Yeh
18:25-28, Flp 2:1-11, Mat 21:28-32
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Jawaban
yang meyakinkan bukanlah jaminan. Soalnya ialah, di zaman ini orang makin
pintar bermain peran. Dari para pengemis di jalanan hingga politikus yang
paling berkuasa atau orang yang paling kaya, penampilan bisa dibuat sangat
meyakinkan. Bahkan di dunia akademis, kata-kata dan tulisan yang telanjur
membuat kagum para pembacanya ternyata adalah sebuah ‘plagiarisme’, yakni
pencurian ide dari penulis yang lain. Ketika melihat sesuatu yang bagus dan
unik, orang tergoda untuk mengklaimnya, menganggapnya sebagai ciptaan sendiri,
padahal tak pernah bekerja keras dan jatuh bangun untuk menghasilkannya.
Mungkin itu sebabnya kini penilaian semakin ketat. Mereka yang terbiasa jujur pun
ikut dipersulit karenanya.
Ketika
bicara soal kehidupan iman, kita pun perlu menguji kata-kata serta niat kita
sendiri. Kita tidak sedang bersandiwara. Kata-kata dan niat yang baik tidak
berhenti pada ibadat kita di tempat ini. Masih banyak kesempatan dan perjumpaan
dengan orang lain yang akan membuktikan kesungguhan niat dan kebenaran
kata-kata kita, termasuk kalau kita mengucapkannya dengan kesedihan dan air
mata bercucuran. Iman itu bukan bermain peran.
Perumpamaan
dalam Injil tentang dua orang anak yang diminta bekerja itu benar-benar
menyentuh kesungguhan kita dalam beriman. Namun, Yesus mengingatkan dasar yang
terpenting iman kita, yakni pertobatan yang tulus dan menghasilkan buah. Anak
yang satu pintar menjawab dengan kata-kata yang menyenangkan, “Baik, bapa”,
tapi ia tidak pergi, dan tidak juga menyesalinya. Anak yang lain mungkin
bersikap reaktif dengan menjawab tidak mau, tapi “kemudian ia menyesal, lalu
pergi juga”. Yang menarik, Matius pasti kenal kata ‘metanoia’ (Yun.) yang lazimnya
berarti ‘berbalik’, namun ia memilih kata ‘metamelethesis’ yang membawa makna
penyesalan, kesedihan dari dalam diri seseorang.
Anak
yang menjawab tidak mau itu mengalami kesedihan dari dalam dirinya, dan
memperbaikinya lewat tindakan, maka ia pun pergi ke kebun anggur. Yesus
menambahkan bahwa anak ini menggambarkan para pemungut cukai serta pelacur yang
hatinya dipenuhi penyesalan, dan mau mendengarkan Yohanes Pembaptis serta
percaya kepadanya. Kontras ini diperlihatkan Yesus supaya para imam kepala dan
tua-tua Yahudi bisa mengalami pertobatan dalam hidup mereka. Ketidakpercayaan
adalah sandungan
terbesar bagi doa-doa dan ibadat yang mereka lakukan selama ini. Banyak berdoa
dan beribadat, tapi tak pernah berubah dalam hal perilaku hidup.
Dunia
kita saat ini mungkin bisa disebut “Dunia Kesan”. Yang penting penampilan dan
kata-kata kita mengesankan. Dunia itu pula yang mempengaruhi kesaksian kita
menjadi tak lebih dari menciptakan kesan yang ‘baik’ terhadap orang lain. Dalam
pergaulan sehari-hari, orang lain mungkin bingung terhadap diri kita. Kalau
sedang berbagi pengalaman rohani atau memberikan renungan, kita kelihatan
meyakinkan dan seakan-akan sudah disadarkan oleh Roh Kudus untuk kembali ke
jalan yang benar. Akan tetapi, keluarga dan mereka yang tinggal serumah dengan
kita ternyata punya pengalaman yang berbeda atau bahkan berkebalikan dari
cerita kita itu. Apakah pertobatan bisa dimanipulasi? Apakah dalam hal-hal
rohani dan juga pelayanan sekalipun kita berpikir untuk sekadar mengesankan
orang lain? Mungkin orang lain bisa terkesan, tapi Tuhan tidak. Sebab, Tuhan
adalah seperti seorang bapa yang meminta anaknya untuk pergi bekerja di kebun
anggur itu. Ia melihat siapa yang “menyesal lalu pergi juga”.
Yehezkiel
(Bacaan I) ingin menyadarkan orang Israel setelah peristiwa kehancuran
Yerusalem, bahwa lebih daripada perkara moral, pertobatan adalah sikap iman di
hadapan Tuhan. Manusia mau memakai ukuran moralnya sendiri, bahkan untuk
‘menilai’ tindakan Tuhan. Padahal, Tuhan memperhitungkan buah-buah pertobatan
manusia. Dengan kata lain, pertobatan seseorang harus membawa hasil, yakni “melakukan
keadilan serta kebenaran”, maka ia akan menyelamatkan nyawanya. Penyesalan kita
mestinya tidak berhenti pada ratap tangis, tapi berlanjut dengan perubahan diri
kita, yang dialami oleh orang lain, mulai dari mereka yang tinggal serumah dan
di sekitar kita.
Hari
ini Kitab Suci menyodorkan kepada kita pesan iman yang lebih dalam daripada
nasihat moral. Yesus tidak hanya mengajar tentang ketaatan, melainkan
kepercayaan pada perintah Bapa yang selalu menghendaki keselamatan kita. Karena
kepercayaan itu, kita kadang-kadang akan mengalami kesedihan dari dalam diri
kita, namun itu perlu kita alami, supaya kemudian kita melakukan tindakan
konkret untuk memperbaiki hidup kita. Setiap kemajuan dan buah-buah iman membutuhkan
perjuangan dan kerja keras. Jangan sampai kita terus menerus bermain peran di
depan orang lain atau hanya mencuri kesan, padahal belum melakukan tindakan
konkret apapun.
Penyesalan
kita harus membuahkan hasil yang dilihat, dirasakan, dan disyukuri oleh mereka
yang berada di sekitar kita. Pada saat itulah, Tuhan akan memberikan hidup yang
sejati kepada kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar