hadir dalam
kebersamaan iman. Ia tidak membiarkan kita sebatang kara, tetapi hadir melalui
figur-figur yang selalu dapat kita andalkan ini.
Akan tetapi, kepercayaan kepada
orang-orang tertentu itu tidak muncul begitu saja. Dalam beberapa kelompok,
orang yang berkomitmen kuat dan mengabdi dengan sepenuh hati pun kadang-kadang
tidak dihargai. Entah dari mana bisa muncul mentalitas yang tidak senang dan
bahkan menyerang pribadi orang yang sebetulnya adalah kekuatan sebuah kelompok.
Keanehan seperti ini terjadi pula dalam kehidupan iman. Kita membutuhkan
figur-figur kuat di tengah kita, tapi sekaligus tidak suka bila ada orang yang
membawa kemajuan yang baik.
Setelah sekian lama bersama-sama
dengan para murid-Nya, Yesus bertanya kepada mereka tentang pengenalan terhadap
diri-Nya. Tentu saja bukan maksud Yesus untuk mengetahui apa kata orang saja,
melainkan apa kata murid-murid-Nya sendiri tentang Dia. Jawaban Simon Petrus
kemudian membuat Yesus menyebutnya berbahagia, karena sesungguhnya Bapa telah menyatakannya
kepada Simon. Itulah tujuan Yesus memanggil para murid untuk terlibat dalam
karya-karya-Nya, yakni agar mereka melihat dan mengalami sendiri bahwa Bapa
sungguh-sungguh ada dalam Dia. Jawaban Simon mewakili para murid yang lain dan
menegaskan kehadiran Allah di dunia.
Yesus tidak hanya mengapresiasi
kata-kata pengakuan iman Simon, melainkan terutama ‘diri’ Simon sendiri. Ketika
menyebutnya “batu karang” (Yun. ‘Petros’), Yesus memang menunjuk pada orangnya.
Batu karang itu bukanlah pengakuan iman yang terucap dari mulut Simon, tetapi
diri Simon sebagai pribadi! Kelak Simon akan menjadi pemimpin Gereja yang telah
didirikan Yesus atas dirinya. Yesus tidak mengatakan bahwa Simon adalah orang
yang sempurna, namun bahwa ia akan menjadi panutan karena keteguhan hati serta
keberaniannya. Di atas dasar pribadi yang real dan teguh seperti inilah Gereja
(Yun. ‘ekklesia’) Kristus itu didirikan. Kekuatan yang paling menakutkan
sekalipun di dunia ini, yakni maut, tidak akan dapat menguasainya!
Ada masa-masa ketika kebersamaan
kita dalam pelayanan mengalami pasang dan surut. Ada saat ketika keberhasilan
dialami sebagai buah dari kerja sama yang baik. Pada waktu itu mungkin kita
masih bisa mengagumi usaha bersama kita. Lambat laun, kita mulai mengetahui
bahwa di balik keberhasilan sebuah kegiatan, pasti ada orang-orang yang punya kharisma
kepemimpinan dan mampu memotivasi keterlibatan orang lain. Anehnya, persis pada
saat semakin banyak orang mengapresiasi kepemimpinan seseorang, tumbuh perasaan
tidak suka dalam hati kita. Entah dari mana, muncul pertanyaan yang mengusik:
Mengapa bukan saya yang menjadi pemimpin? Mengapa bukan saya yang dikagumi oleh
banyak orang? Mengapa ‘dia’? Benih-benih
kedengkian seperti ini sungguh-sungguh ada di antara kita, menyebar persis di
jantung pelayanan dan kebersamaan iman sebagai sesama pengikut Kristus! Benih-benih
ilalang itu melemahkan pribadi kita dan mungkin membuat kita tak mampu menjadi
dasar yang kokoh bagi jemaat Kristus. Kita serupa dengan pasir yang merobohkan
bangunan.
Kitab Yesaya (Bacaan I)
menyampaikan firman Tuhan yang berkehendak menurunkan Sebna dan mengangkat
Elyakim sebagai “pengurus istana raja”. Rupanya jabatan ini memegang kuasa
terkait dengan kunci rumah Daud, sehingga “bila ia membuka, tidak ada yang
dapat menutupnya; bila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka”. Pernyataan
ini sejajar dengan kata-kata Yesus terhadap Simon Petrus dalam Injil.
Kepemimpinan dalam Gereja lebih berkaitan dengan kharisma (‘pemberian’) yang semata-mata
berasal dari Tuhan sendiri. Hanya Tuhan yang menentukan siapa pantas menjadi
pemimpin, yang sesungguhnya adalah ‘dasar’ kokoh, bagi jemaat-Nya. Dan ketika
Ia memilih orang-orang tertentu di antara kita, tidak ada kekuatan dunia yang
akan mampu meruntuhkan apa yang didirikan-Nya.
Setiap orang kristiani dipanggil
untuk menjadi dasar kokoh Gereja. Kita masing-masing dibutuhkan Tuhan sebagai
batu-batu yang hidup. Meskipun demikian, ada orang-orang tertentu yang dipakai
Tuhan secara khusus untuk menjadi ‘pegangan’ bagi sesamanya, dan bagi kita
juga. Saat menyadari hal itu, kita perlu belajar bersikap rendah hati dalam kebersamaan
iman dan lebih-lebih, belajar untuk mau dipimpin. Ada saatnya kita
mempercayakan komitmen iman kita dalam bimbingan orang lain. Tuhan memberi
kharisma yang berbeda-beda kepada kita.
Semoga kita berani membersihkan
benih-benih kedengkian dari pelayanan, dan bersama dengan yang lain – sebagai
komunitas – menjadi batu karang Tuhan yang bisa diandalkan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar