Sabtu, 28 Oktober 2017

Ketika Aku Menjadi Engkau

Hari Minggu Biasa XXX (A)
Kel 22:21-27, 1Tes 1:5c-10, Mat 22:34-40
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC


Henry Nouwen pernah melukiskan dengan sangat menyentuh ‘kasih’ seorang sahabat yang sejati. Seorang sahabat berbagi keheningan. Ia hadir dalam diam, berbagi doa. Dalam kesedihan kita, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak mampu menghibur kita, tidak pula menyembuhkan luka di hati kita, namun ia memilih untuk tetap berada bersama dengan kita. Itulah sahabat sejati yang mengasihi.


Kasih sudah sering ditafsirkan dalam ribuan cara, dan sebagian besar menunjukkan keaktifan serta tindakan konkret. Kasih hampir tak pernah diungkapkan dengan kata-kata “Aku tidak tahu”. Kita lebih sering mengasihi dengan memberi berbagai nasihat atau solusi, yang persis menunjukkan bahwa kita kurang memahami keadaan. Ironi dalam ungkapan kasih ialah bahwa kita tidak sungguh-sungguh berada di posisi orang lain. Kita hampir selalu menjadi “orang luar”, tapi merasa lebih tahu jawaban yang terbaik. Sebaliknya, iman kita mengajarkan kasih yang penuh dengan kerendahhatian, dan itu dimulai oleh Tuhan.


Dunia orang Yahudi penuh dengan aturan, dan semua itu dirangkum dalam Hukum Taurat. Hari ini seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus untuk mencobai Dia. Ia bertanya tentang mana aturan yang paling utama dalam Hukum Taurat. Dari 613 aturan Taurat, semua adalah sama penting. Maka, ketika ditanya mana aturan yang terpenting, Yesus masuk ke jantung maksud Allah ketika menciptakan seluruh hukum itu: kasih. Jauh tersembunyi di balik segala aturan, ada kasih Allah yang menjadi dasar seluruh karya penyelamatan-Nya. Bagi manusia, maksud Allah itu hanya dapat ditanggapi dengan “mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi”. Yesus adalah kehadiran Allah yang menempatkan diri-Nya pada posisi manusia. Itulah kasih Allah yang mengundang manusia agar mendekat kepada-Nya.


Aturan kasihilah (Yun. ‘agapao’) Tuhan Allahmu itu secara mengejutkan kemudian disamakan Yesus dengan yang kedua, yakni kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Yang sama adalah tindakan kasih. Artinya, mengasihi sesama manusia yang dimaksud Yesus adalah dengan cara seperti Allah telah hadir dan menempatkan diri-Nya pada posisi manusia. Yesus tidak menciptakan aturan yang baru. Ia menyingkapkan maksud yang terdalam dari segala hukum, dan itu ialah maksud Allah yang tidak membiarkan manusia binasa. Sebelum semua aturan yang ada dalam Kitab Suci, Tuhan Allah mengasihi makhluk ciptaan-Nya dengan cara hadir dan menyertai manusia selama perjalanan mereka di dunia. Melupakan hukum yang paling utama ini sama dengan melupakan alasan mengapa seseorang pernah diciptakan dan hidup di bumi ini.


Kalau kita amati penghayatan hidup bersama di sekitar kita, barangkali kasih sudah sering diungkapkan dengan cara-cara yang terlalu ‘aktif’ bahkan dominan. Perhatian, rasa sayang, kedekatan, serta komunikasi dapat terjadi, namun seakan-akan bersifat mendesak. Kita sendiri tidak senang ditolak, apalagi oleh orang yang kita kasihi, tapi lantas cenderung memaksakan sebuah perhatian. Orang tua yang begitu mengasihi anaknya bisa sangat cerewet ketika menasihati atau serba melarang karena terlalu melindungi. Seseorang yang merasa dekat bisa mengatur bahkan memerintah temannya sendiri sekadar untuk terlibat dalam kegiatan atau kelompok tertentu. Akhirnya dalam kehidupan iman, kita pun bisa berdoa dengan banyak kata-kata atau berbagai devosi, semata-mata agar keinginan kita dikabulkan Tuhan. Kalau kasih berarti menempatkan diri pada posisi yang lain, bagaimana mungkin semua itu kita sebut mengasihi? Yang jelas terlihat ialah apa yang ‘aku’ mau dan apa yang ‘aku’ pikirkan saja!


Adalah mengagumkan ketika Tuhan Allah menggambarkan diri-Nya sendiri dalam Kitab Keluaran (Bacaan I). Ia memperingatkan mereka yang menindas janda atau anak yatim, membebankan bunga kepada orang miskin, dan menggadaikan jubah seorang teman. Kemudian, Tuhan menyatakan bahwa Ia akan membela orang-orang yang tertindas itu, “sebab Aku ini pengasih”. Tuhan adalah pengasih, sebab Ia hadir di samping orang-orang yang menderita dan tak pernah meninggalkan mereka. Gambaran diri Allah ini mengundang sikap yang sama dari diri kita, untuk menempatkan diri pada posisi orang lain sebagai perwujudan kasih.


Mengasihi tidak mungkin terjadi dengan memaksa. Mengasihi Allah dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama seperti diri sendiri, karenanya, harus dimulai dengan menempatkan diri pada posisi Allah dan pada posisi sesama. Kita belajar mengubah ‘aku’ menjadi ‘engkau’. Mungkin kita lantas “tidak tahu” apa yang harus dilakukan, tapi itulah kerendahhatian yang diperlukan kalau ingin mengasihi. Sebab, hanya Tuhanlah tahu yang terbaik bagi setiap orang. Sebelum memberikan usul atau nasihat untuk siapapun, kita perlu belajar ‘hadir’ di samping orang lain yang kita kasihi, berbagi keheningan dan doa dengannya.


Semoga orang lain mengenali Allah yang adalah kasih ketika mereka kita dampingi dan kita doakan dengan sepenuh hati. Karena Yesus, kita tahu, bahwa Tuhan adalah pengasih.


Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar