Sabtu, 30 September 2017

Pertobatan yang Membuahkan Hasil

Hari Minggu Biasa XXVI (A)
Yeh 18:25-28, Flp 2:1-11, Mat 21:28-32
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Jawaban yang meyakinkan bukanlah jaminan. Soalnya ialah, di zaman ini orang makin pintar bermain peran. Dari para pengemis di jalanan hingga politikus yang paling berkuasa atau orang yang paling kaya, penampilan bisa dibuat sangat meyakinkan. Bahkan di dunia akademis, kata-kata dan tulisan yang telanjur membuat kagum para pembacanya ternyata adalah sebuah ‘plagiarisme’, yakni pencurian ide dari penulis yang lain. Ketika melihat sesuatu yang bagus dan unik, orang tergoda untuk mengklaimnya, menganggapnya sebagai ciptaan sendiri, padahal tak pernah bekerja keras dan jatuh bangun untuk menghasilkannya. Mungkin itu sebabnya kini penilaian semakin ketat. Mereka yang terbiasa jujur pun ikut dipersulit karenanya.

Ketika bicara soal kehidupan iman, kita pun perlu menguji kata-kata serta niat kita sendiri. Kita tidak sedang bersandiwara. Kata-kata dan niat yang baik tidak berhenti pada ibadat kita di tempat ini. Masih banyak kesempatan dan perjumpaan dengan orang lain yang akan membuktikan kesungguhan niat dan kebenaran kata-kata kita, termasuk kalau kita mengucapkannya dengan kesedihan dan air mata bercucuran. Iman itu bukan bermain peran.

Perumpamaan dalam Injil tentang dua orang anak yang diminta bekerja itu benar-benar menyentuh kesungguhan kita dalam beriman. Namun, Yesus mengingatkan dasar yang terpenting iman kita, yakni pertobatan yang tulus dan menghasilkan buah. Anak yang satu pintar menjawab dengan kata-kata yang menyenangkan, “Baik, bapa”, tapi ia tidak pergi, dan tidak juga menyesalinya. Anak yang lain mungkin bersikap reaktif dengan menjawab tidak mau, tapi “kemudian ia menyesal, lalu pergi juga”. Yang menarik, Matius pasti kenal kata ‘metanoia’ (Yun.) yang lazimnya berarti ‘berbalik’, namun ia memilih kata ‘metamelethesis’ yang membawa makna penyesalan, kesedihan dari dalam diri seseorang.

Anak yang menjawab tidak mau itu mengalami kesedihan dari dalam dirinya, dan memperbaikinya lewat tindakan, maka ia pun pergi ke kebun anggur. Yesus menambahkan bahwa anak ini menggambarkan para pemungut cukai serta pelacur yang hatinya dipenuhi penyesalan, dan mau mendengarkan Yohanes Pembaptis serta percaya kepadanya. Kontras ini diperlihatkan Yesus supaya para imam kepala dan tua-tua Yahudi bisa mengalami pertobatan dalam hidup mereka. Ketidakpercayaan adalah sandungan terbesar bagi doa-doa dan ibadat yang mereka lakukan selama ini. Banyak berdoa dan beribadat, tapi tak pernah berubah dalam hal perilaku hidup.

Dunia kita saat ini mungkin bisa disebut “Dunia Kesan”. Yang penting penampilan dan kata-kata kita mengesankan. Dunia itu pula yang mempengaruhi kesaksian kita menjadi tak lebih dari menciptakan kesan yang ‘baik’ terhadap orang lain. Dalam pergaulan sehari-hari, orang lain mungkin bingung terhadap diri kita. Kalau sedang berbagi pengalaman rohani atau memberikan renungan, kita kelihatan meyakinkan dan seakan-akan sudah disadarkan oleh Roh Kudus untuk kembali ke jalan yang benar. Akan tetapi, keluarga dan mereka yang tinggal serumah dengan kita ternyata punya pengalaman yang berbeda atau bahkan berkebalikan dari cerita kita itu. Apakah pertobatan bisa dimanipulasi? Apakah dalam hal-hal rohani dan juga pelayanan sekalipun kita berpikir untuk sekadar mengesankan orang lain? Mungkin orang lain bisa terkesan, tapi Tuhan tidak. Sebab, Tuhan adalah seperti seorang bapa yang meminta anaknya untuk pergi bekerja di kebun anggur itu. Ia melihat siapa yang “menyesal lalu pergi juga”.

Yehezkiel (Bacaan I) ingin menyadarkan orang Israel setelah peristiwa kehancuran Yerusalem, bahwa lebih daripada perkara moral, pertobatan adalah sikap iman di hadapan Tuhan. Manusia mau memakai ukuran moralnya sendiri, bahkan untuk ‘menilai’ tindakan Tuhan. Padahal, Tuhan memperhitungkan buah-buah pertobatan manusia. Dengan kata lain, pertobatan seseorang harus membawa hasil, yakni “melakukan keadilan serta kebenaran”, maka ia akan menyelamatkan nyawanya. Penyesalan kita mestinya tidak berhenti pada ratap tangis, tapi berlanjut dengan perubahan diri kita, yang dialami oleh orang lain, mulai dari mereka yang tinggal serumah dan di sekitar kita.

Hari ini Kitab Suci menyodorkan kepada kita pesan iman yang lebih dalam daripada nasihat moral. Yesus tidak hanya mengajar tentang ketaatan, melainkan kepercayaan pada perintah Bapa yang selalu menghendaki keselamatan kita. Karena kepercayaan itu, kita kadang-kadang akan mengalami kesedihan dari dalam diri kita, namun itu perlu kita alami, supaya kemudian kita melakukan tindakan konkret untuk memperbaiki hidup kita. Setiap kemajuan dan buah-buah iman membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Jangan sampai kita terus menerus bermain peran di depan orang lain atau hanya mencuri kesan, padahal belum melakukan tindakan konkret apapun.

Penyesalan kita harus membuahkan hasil yang dilihat, dirasakan, dan disyukuri oleh mereka yang berada di sekitar kita. Pada saat itulah, Tuhan akan memberikan hidup yang sejati kepada kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar