Kel
22:21-27, 1Tes 1:5c-10, Mat 22:34-40
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Henry
Nouwen pernah melukiskan dengan sangat menyentuh ‘kasih’ seorang sahabat yang
sejati. Seorang sahabat berbagi keheningan. Ia hadir dalam diam, berbagi doa.
Dalam kesedihan kita, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak mampu
menghibur kita, tidak pula menyembuhkan luka di hati kita, namun ia memilih
untuk tetap berada bersama dengan kita. Itulah sahabat sejati yang mengasihi.
Kasih
sudah sering ditafsirkan dalam ribuan cara, dan sebagian besar menunjukkan
keaktifan serta tindakan konkret. Kasih hampir tak pernah diungkapkan dengan
kata-kata “Aku tidak tahu”. Kita lebih sering mengasihi dengan memberi berbagai
nasihat atau solusi, yang persis menunjukkan bahwa kita kurang memahami
keadaan. Ironi dalam ungkapan kasih ialah bahwa kita tidak sungguh-sungguh
berada di posisi orang lain. Kita hampir selalu menjadi “orang luar”, tapi
merasa lebih tahu jawaban yang terbaik. Sebaliknya, iman kita mengajarkan kasih
yang penuh dengan kerendahhatian, dan itu dimulai oleh Tuhan.
Dunia
orang Yahudi penuh dengan aturan, dan semua itu dirangkum dalam Hukum Taurat.
Hari ini seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus untuk mencobai Dia. Ia
bertanya tentang mana aturan yang paling utama dalam Hukum Taurat. Dari 613
aturan Taurat, semua adalah sama penting. Maka, ketika ditanya mana aturan yang
terpenting, Yesus masuk ke jantung maksud Allah ketika menciptakan seluruh
hukum itu: kasih. Jauh tersembunyi di balik segala aturan, ada kasih Allah yang
menjadi dasar seluruh karya penyelamatan-Nya. Bagi manusia, maksud Allah itu
hanya dapat ditanggapi dengan “mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan
akal budi”. Yesus adalah kehadiran Allah yang menempatkan diri-Nya pada posisi
manusia. Itulah kasih Allah yang mengundang manusia agar mendekat kepada-Nya.
Aturan
kasihilah (Yun. ‘agapao’) Tuhan Allahmu itu secara mengejutkan kemudian
disamakan Yesus dengan yang kedua, yakni kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Yang sama adalah tindakan kasih. Artinya, mengasihi sesama
manusia yang dimaksud Yesus adalah dengan cara seperti Allah telah hadir dan
menempatkan diri-Nya pada posisi manusia. Yesus tidak menciptakan aturan yang
baru. Ia menyingkapkan maksud yang terdalam dari segala hukum, dan itu ialah
maksud Allah yang tidak membiarkan manusia binasa. Sebelum semua aturan yang
ada dalam Kitab Suci, Tuhan Allah mengasihi makhluk ciptaan-Nya dengan cara
hadir dan menyertai manusia selama perjalanan mereka di dunia. Melupakan hukum
yang paling utama ini sama dengan melupakan alasan mengapa seseorang pernah
diciptakan dan hidup di bumi ini.
Kalau
kita amati penghayatan hidup bersama di sekitar kita, barangkali kasih sudah
sering diungkapkan dengan cara-cara yang terlalu ‘aktif’ bahkan dominan.
Perhatian, rasa sayang, kedekatan, serta komunikasi dapat terjadi, namun
seakan-akan bersifat mendesak. Kita sendiri tidak senang ditolak, apalagi oleh
orang yang kita kasihi, tapi lantas cenderung memaksakan sebuah perhatian.
Orang tua yang begitu mengasihi anaknya bisa sangat cerewet ketika menasihati
atau serba melarang karena terlalu melindungi. Seseorang yang merasa dekat bisa
mengatur bahkan memerintah temannya sendiri sekadar untuk terlibat dalam kegiatan
atau kelompok tertentu. Akhirnya dalam kehidupan iman, kita pun bisa berdoa
dengan banyak kata-kata atau berbagai devosi, semata-mata agar keinginan kita
dikabulkan Tuhan. Kalau kasih berarti menempatkan diri pada posisi yang lain,
bagaimana mungkin semua itu kita sebut mengasihi? Yang jelas terlihat ialah apa
yang ‘aku’ mau dan apa yang ‘aku’ pikirkan saja!
Adalah
mengagumkan ketika Tuhan Allah menggambarkan diri-Nya sendiri dalam Kitab
Keluaran (Bacaan I). Ia memperingatkan mereka yang menindas janda atau anak
yatim, membebankan bunga kepada orang miskin, dan menggadaikan jubah seorang
teman. Kemudian, Tuhan menyatakan bahwa Ia akan membela orang-orang yang
tertindas itu, “sebab Aku ini pengasih”. Tuhan adalah pengasih, sebab Ia hadir
di samping orang-orang yang menderita dan tak pernah meninggalkan mereka. Gambaran
diri Allah ini mengundang sikap yang sama dari diri kita, untuk menempatkan
diri pada posisi orang lain sebagai perwujudan kasih.
Mengasihi
tidak mungkin terjadi dengan memaksa. Mengasihi Allah dengan sepenuh hati dan
mengasihi sesama seperti diri sendiri, karenanya, harus dimulai dengan menempatkan
diri pada posisi Allah dan pada posisi sesama. Kita belajar mengubah ‘aku’
menjadi ‘engkau’. Mungkin kita lantas “tidak tahu” apa yang harus dilakukan,
tapi itulah kerendahhatian yang diperlukan kalau ingin mengasihi. Sebab, hanya Tuhanlah
tahu yang terbaik bagi setiap orang. Sebelum memberikan usul atau nasihat untuk
siapapun, kita perlu belajar ‘hadir’ di samping orang lain yang kita kasihi,
berbagi keheningan dan doa dengannya.
Semoga
orang lain mengenali Allah yang adalah kasih ketika mereka kita dampingi dan
kita doakan dengan sepenuh hati. Karena Yesus, kita tahu, bahwa Tuhan adalah
pengasih.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar