Jumat, 03 November 2017

Perilaku Kristiani

Hari Minggu Biasa XXXI (A)
Mal 1:14b – 2:2b.8-10, 1Tes 2:7b-9.13, Mat 23:1-12
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Dalam percakapan sehari-hari, ‘mereka’ dan ‘kita’ hanyalah retorika. Kata-kata itu mencerminkan pembicaraan yang mungkin tidak penting sama sekali, semacam “pembicaraan sampah”. Di dunia internet dan surat elektronik, sejak awal orang diperkenalkan dengan istilah ‘junk’ dan ‘spam’. Para penciptanya sudah mengantisipasi bahwa cepat atau lambat, orang akan mulai mengirim atau meneruskan surat-surat elektronik yang tidak penting dan akhirnya hanya dianggap seperti sampah. Ekstremnya, ada yang begitu melihat sebuah surat elektronik masuk di alamatnya dan berasal dari orang tertentu, langsung membuangnya tanpa membaca isinya. Dalam pikirannya, itu hanya sampah. Membaca surat-surat semacam itu hanya menghabiskan waktu dan energi, atau malah mengabaikan hal lain yang lebih penting.

Apa jadinya kalau kehidupan iman kita pun diisi dengan banyak kata-kata yang tidak penting, dibanding perbuatan yang bermakna? Dalam renungan, khotbah, dan percakapan rohani sering muncul kritik kita terhadap ‘mereka’ (entah siapa itu), tapi hanya sampai di situ. Sementara itu dalam keseharian, semua yang ideal tentang diri kita sendiri ternyata tidak kita lakukan juga. Kelau begitu, pembicaraan kita, meski terdengar rohani, pun seringkali tidak penting.

Dua kelompok yang dikontraskan Matius dalam Injil hari ini ialah ‘synagoga’ dan ‘ekklesia’. Synagoga adalah kursi Musa yang diduduki oleh para ahli Taurat dan orang Farisi, sedangkan ekklesia adalah komunitas kristiani perdana Matius. Jemaat Kristen Matius mengamati bahwa apa yang dikatakan serta diajarkan perwakilan synagoga itu baik, tetapi perilakunya tidak. Itu sebabnya muncul peringatan Yesus, “Lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan [dari Kitab Suci], tetapi jangan kamu turuti perbuatan mereka”. Masalah utama ialah perilaku! Kalau sedang mengajar, tampaknya mereka saleh dan berwibawa, namun hidup sehari-harinya tidak konsisten dengan hal itu.

Yesus masuk lebih dalam lagi ke motivasi yang tersembunyi di balik perilaku tidak konsisten itu. Ia dengan lugas menunjuk pada intensi mereka meletakkan beban yang berat di pundak orang lain, sementara mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Kesukaan mereka akan jubah dan penampilan, akan sebutan Rabi dan penghormatan, adalah alasan tersembunyi yang sebenarnya memalukan. Dan Yesus mengembalikan asal dari semua ajaran serta tujuan dari setiap ibadah kepada “Bapamu yang di surga”. Ketika dalam kehidupan rohani orang mulai menikmati kuasa dan penghormatan, hampir selalu muncul sikap arogan serta perilaku buruk, yang persis berkebalikan dengan apa yang diajarkannya.

Mudah sekali menemukan relevansi kritik Yesus itu di zaman kita sekarang ini. Meskipun semua orang tahu bahwa pelayanan di gereja adalah suatu perwujudan iman, dalam kenyataan justru bermunculan hal-hal yang malah tidak layak dianggap rohani. Sering kali penyebab buruknya sikap dan perkataan kita dalam pelayanan ialah: kuasa dan penghormatan dari orang lain. Kita seperti berada di atas angin, misalnya, ketika dipilih menjadi koordinator sampai dua atau bahkan tiga periode. Kita merasa bangga, kalau orang lain memuji-muji kegiatan yang kita pimpin dan yang berhasil dengan memuaskan. Dan yang biasanya lebih tidak disadari ialah, bahwa kita merasa sebagai yang paling mampu di bidang pelayanan kita, merasa disukai dan dikagumi dalam hal kepemimpinan kita, dan akhirnya merasa perlu ‘mengajari’ orang lain dalam kerohanian. Kalau hal-hal ini terdengar tidak nyaman di telinga kita, mungkin karena sudah sering dibiarkan terjadi. Kata ‘pelayanan’ mesti dikembalikan pada maknanya, dan kegiatan kita pada asal dan tujuan utama iman, yakni Bapa kita yang di surga.

Peringatan Tuhan melalui nabi Maleakhi (Bacaan I) mungkin tidak hanya ditujukan kepada para imam, tetapi kepada semua orang yang meninggikan diri terhadap sesamanya. Tuhan memaklumkan diri kembali sebagai Raja yang besar, dan bahwa nama-Nya ditakuti bangsa-bangsa, karena banyak pemimpin yang telah “menyimpang dari jalan”. Lebih menyedihkan lagi, para pemimpin bahkan “membuat banyak orang tergelincir” dengan pengajaran mereka. Kita segera menduga bahwa sabda Tuhan telah dilebihkan atau ditambahi karena para pemimpin ini sudah terlalu berkuasa. Ada kalanya pelayanan atau kepemimpinan kita pun ‘keterusan’, sampai membuat orang lain harus menanggung beban yang tidak perlu ada dalam hidup mereka.

Yesus memperingatkan setiap orang yang ingin melayani dalam kehidupan rohani dan menggereja. Kita, yang juga mau mewujudkan iman kepada-Nya, diminta untuk menjadi pelayan dalam arti yang seharusnya. Itu berarti berusaha dengan jujur melihat kembali kesesuaian perkataan dan perilaku kita. Apa yang kita katakan, meskipun terdengar bagus, akan menjadi ‘sampah’ bagi orang lain ketika tidak kita lakukan dalam perilaku hidup sehari-hari. Bagaimana kalau mulai dari sekarang, kita mengganti setiap perkataan dan nasihat saleh kita dengan tindakan yang berkenan di hati Yesus?

Semoga kita dikenal orang dan menginspirasi lingkungan kita karena perilaku yang kristiani, lebih daripada kata-kata yang menurut kita hebat. Sebab, hanya Bapa di surga yang pantas dimuliakan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar