Yes
45:1.4-6, 1Tes 1:1-5b, Mat 22:15-21
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
‘Rajin’
pasti adalah kata yang baik. Setiap bentuk kerajinan perlu diapresiasi. Ada
orang-orang tertentu di sekitar kita yang rajin membereskan apa saja, hingga
pada hal-hal yang tak terpikirkan. Ada kalanya kerajinan mereka berbenturan
dengan orang yang biasa bekerja di ruangan yang tidak rapih. Yang terakhir ini
akan kebingungan kalau ruangannya tiba-tiba dibersihkan, dan ia tidak dapat
menemukan letak barang-barangnya. Suatu ketika kerajinan kita mungkin agak
berlebihan. Terlalu rajin bisa menciptakan masalah, khususnya dalam relasi
dengan orang lain. Kalau mau mengurusi dan membereskan segala hal, kita bisa saja
lupa bahwa ada yang sebaiknya ‘tidak’ kita urusi, yakni bagian yang personal
dalam hidup orang lain.
Di
situlah acap kali ditemukan problem, yaitu manakala kita ingin ikut membereskan
persoalan yang dihadapi oleh orang lain, padahal tak pernah diminta. Kehidupan iman
kita pun selalu bersentuhan dengan wilayah yang sangat personal setiap orang:
relasi seseorang dengan Tuhan. Ketika kita terlalu rajin dan mau mengurusi
wilayah itu, kita akan berhadapan dengan kuasa Tuhan yang jauh mengatasi maksud
hati paling luhur sekalipun. Sesungguhnya ada banyak saat dalam hidup yang sepenuhnya
adalah milik Tuhan. Kita sebaiknya mundur.
Kejadian
yang kita dengar dalam Injil hari ini sangat dramatis dalam hal bagaimana Yesus
yang semula dipandang sebelah mata menghadirkan kebijaksanaan Allah.
Murid-murid orang Farisi dan orang-orang Herodian berusaha menjerat Yesus
dengan lebih dulu memuji-Nya. Yesus disapa sebagai guru yang jujur dan tak
mencari muka. Terjemahan bagian ini agak sulit, karena bahasa Yunaninya mendua
makna. Berdasar kata ‘prosopon’ (Yun.), pujian itu bisa bermakna “tak memandang
muka” atau, sebaliknya, “tak tahu apa-apa mengenai yang tampak”. Makna yang terakhir
ini menganggap Yesus adalah sosok yang jujur, tapi naif, ketika mengajar
tentang manusia. Itulah sebabnya mereka segera bertanya soal membayar pajak,
sebab dalam dugaan mereka, Yesus pun tak tahu apa-apa tentang pajak.
Dan
jerat itu berbalik arah. Jawaban Yesus melemparkan mereka pada posisi sebagai
manusia, yang seharusnya melakukan kewajibannya sebagai manusia dan menghormati
wilayah yang adalah milik Allah. Berpolemik tentang kewajiban manusiawi dan
iman itulah yang naif! Oleh karenanya, Yesus mengajar dengan penuh kuasa agar
manusia melakukan kewajibannya di dunia ini dengan sebaik-baiknya, dan belajar
menghormati segala sesuatu yang semata-mata adalah hak Allah. Ajaran Yesus
menyentuh inti iman kita, sebab kita seakan-akan berhak ‘mengarahkan’ Tuhan
agar menyetujui keinginan kita.
Lingkungan
sekitar tempat kita hidup pasti memuat banyak situasi yang tidak ideal. Baru
berpikir tentang hal yang “tidak ideal” pun kita sudah akan menemukan berbagai
masalah yang terus berdatangan dalam hidup kita. Siapakah yang tak ingin keluar
dari persoalan? Tidak ada. Semua ingin masalahnya segera beres, tetapi dalam
kehidupan iman, tidak semuanya ‘harus’ kita bereskan, seakan-akan diri kita
sendiri paling menentukan penyelesaiannya. Di situlah kelemahan kita. Kita mau mengurusi
segala hal, karena merasa berhak dan punya kemampuan di atas kemampuan orang
lain. Kerajinan bergeser menjadi arogansi dan sikap tak tahu diri. Mulai dengan
soal berdoa, ada kalanya kita mendesak Tuhan menurunkan rahmat sesuai dengan
janji-Nya, karena kita merasa sudah rajin berdoa. Dalam hal persaudaraan, kita
mau mengatur dan merencanakan semua hal, hingga mengabaikan kesulitan nyata
dari sebagian orang. Kita senang melakukan hal itu dengan mengatasnamakan “kepentingan
bersama” yang ideal. Biasanya ketika hanya mendengarkan diri sendiri dan tak
peduli keberatan orang lain, kita pun sulit menghargai peran Tuhan pada saat
itu.
“Akulah
Tuhan dan tidak ada yang lain”. Sabda Tuhan dalam Kitab Yesaya (Bacaan I) itu
demikian tegas menghadirkan kuasa-Nya semata di antara manusia. Tidak ada raja
dan penguasa dunia dapat melampaui penyelenggaraan-Nya yang berlangsung “dari
terbitnya matahari sampai terbenamnya”. Dengan cara mengagumkan Tuhan
pula yang mengarahkan Koresh, raja Persia, untuk menaklukkan Babilonia, dan
mengirim kembali orang-orang Yahudi ke Yudea. Bagi manusia, pembebasan dari
Babilonia itu tak terpikirkan, namun bagi Tuhan, itulah wilayah-Nya; itulah
saat bagi kuasa-Nya! Peristiwa ini sangat jelas mengajar kita tentang iman yang
sepenuhnya memberi kesempatan kepada Tuhan Allah untuk menyelenggarakan segala
sesuatu.
Apakah
kebersamaan iman kita masih mencerminkan penghargaan yang sama kepada Allah?
Tidak semua hal harus kita urusi. Tidak semua persoalan pribadi orang mesti
kita bereskan. Tidak pantas mengatasnamakan “kepentingan bersama” hanya untuk
memenuhi keinginan pribadi kita sendiri. Menghormati wilayah Allah, atau
memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, hanya bisa dimulai dengan
sikap rendah hati, di hadapan Allah maupun sesama.
Semoga
kita lebih banyak mempersilakan Roh Kudus mengarahkan hidup kita, dan setiap
saat hati kita akan dipenuhi kekaguman akan penyelenggaraan-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar