Minggu, 24 September 2017

Apa yang Pantas untuk Kita

Hari Minggu Biasa XXV (A)
Yes 55:6-9, Flp 1:20c-24.27a, Mat 20:1-16a
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Dari mana munculnya sarkasme? Sarkasme ditemukan dalam senyuman menghina, wajah yang sinis, dan terutama kata-kata yang menyakitkan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ‘sarkazo’ yang berarti menggertakkan gigi (dengan marah). Kita tahu bahwa sikap ini adalah sesuatu yang tidak harus ditunjukkan, tapi tetap saja terungkap, dan kadang-kadang tanpa disengaja. Sikap demikian selalu muncul dalam kaitan dengan apa yang kita lihat atau dengar tentang orang lain, dan tidak selalu hal yang buruk. Lebih sering terjadi, ketika suatu kebaikan dilakukan atau dialami orang lain, kita malah tersenyum sinis atau berujar negatif. Itulah pertanyaannya, dari mana sikap seperti ini?

Mungkin penyebabnya ialah kebaikan. Kita senang menilai kebaikan yang ‘pantas’ dialami seseorang. Manakala seseorang yang kita merasa tahu hidupnya seperti apa, menerima suatu berkat melimpah, kita lantas tersenyum sinis. Kebaikan yang dialami orang lain ternyata tidak menyenangkan hati kita. Konsekuensi sikap seperti ini dalam kehidupan iman bisa panjang dan sulit diperbaiki. Kita percaya akan Allah yang mahabaik, tetapi ketika Ia baik kepada semua orang, kita malah menjadi ragu-ragu. Apakah kita masih pantas disebut beriman?

Bagian Injil Matius yang kita dengar hari ini didahului bagian yang menampilkan pertanyaan Petrus soal upah bagi para murid setelah meninggalkan segala-galanya dan mengikuti Yesus (19:27-30). Di sini Yesus mulai berkisah dengan “seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya”. Kalau tuan rumah itu adalah Allah, kita dapat membayangkan bahwa Ia setiap saat mencari pekerja untuk bekerja di Kerajaan Sorga. Ia adalah sosok yang lebih peduli pada orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Tapi, tuan rumah itu tak berhenti di sini. Ia ingin mengenalkan ‘siapa’ dirinya, maka tibalah saat memberi upah. Di situlah ia memberi kepada mereka, mulai dari yang terdahulu bekerja. Ia ingin agar semua pekerja melihatnya. Ia adalah Kebaikan itu sendiri.

Sayangnya, kebaikan itu malah memicu sungut-sungut. Maka, tuan itu bertanya secara harafiah begini, “Apakah matamu jahat, karena aku baik?” (Yun. ‘agathos’ berarti baik). Ketika kebaikan yang begitu jelas justru dianggap sebagai hal yang tidak adil, kita sadar bahwa ada yang salah. Mereka yang bersungut-sungut lupa bahwa tuan itu berjanji akan memberi “apa yang pantas” kepada orang-orang yang datang bekerja kemudian. Kesalahan terjadi saat orang merasa berhak menilai kebaikan yang pantas, atau tidak pantas, diterima oleh sesamanya.

Perumpamaan Yesus itu sangat relevan dengan kehidupan dan kebersamaan iman kita dewasa ini. Kita kadang-kadang “bermain Tuhan” karena merasa berhak menentukan siapa boleh dan siapa tidak perlu menerima berkat. Ketika seseorang yang kita kenal dikagumi banyak orang dan didengarkan kata-katanya, kita malah berpikir, “Tunggu saja saatnya, nanti dia akan ketahuan aslinya dan ditinggalkan orang”. Atau, kalau pelayanan sebuah kelompok semakin menarik banyak orang terlibat di dalamnya, kita justru tidak mau mendukungnya dan cenderung mencari-cari kelemahannya. Pertanyaan Yesus sangat cocok ditujukan kepada kita, “Apakah matamu jahat, karena Aku baik?” Ia mengenalkan siapa Allah yang adalah Sang Kebaikan itu, dan Ia ingin agar semua orang mengenali Dia dengan pandangan mata yang mampu melihat kebaikan! Mungkin di situlah terletak kegagalan kita sebagai pengikut Kristus mengenali kebaikan Allah yang terjadi di mana-mana. Sebelum merasa bangga pada diri sendiri, kita mestinya mengenali kehadiran Allah dalam setiapkebaikan pada orang lain.

“Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui, berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” Seruan nabi Yesaya (Bacaan I) ini menyadarkan kita bahwa Tuhan bekerja setiap saat di sekitar kita. Yesaya lebih lanjut mengingatkan betapa berbeda rancangan Tuhan dibanding pemikiran kita, manusia. Itu berarti bahwa Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk hadir sebagai berkat dalam pengalaman hidup setiap orang. Ia dekat dengan kita dan berkenan ditemui, dikenali, dalam berbagai peristiwa rahmat yang dialami oleh saudara-saudara kita. Hanya dengan demikian kita akan menyadari bahwa kita pun sebetulnya sudah menerima “apa yang pantas” bagi kita masing-masing.

Pesan Injil hari ini mengundang kita untuk bersyukur atas segala peristiwa hidup yang kita alami maupun yang dialami oleh sesama kita. Kita diajak untuk melihat Allah yang adalah Sang Kebaikan menampakkan diri dekat pada kita, yakni ketika saudara kita berhasil atau dikagumi orang, ketika sebuah kelompok pelayanan mampu melibatkan banyak orang dalam relasi dengan Allah, dan ketika siapapun menerima berkat dalamhidupnya. Di hadapan Allah, semua orang pantas menerima berkat-Nya! Kita tidak berhak sedikitpun menentukan bagaimana Allah mempergunakan milik-Nya!

Kebaikan tidak dapat ditanggapi dengan sarkasme, sebab setiap kebaikan adalah kehadiran Allah sendiri di dunia ini. Semoga kita mampu beriman dengan mata yang baik terhadap sesama, sebab kita masing-masing sudah menerima apa yang pantas untuk kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar