Minggu, 27 Agustus 2017

Menjadi Batu Karang Tuhan


Hari Minggu Biasa XXI (A)

“MENJADI BATU KARANG TUHAN”

Yes 22:19-23, Rm 11:33-36, Mat 16:13-20

Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Selalu ada orang-orang tertentu yang menjadi ‘pegangan’ dalam sebuah kelompok. Mereka diandalkan dan dipercaya oleh yang lain. Kalau muncul kebimbangan, saran mereka ditunggu-tunggu. Kalau ada pertanyaan yang sulit dijawab, mata kita tertuju kepada orang-orang ini, karena yakin akan kebijaksanaan mereka. Ketika ada perselisihan di antara anggota, kita tahu itu takkan lama, karena ada orang yang akan meredakan ketegangan. Dalam iman, kita percaya bahwa Roh Kudus sungguh-sungguh hadir dalam kebersamaan iman. Ia tidak membiarkan kita sebatang kara, tetapi hadir melalui figur-figur yang selalu dapat kita andalkan ini.

Akan tetapi, kepercayaan kepada orang-orang tertentu itu tidak muncul begitu saja. Dalam beberapa kelompok, orang yang berkomitmen kuat dan mengabdi dengan sepenuh hati pun kadang-kadang tidak dihargai. Entah dari mana bisa muncul mentalitas yang tidak senang dan bahkan menyerang pribadi orang yang sebetulnya adalah kekuatan sebuah kelompok. Keanehan seperti ini terjadi pula dalam kehidupan iman. Kita membutuhkan figur-figur kuat di tengah kita, tapi sekaligus tidak suka bila ada orang yang membawa kemajuan yang baik.

Setelah sekian lama bersama-sama dengan para murid-Nya, Yesus bertanya kepada mereka tentang pengenalan terhadap diri-Nya. Tentu saja bukan maksud Yesus untuk mengetahui apa kata orang saja, melainkan apa kata murid-murid-Nya sendiri tentang Dia. Jawaban Simon Petrus kemudian membuat Yesus menyebutnya berbahagia, karena sesungguhnya Bapa telah menyatakannya kepada Simon. Itulah tujuan Yesus memanggil para murid untuk terlibat dalam karya-karya-Nya, yakni agar mereka melihat dan mengalami sendiri bahwa Bapa sungguh-sungguh ada dalam Dia. Jawaban Simon mewakili para murid yang lain dan menegaskan kehadiran Allah di dunia.

Yesus tidak hanya mengapresiasi kata-kata pengakuan iman Simon, melainkan terutama ‘diri’ Simon sendiri. Ketika menyebutnya “batu karang” (Yun. ‘Petros’), Yesus memang menunjuk pada orangnya. Batu karang itu bukanlah pengakuan iman yang terucap dari mulut Simon, tetapi diri Simon sebagai pribadi! Kelak Simon akan menjadi pemimpin Gereja yang telah didirikan Yesus atas dirinya. Yesus tidak mengatakan bahwa Simon adalah orang yang sempurna, namun bahwa ia akan menjadi panutan karena keteguhan hati serta keberaniannya. Di atas dasar pribadi yang real dan teguh seperti inilah Gereja (Yun. ‘ekklesia’) Kristus itu didirikan. Kekuatan yang paling menakutkan sekalipun di dunia ini, yakni maut, tidak akan dapat menguasainya!

Ada masa-masa ketika kebersamaan kita dalam pelayanan mengalami pasang dan surut. Ada saat ketika keberhasilan dialami sebagai buah dari kerja sama yang baik. Pada waktu itu mungkin kita masih bisa mengagumi usaha bersama kita. Lambat laun, kita mulai mengetahui bahwa di balik keberhasilan sebuah kegiatan, pasti ada orang-orang yang punya kharisma kepemimpinan dan mampu memotivasi keterlibatan orang lain. Anehnya, persis pada saat semakin banyak orang mengapresiasi kepemimpinan seseorang, tumbuh perasaan tidak suka dalam hati kita. Entah dari mana, muncul pertanyaan yang mengusik: Mengapa bukan saya yang menjadi pemimpin? Mengapa bukan saya yang dikagumi oleh banyak  orang? Mengapa ‘dia’? Benih-benih kedengkian seperti ini sungguh-sungguh ada di antara kita, menyebar persis di jantung pelayanan dan kebersamaan iman sebagai sesama pengikut Kristus! Benih-benih ilalang itu melemahkan pribadi kita dan mungkin membuat kita tak mampu menjadi dasar yang kokoh bagi jemaat Kristus. Kita serupa dengan pasir yang merobohkan bangunan.

Kitab Yesaya (Bacaan I) menyampaikan firman Tuhan yang berkehendak menurunkan Sebna dan mengangkat Elyakim sebagai “pengurus istana raja”. Rupanya jabatan ini memegang kuasa terkait dengan kunci rumah Daud, sehingga “bila ia membuka, tidak ada yang dapat menutupnya; bila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka”. Pernyataan ini sejajar dengan kata-kata Yesus terhadap Simon Petrus dalam Injil. Kepemimpinan dalam Gereja lebih berkaitan dengan kharisma (‘pemberian’) yang semata-mata berasal dari Tuhan sendiri. Hanya Tuhan yang menentukan siapa pantas menjadi pemimpin, yang sesungguhnya adalah ‘dasar’ kokoh, bagi jemaat-Nya. Dan ketika Ia memilih orang-orang tertentu di antara kita, tidak ada kekuatan dunia yang akan mampu meruntuhkan apa yang didirikan-Nya.

Setiap orang kristiani dipanggil untuk menjadi dasar kokoh Gereja. Kita masing-masing dibutuhkan Tuhan sebagai batu-batu yang hidup. Meskipun demikian, ada orang-orang tertentu yang dipakai Tuhan secara khusus untuk menjadi ‘pegangan’ bagi sesamanya, dan bagi kita juga. Saat menyadari hal itu, kita perlu belajar bersikap rendah hati dalam kebersamaan iman dan lebih-lebih, belajar untuk mau dipimpin. Ada saatnya kita mempercayakan komitmen iman kita dalam bimbingan orang lain. Tuhan memberi kharisma yang berbeda-beda kepada kita.

Semoga kita berani membersihkan benih-benih kedengkian dari pelayanan, dan bersama dengan yang lain – sebagai komunitas – menjadi batu karang Tuhan yang bisa diandalkan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar