Minggu, 03 September 2017

Bukan Kelebihan Tetapi Iman

Hari Minggu Biasa XXII (A)

“BUKAN KEHEBATAN, TAPI IMAN”

Yer 20:7-9, Rm 12:1-2, Mat 16:21-27

Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Seseorang pernah protes karena disebut sebagai sosok yang ‘perkasa’. Ia tidak merasa demikian, dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya hanyalah menjalani hidup dengan setia. Nah, apa itu ‘perkasa’? Kata ini tidak dijelaskan mulai dengan sifat hebat atau luar biasa, melainkan “kuat, tangguh, serta gagah berani”. Pengertian itu berbeda dari prestasi, malah tidak menampakkan suatu pencapaian. Kekuatan, ketangguhan, dan keberanian adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang, dan tidak serta merta kelihatan. Kalau begitu, betapa banyak orang yang pantas disebut perkasa, meskipun tak pernah mendapat penghargaan dari siapapun. Mereka masih dapat tersenyum ketika menjalani kesulitan, masih terus berjuang meskipun tak ada yang mendukungnya, dan dengan bangga memanggul salibnya.

Sampai sekarang, para pengikut Kristus tidak selalu mudah menjelaskan makna simbol paling kuat imannya: salib. Sejak dahulu salib adalah simbol kekalahan, hukuman, bahkan kehinaan. Akan tetapi, mungkin kekeliruannya terletak pada keinginan untuk ‘menjelaskan’ itu. Ketika berusaha menjelaskan, kita menggunakan akal dan kata-kata. Padahal, iman bukanlah pencapaian, apalagi pertunjukan. Selama hanya mau membuktikan iman dan mencari pengakuan orang, kita mungkin tak sempat menjalaninya dengan kuat, tangguh, dan berani.

Bagi murid-murid Yesus, pemberitahuan pertama tentang salib itu sangat mengejutkan. Bagi mereka, salib membutuhkan penjelasan, tapi bagi Yesus, salib hanya bisa dijalani dengan iman. Matius berusaha menceritakan kesulitan para murid yang tidak selalu mengerti maksud Yesus. Salib tidaklah seperti kelihatannya! Itu sebabnya, Yesus mengatakan bahwa salib adalah sesuatu yang ‘harus’ (Yun. ‘dei’) terjadi. Mesias adalah Mesias justru karena ia menderita dan kehilangan segala-galanya. Yesus harus menjalani salib, sebab dengan begitulah Ia akan mengajarkan kekuatan iman bukan dengan kata-kata,melainkan dengan tindakan, dengan berjalan sepenuh iman.

Yesus tidak meninggalkan Petrus dengan kebingungannya. Ia berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Kata-kata ini sangat gamblang menggambarkan apa yang harus ‘dilakukan’ oleh seorang pengikut Kristus. Bukan pembuktian iman. Bukan penjelasan atau pembenaran sikap. Menyangkal diri berarti tidak usah menjelaskan apapun sikap diri; selanjutnya, hanya memikul salib kita masing-masing, dan mengikuti Kristus. Pesan Yesus tidak sedikitpun dimaksud agar kita menunjukkan sikap iman yang hebat kepada orang lain. Hanya menjalani.

Di sekitar kita, kecenderungan pembuktian diri sangat kelihatan. Tuntutan berprestasi dan persaingan yang terlalu ditekankan masyarakat kita membuat orang sulit menghargai tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan dengan penuh cinta. Tidak ada penghargaan untuk orang-orang sederhana, atau yang profesinya tidak memperlihatkan prestasi yang hebat. Bagaimana kalau pencapaian dan keberhasilan dipakai sebagai ukuran dalam kehidupan iman kita? Mungkin suatu saat kita akan cepat letih dalam beriman, atau sebaliknya, kita merasa harus mencari dukungan orang lewat penjelasan yang panjang lebar. Mengapa sikap iman ‘harus’ dijelaskan dan dibuktikan? Kita merasa gelisah kalau perbuatan baik kita tidak dilihat orang. Kita merasa sedih kalau kesetiaan kita dalam pelayanan tidak dihargai. Ketika menyadari hal itu, mungkin kita baru paham apa maksud Yesus saat berpesan agar kita memikul salib kita masing-masing, dan tetap berjalan mengikuti Dia. Itulah iman! Iman tidak dapat dijelaskan ataupun dibuktikan.

Nabi Yeremia sangat jujur ketika berdoa kepada Tuhan (Bacaan I). Semakin jauh ia menghayati panggilan Tuhan, semakin ia mengerti bahwa jalan itu bukanlah sesuatu yang hebat dan cemerlang. Yeremia justru merasa menjadi sasaran olok-olokan dan tertawaan. Ia seperti merasa sendirian ketika menyuarakan firman Tuhan di hadapan kelaliman dan aniaya. Akan tetapi, jalan Tuhan yang dihayatinya itu membawa kekuatan yang mengejutkan. Di dalam hatinya, “ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala”, dan ia tak sanggup menahannya. Api itulah kekuatan dan keberanian dari imannya. Api itu membuat setiap orang yang mengikuti jalan Tuhan tak mudah menyerah di hadapan penderitaan dan kesulitan apapun.

Kita masing-masing mempunyai salib yang selalu baik bagi diri kita, dan yang harus dipikul dengan api iman yang ada dalam diri kita. Simbol itu bukan suatu kekalahan, justru kemenangan iman kita. Kita tidak akan lari daripadanya, tapi memikulnya dengan perkasa. Kita  bahkan boleh merasa bangga karena diizinkan menjalani apa yang dahulu pernah dijalani oleh Yesus sendiri. Apapun komentar dan penilaian orang lain, keberanian serta kesetiaan kita untuk terus berjuang dengan penuh cinta adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Apakah kita masih bisa tersenyum ketika dianggap gagal? Apakah kita masih tegak berdiri ketika dianggap kalah dan tidak berprestasi?

Semoga kita mampu bersyukur dalam setiap peristiwa hidup, sebab api Tuhan di hati kita takkan pernah padam memberi kekuatan. 
  
Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar