“BUKAN KEHEBATAN, TAPI IMAN”
Yer 20:7-9, Rm 12:1-2, Mat
16:21-27
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Seseorang pernah protes karena
disebut sebagai sosok yang ‘perkasa’. Ia tidak merasa demikian, dan mengatakan
bahwa apa yang dilakukannya hanyalah menjalani hidup dengan setia. Nah, apa itu
‘perkasa’? Kata ini tidak dijelaskan mulai dengan sifat hebat atau luar biasa, melainkan
“kuat, tangguh, serta gagah berani”. Pengertian itu berbeda dari prestasi, malah
tidak menampakkan suatu pencapaian. Kekuatan, ketangguhan, dan keberanian
adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang, dan tidak serta merta kelihatan.
Kalau begitu, betapa banyak orang yang pantas disebut perkasa, meskipun tak
pernah mendapat penghargaan dari siapapun. Mereka masih dapat tersenyum ketika menjalani
kesulitan, masih terus berjuang meskipun tak ada yang mendukungnya, dan dengan
bangga memanggul salibnya.
Sampai sekarang, para pengikut
Kristus tidak selalu mudah menjelaskan makna simbol paling kuat imannya: salib.
Sejak dahulu salib adalah simbol kekalahan, hukuman, bahkan kehinaan. Akan
tetapi, mungkin kekeliruannya terletak pada keinginan untuk ‘menjelaskan’ itu.
Ketika berusaha menjelaskan, kita menggunakan akal dan kata-kata. Padahal, iman
bukanlah pencapaian, apalagi pertunjukan. Selama hanya mau membuktikan iman dan
mencari pengakuan orang, kita mungkin tak sempat menjalaninya dengan kuat,
tangguh, dan berani.
Bagi murid-murid Yesus,
pemberitahuan pertama tentang salib itu sangat mengejutkan. Bagi mereka, salib
membutuhkan penjelasan, tapi bagi Yesus, salib hanya bisa dijalani dengan iman.
Matius berusaha menceritakan kesulitan para murid yang tidak selalu mengerti
maksud Yesus. Salib tidaklah seperti kelihatannya! Itu sebabnya, Yesus mengatakan
bahwa salib adalah sesuatu yang ‘harus’ (Yun. ‘dei’) terjadi. Mesias adalah
Mesias justru karena ia menderita dan kehilangan segala-galanya. Yesus harus
menjalani salib, sebab dengan begitulah Ia akan mengajarkan kekuatan iman bukan
dengan kata-kata,melainkan dengan tindakan, dengan
berjalan sepenuh iman.
Yesus tidak meninggalkan Petrus
dengan kebingungannya. Ia berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Kata-kata ini
sangat gamblang menggambarkan apa yang harus ‘dilakukan’ oleh seorang pengikut Kristus.
Bukan pembuktian iman. Bukan penjelasan atau pembenaran sikap. Menyangkal diri
berarti tidak usah menjelaskan apapun sikap diri; selanjutnya, hanya memikul
salib kita masing-masing, dan mengikuti Kristus. Pesan Yesus tidak sedikitpun
dimaksud agar kita menunjukkan sikap iman yang hebat kepada orang lain. Hanya
menjalani.
Di sekitar kita, kecenderungan
pembuktian diri sangat kelihatan. Tuntutan berprestasi dan persaingan yang
terlalu ditekankan masyarakat kita membuat orang sulit menghargai
tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan dengan penuh cinta. Tidak ada
penghargaan untuk orang-orang sederhana, atau yang profesinya tidak
memperlihatkan prestasi yang hebat. Bagaimana kalau pencapaian dan keberhasilan
dipakai sebagai ukuran dalam kehidupan iman kita? Mungkin suatu saat kita akan
cepat letih dalam beriman, atau sebaliknya, kita merasa harus mencari dukungan
orang lewat penjelasan yang panjang lebar. Mengapa sikap iman ‘harus’
dijelaskan dan dibuktikan? Kita merasa gelisah kalau perbuatan baik kita tidak
dilihat orang. Kita merasa sedih kalau kesetiaan kita dalam pelayanan tidak
dihargai. Ketika menyadari hal itu, mungkin kita baru paham apa maksud Yesus
saat berpesan agar kita memikul salib kita masing-masing, dan tetap berjalan
mengikuti Dia. Itulah iman! Iman tidak dapat dijelaskan ataupun dibuktikan.
Nabi Yeremia sangat jujur ketika
berdoa kepada Tuhan (Bacaan I). Semakin jauh ia menghayati panggilan Tuhan,
semakin ia mengerti bahwa jalan itu bukanlah sesuatu yang hebat dan cemerlang.
Yeremia justru merasa menjadi sasaran olok-olokan dan tertawaan. Ia seperti
merasa sendirian ketika menyuarakan firman Tuhan di hadapan kelaliman dan aniaya.
Akan tetapi, jalan Tuhan yang dihayatinya itu membawa kekuatan yang
mengejutkan. Di dalam hatinya, “ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala”,
dan ia tak sanggup menahannya. Api itulah kekuatan dan keberanian dari imannya.
Api itu membuat setiap orang yang mengikuti jalan Tuhan tak mudah menyerah di
hadapan penderitaan dan kesulitan apapun.
Kita masing-masing mempunyai
salib yang selalu baik bagi diri kita, dan yang harus dipikul dengan api iman
yang ada dalam diri kita. Simbol itu bukan suatu kekalahan, justru kemenangan
iman kita. Kita tidak akan lari daripadanya, tapi memikulnya dengan perkasa.
Kita bahkan boleh merasa bangga karena
diizinkan menjalani apa yang dahulu pernah dijalani oleh Yesus sendiri. Apapun
komentar dan penilaian orang lain, keberanian serta
kesetiaan kita untuk terus berjuang dengan penuh cinta adalah sebuah
kebahagiaan tersendiri. Apakah kita masih bisa tersenyum ketika dianggap gagal?
Apakah kita masih tegak berdiri ketika dianggap kalah dan tidak berprestasi?
Semoga kita mampu bersyukur dalam
setiap peristiwa hidup, sebab api Tuhan di hati kita takkan pernah padam
memberi kekuatan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar