Yes
5:1-7, Flp 4:6-9, Mat 21:33-43
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Ambisi
membuat kita kehilangan akal sehat, dan saat itulah orang lain memandang dengan
heran kepada kita. Lupa diri, tidak masuk akal, atau sebutlah apa saja, namun
yang jelas, ambisi membuat kita jadi aneh di mata orang lain. Dan celakanya,
semakin kuat kecenderungan itu, semakin kita tidak merasa salah, apalagi
mengakuinya. Di sekitar kita, banyak teman yang kita kenal cukup lama,
tiba-tiba berubah karena ambisinya. Perubahan itu sulit kita pahami dan sulit
juga dijelaskan. Perubahan-perubahan itu demikian jelas kelihatan, namun
sekaligus alasannya begitu aneh dan tak masuk akal. Suatu saat ambisi bisa muncul
sebagai nafsu atau sikap serakah, tapi semua yang lain dan yang sangat bernilai
dalam hidup mungkin sudah dikorbankan.
Ternyata
tekanan hidup yang dirasa begitu berat dapat mengubah iman kita. Iman kita
pupus manakala kita tidak percaya lagi pada penyelenggaraan ilahi, dan hanya
percaya pada ambisi pribadi. Orang-orang di sekitar kita pun mulai kebingungan
soal bagaimana membantu kita. Mungkin hal yang paling sulit di dunia ini adalah
menolong seseorang yang sudah kehilangan iman dan hanya mau mengejar keinginannya
sendiri.
Perumpamaan
Yesus tentang para pekerja jahat di kebun anggur ini bisa jadi dipandang tidak
masuk akal, tapi justru di situlah akan tersingkap kebenarannya. Alur kisahnya
demikian. Jika tuan tanah itu mati tanpa punya keturunan, para penggarap akan
merasa berhak atas kebun anggur. Sampai di sini, benar. Tetapi, saat anak itu
muncul, para penggarap lantas menyimpulkan bahwa sang tuan sudah mati, lalu membunuh
anaknya juga untuk merampas kebun, kita merasa ada yang tidak masuk akal.
Kenyataannya, tuan tanah itu masih sangat hidup dan menyiapkan hukuman bagi
mereka! Yang mengherankan pula, ketika ditanya, para imam kepala dan orang Farisi
masih bisa menjawab hukuman yang pantas bagi para penggarap jahat itu!
Yesus
memperlihatkan lewat perumpamaan itu bahwa nafsu dan sikap serakah membuat
orang tidak dapat berpikir lagi dan bahkan menolak tawaran keselamatan dari
Allah. Allah yang digambarkan sebagai tuan tanah mengira bahwa kehadiran
Anak-Nya akan membuat para penggarap segan, tapi Ia justru ditanggapi dengan
kekerasan. Matius menempatkan perumpamaan ini persis pada posisi Yesus, yang
kelak juga akan dibuang ke luar Yerusalem dan dibunuh dengan disalibkan. Lebih
dari perkara sikap serakah, perumpamaan ini menunjuk pada penolakan terhadap
kasih Allah yang hanya mau menyelamatkan.
Beberapa
situasi yang kita alami di masa sekarang mencerminkan masalah yang serupa. Ada
banyak penolakan, sikap antipati, dan sikap menghindari yang tidak bisa kita
pahami alasannya. Ada banyak perceraian serta putusnya relasi yang membuat kita
bertanya-tanya tentang sebabnya, dan akhirnya juga tidak pernah menemukan
jawabannya. Kita hidup dalam dunia relasi, dunia pekerjaan, dan juga dalam pelayanan
bersama saudara-saudara seiman, tapi di dalamnya penuh dengan motivasi
tersembunyi tak terduga. Kalau kita menyangka bahwa berdoa saja akan
menyelesaikan segalanya, kita akan lebih kecewa lagi. Mungkinkah kebersamaan
kita membutuhkan “rasa percaya” yang lebih besar satu terhadap yang lain?
Benarkah kita tidak mampu lagi melihat orang lain sebagai yang dikirimkan Tuhan
untuk menyelamatkan kita? Di saat hanya percaya usaha kita sendiri dan tak mau
ditolong oleh siapapun, kita sesungguhnya kehilangan iman dan kehilangan diri sendiri.
Kita menjadi “tidak masuk akal” di mata Tuhan.
Perumpamaan
dalam Injil itu menggemakan begitu serupa “Nyanyian Kebun Anggur” dalam Kitab
Yesaya 5:1-7 (Bacaan I). Sang Pelantun dalam kidung itu ialah Allah sendiri. Ia
telah membangun kebun anggur di lereng bukit yang subur, mencangkulnya dan
menanaminya dengan pokok anggur pilihan. Ia menantikan buah anggur yang baik,
tetapi yang dihasilkan ternyata buah anggur yang asam. Ia demikian heran dengan
hal itu, hingga berkata, “Apakah yang masih harus Kuperbuat untuk kebun
anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya?” Betapa mengena kata-kata dan
gambaran itu kalau kita membandingkannya dengan pengalaman kita sendiri. Tuhan
sudah menyiapkan segalanya, tapi kita masih juga memberi anggur yang asam.
Tanggapan
Yesus atas jawaban para imam dan orang Farisi yang mementingkan kekerasan di
luar dugaan. Ia tidak menghukum, tapi ‘mengambil’ Kerajaan Allah itu dari
mereka, dan memberikannya kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah.
Demikian pula, kalau kita meletakkan ambisi dan keyakinan pribadi di atas
segala-galanya, semua kesempatan dan tawaran dari Allah itu akan diambil dari
hidup kita, dan diberikan kepada orang lain. Seharusnya kita kembali sadar, dan
kembali punya rasa percaya bahwa Tuhan menyelenggarakan hidup kita dengan cara
yang mengagumkan. Keyakinan pribadi kita tak sebanding dengan kasih-Nya yang
selalu ada bagi kita.
Semoga
kita tidak lagi menyedihkan Tuhan, dan semoga siapapun yang dikirimkan-Nya
kepada kita memperoleh kepercayaan kita. Mereka hadir dalam hidup kita karena
Tuhan hanya mau menolong.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar