Sabtu, 21 Oktober 2017

Menghormati Wilayah Allah

Hari Minggu Biasa XXIX (A)
Yes 45:1.4-6, 1Tes 1:1-5b, Mat 22:15-21
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

‘Rajin’ pasti adalah kata yang baik. Setiap bentuk kerajinan perlu diapresiasi. Ada orang-orang tertentu di sekitar kita yang rajin membereskan apa saja, hingga pada hal-hal yang tak terpikirkan. Ada kalanya kerajinan mereka berbenturan dengan orang yang biasa bekerja di ruangan yang tidak rapih. Yang terakhir ini akan kebingungan kalau ruangannya tiba-tiba dibersihkan, dan ia tidak dapat menemukan letak barang-barangnya. Suatu ketika kerajinan kita mungkin agak berlebihan. Terlalu rajin bisa menciptakan masalah, khususnya dalam relasi dengan orang lain. Kalau mau mengurusi dan membereskan segala hal, kita bisa saja lupa bahwa ada yang sebaiknya ‘tidak’ kita urusi, yakni bagian yang personal dalam hidup orang lain.

Di situlah acap kali ditemukan problem, yaitu manakala kita ingin ikut membereskan persoalan yang dihadapi oleh orang lain, padahal tak pernah diminta. Kehidupan iman kita pun selalu bersentuhan dengan wilayah yang sangat personal setiap orang: relasi seseorang dengan Tuhan. Ketika kita terlalu rajin dan mau mengurusi wilayah itu, kita akan berhadapan dengan kuasa Tuhan yang jauh mengatasi maksud hati paling luhur sekalipun. Sesungguhnya ada banyak saat dalam hidup yang sepenuhnya adalah milik Tuhan. Kita sebaiknya mundur.

Kejadian yang kita dengar dalam Injil hari ini sangat dramatis dalam hal bagaimana Yesus yang semula dipandang sebelah mata menghadirkan kebijaksanaan Allah. Murid-murid orang Farisi dan orang-orang Herodian berusaha menjerat Yesus dengan lebih dulu memuji-Nya. Yesus disapa sebagai guru yang jujur dan tak mencari muka. Terjemahan bagian ini agak sulit, karena bahasa Yunaninya mendua makna. Berdasar kata ‘prosopon’ (Yun.), pujian itu bisa bermakna “tak memandang muka” atau, sebaliknya, “tak tahu apa-apa mengenai yang tampak”. Makna yang terakhir ini menganggap Yesus adalah sosok yang jujur, tapi naif, ketika mengajar tentang manusia. Itulah sebabnya mereka segera bertanya soal membayar pajak, sebab dalam dugaan mereka, Yesus pun tak tahu apa-apa tentang pajak.

Dan jerat itu berbalik arah. Jawaban Yesus melemparkan mereka pada posisi sebagai manusia, yang seharusnya melakukan kewajibannya sebagai manusia dan menghormati wilayah yang adalah milik Allah. Berpolemik tentang kewajiban manusiawi dan iman itulah yang naif! Oleh karenanya, Yesus mengajar dengan penuh kuasa agar manusia melakukan kewajibannya di dunia ini dengan sebaik-baiknya, dan belajar menghormati segala sesuatu yang semata-mata adalah hak Allah. Ajaran Yesus menyentuh inti iman kita, sebab kita seakan-akan berhak ‘mengarahkan’ Tuhan agar menyetujui keinginan kita.

Lingkungan sekitar tempat kita hidup pasti memuat banyak situasi yang tidak ideal. Baru berpikir tentang hal yang “tidak ideal” pun kita sudah akan menemukan berbagai masalah yang terus berdatangan dalam hidup kita. Siapakah yang tak ingin keluar dari persoalan? Tidak ada. Semua ingin masalahnya segera beres, tetapi dalam kehidupan iman, tidak semuanya ‘harus’ kita bereskan, seakan-akan diri kita sendiri paling menentukan penyelesaiannya. Di situlah kelemahan kita. Kita mau mengurusi segala hal, karena merasa berhak dan punya kemampuan di atas kemampuan orang lain. Kerajinan bergeser menjadi arogansi dan sikap tak tahu diri. Mulai dengan soal berdoa, ada kalanya kita mendesak Tuhan menurunkan rahmat sesuai dengan janji-Nya, karena kita merasa sudah rajin berdoa. Dalam hal persaudaraan, kita mau mengatur dan merencanakan semua hal, hingga mengabaikan kesulitan nyata dari sebagian orang. Kita senang melakukan hal itu dengan mengatasnamakan “kepentingan bersama” yang ideal. Biasanya ketika hanya mendengarkan diri sendiri dan tak peduli keberatan orang lain, kita pun sulit menghargai peran Tuhan pada saat itu.

“Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain”. Sabda Tuhan dalam Kitab Yesaya (Bacaan I) itu demikian tegas menghadirkan kuasa-Nya semata di antara manusia. Tidak ada raja dan penguasa dunia dapat melampaui penyelenggaraan-Nya yang berlangsung “dari terbitnya matahari sampai terbenamnya”.  Dengan cara mengagumkan Tuhan pula yang mengarahkan Koresh, raja Persia, untuk menaklukkan Babilonia, dan mengirim kembali orang-orang Yahudi ke Yudea. Bagi manusia, pembebasan dari Babilonia itu tak terpikirkan, namun bagi Tuhan, itulah wilayah-Nya; itulah saat bagi kuasa-Nya! Peristiwa ini sangat jelas mengajar kita tentang iman yang sepenuhnya memberi kesempatan kepada Tuhan Allah untuk menyelenggarakan segala sesuatu.

Apakah kebersamaan iman kita masih mencerminkan penghargaan yang sama kepada Allah? Tidak semua hal harus kita urusi. Tidak semua persoalan pribadi orang mesti kita bereskan. Tidak pantas mengatasnamakan “kepentingan bersama” hanya untuk memenuhi keinginan pribadi kita sendiri. Menghormati wilayah Allah, atau memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, hanya bisa dimulai dengan sikap rendah hati, di hadapan Allah maupun sesama.

Semoga kita lebih banyak mempersilakan Roh Kudus mengarahkan hidup kita, dan setiap saat hati kita akan dipenuhi kekaguman akan penyelenggaraan-Nya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar