Yes 55:6-9, Flp 1:20c-24.27a, Mat
20:1-16a
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Dari mana munculnya sarkasme? Sarkasme
ditemukan dalam senyuman menghina, wajah yang sinis, dan terutama kata-kata
yang menyakitkan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ‘sarkazo’ yang berarti menggertakkan
gigi (dengan marah). Kita tahu bahwa sikap ini adalah sesuatu yang tidak harus
ditunjukkan, tapi tetap saja terungkap, dan kadang-kadang tanpa disengaja.
Sikap demikian selalu muncul dalam kaitan dengan apa yang kita lihat atau
dengar tentang orang lain, dan tidak selalu hal yang buruk. Lebih sering
terjadi, ketika suatu kebaikan dilakukan atau dialami orang lain, kita malah
tersenyum sinis atau berujar negatif. Itulah pertanyaannya, dari mana sikap
seperti ini?
Mungkin penyebabnya ialah kebaikan.
Kita senang menilai kebaikan yang ‘pantas’ dialami seseorang. Manakala
seseorang yang kita merasa tahu hidupnya seperti apa, menerima suatu berkat
melimpah, kita lantas tersenyum sinis. Kebaikan yang dialami orang lain
ternyata tidak menyenangkan hati kita. Konsekuensi sikap seperti ini dalam
kehidupan iman bisa panjang dan sulit diperbaiki. Kita percaya akan Allah yang mahabaik,
tetapi ketika Ia baik kepada semua orang, kita malah menjadi ragu-ragu. Apakah
kita masih pantas disebut beriman?
Bagian Injil Matius yang kita dengar
hari ini didahului bagian yang menampilkan pertanyaan Petrus soal upah bagi
para murid setelah meninggalkan segala-galanya dan mengikuti Yesus (19:27-30).
Di sini Yesus mulai berkisah dengan “seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar
mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya”. Kalau tuan rumah itu adalah
Allah, kita dapat membayangkan bahwa Ia setiap saat mencari pekerja untuk
bekerja di Kerajaan Sorga. Ia adalah sosok yang lebih peduli pada orang-orang
yang tidak punya pekerjaan. Tapi, tuan rumah itu tak berhenti di sini. Ia ingin
mengenalkan ‘siapa’ dirinya, maka tibalah saat memberi upah. Di situlah ia
memberi kepada mereka, mulai dari yang terdahulu bekerja. Ia ingin agar semua
pekerja melihatnya. Ia adalah Kebaikan itu sendiri.
Sayangnya, kebaikan itu malah memicu
sungut-sungut. Maka, tuan itu bertanya secara harafiah begini, “Apakah matamu
jahat, karena aku baik?” (Yun. ‘agathos’ berarti baik). Ketika kebaikan yang
begitu jelas justru dianggap sebagai hal yang tidak adil, kita sadar bahwa ada
yang salah. Mereka yang bersungut-sungut lupa bahwa tuan itu berjanji akan
memberi “apa yang pantas” kepada orang-orang yang datang bekerja kemudian.
Kesalahan terjadi saat orang merasa berhak menilai kebaikan yang pantas, atau
tidak pantas, diterima oleh sesamanya.
Perumpamaan Yesus itu sangat relevan
dengan kehidupan dan kebersamaan iman kita dewasa ini. Kita kadang-kadang
“bermain Tuhan” karena merasa berhak menentukan siapa boleh dan siapa tidak
perlu menerima berkat. Ketika seseorang yang kita kenal dikagumi banyak orang
dan didengarkan kata-katanya, kita malah berpikir, “Tunggu saja saatnya, nanti
dia akan ketahuan aslinya dan ditinggalkan orang”. Atau, kalau pelayanan sebuah
kelompok semakin menarik banyak orang terlibat di dalamnya, kita justru tidak
mau mendukungnya dan cenderung mencari-cari kelemahannya. Pertanyaan Yesus
sangat cocok ditujukan kepada kita, “Apakah matamu jahat, karena Aku baik?” Ia
mengenalkan siapa Allah yang adalah Sang Kebaikan itu, dan Ia ingin agar semua
orang mengenali Dia dengan pandangan mata yang mampu melihat kebaikan! Mungkin
di situlah terletak kegagalan kita sebagai pengikut Kristus mengenali kebaikan
Allah yang terjadi di mana-mana. Sebelum merasa bangga pada diri sendiri, kita
mestinya mengenali kehadiran Allah dalam setiapkebaikan pada orang lain.
“Carilah Tuhan selama Ia berkenan
ditemui, berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” Seruan nabi Yesaya (Bacaan I)
ini menyadarkan kita bahwa Tuhan bekerja setiap saat di sekitar kita. Yesaya
lebih lanjut mengingatkan betapa berbeda rancangan Tuhan dibanding pemikiran
kita, manusia. Itu berarti bahwa Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk hadir
sebagai berkat dalam pengalaman hidup setiap orang. Ia dekat dengan kita dan
berkenan ditemui, dikenali, dalam berbagai peristiwa rahmat yang dialami oleh
saudara-saudara kita. Hanya dengan demikian kita akan menyadari bahwa kita pun
sebetulnya sudah menerima “apa yang pantas” bagi kita masing-masing.
Pesan Injil hari ini mengundang kita
untuk bersyukur atas segala peristiwa hidup yang kita alami maupun yang dialami
oleh sesama kita. Kita diajak untuk melihat Allah yang adalah Sang Kebaikan
menampakkan diri dekat pada kita, yakni ketika saudara kita berhasil atau
dikagumi orang, ketika sebuah kelompok pelayanan mampu melibatkan banyak orang dalam
relasi dengan Allah, dan ketika siapapun menerima berkat dalamhidupnya. Di hadapan Allah, semua orang
pantas menerima berkat-Nya! Kita tidak berhak sedikitpun menentukan bagaimana
Allah mempergunakan milik-Nya!
Kebaikan tidak dapat ditanggapi dengan
sarkasme, sebab setiap kebaikan adalah kehadiran Allah sendiri di dunia ini.
Semoga kita mampu beriman dengan mata yang baik terhadap sesama, sebab kita
masing-masing sudah menerima apa yang pantas untuk kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar