Mal
1:14b – 2:2b.8-10, 1Tes 2:7b-9.13, Mat 23:1-12
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Dalam
percakapan sehari-hari, ‘mereka’ dan ‘kita’ hanyalah retorika. Kata-kata itu
mencerminkan pembicaraan yang mungkin tidak penting sama sekali, semacam
“pembicaraan sampah”. Di dunia internet dan surat elektronik, sejak awal orang
diperkenalkan dengan istilah ‘junk’ dan ‘spam’. Para penciptanya sudah
mengantisipasi bahwa cepat atau lambat, orang akan mulai mengirim atau
meneruskan surat-surat elektronik yang tidak penting dan akhirnya hanya
dianggap seperti sampah. Ekstremnya, ada yang begitu melihat sebuah surat
elektronik masuk di alamatnya dan berasal dari orang tertentu, langsung
membuangnya tanpa membaca isinya. Dalam pikirannya, itu hanya sampah. Membaca
surat-surat semacam itu hanya menghabiskan waktu dan energi, atau malah mengabaikan
hal lain yang lebih penting.
Apa
jadinya kalau kehidupan iman kita pun diisi dengan banyak kata-kata yang tidak
penting, dibanding perbuatan yang bermakna? Dalam renungan, khotbah, dan
percakapan rohani sering muncul kritik kita terhadap ‘mereka’ (entah siapa
itu), tapi hanya sampai di situ. Sementara itu dalam keseharian, semua yang
ideal tentang diri kita sendiri ternyata tidak kita lakukan juga. Kelau begitu,
pembicaraan kita, meski terdengar rohani, pun seringkali tidak penting.
Dua
kelompok yang dikontraskan Matius dalam Injil hari ini ialah ‘synagoga’ dan
‘ekklesia’. Synagoga adalah kursi Musa yang diduduki oleh para ahli Taurat dan
orang Farisi, sedangkan ekklesia adalah komunitas kristiani perdana Matius.
Jemaat Kristen Matius mengamati bahwa apa yang dikatakan serta diajarkan
perwakilan synagoga itu baik, tetapi perilakunya tidak. Itu sebabnya muncul
peringatan Yesus, “Lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan [dari Kitab
Suci], tetapi jangan kamu turuti perbuatan mereka”. Masalah utama ialah perilaku!
Kalau sedang mengajar, tampaknya mereka saleh dan berwibawa, namun hidup
sehari-harinya tidak konsisten dengan hal itu.
Yesus
masuk lebih dalam lagi ke motivasi yang tersembunyi di balik perilaku tidak
konsisten itu. Ia dengan lugas menunjuk pada intensi mereka meletakkan beban
yang berat di pundak orang lain, sementara mereka sendiri tidak mau
menyentuhnya. Kesukaan mereka akan jubah dan penampilan, akan sebutan Rabi dan
penghormatan, adalah alasan tersembunyi yang sebenarnya memalukan. Dan Yesus
mengembalikan asal dari semua ajaran serta tujuan dari setiap ibadah kepada
“Bapamu yang di surga”. Ketika dalam kehidupan rohani orang mulai menikmati
kuasa dan penghormatan, hampir selalu muncul sikap arogan serta perilaku buruk,
yang persis berkebalikan dengan apa yang diajarkannya.
Mudah
sekali menemukan relevansi kritik Yesus itu di zaman kita sekarang ini.
Meskipun semua orang tahu bahwa pelayanan di gereja adalah suatu perwujudan
iman, dalam kenyataan justru bermunculan hal-hal yang malah tidak layak
dianggap rohani. Sering kali penyebab buruknya sikap dan perkataan kita dalam
pelayanan ialah: kuasa dan penghormatan dari orang lain. Kita seperti berada di
atas angin, misalnya, ketika dipilih menjadi koordinator sampai dua atau bahkan
tiga periode. Kita merasa bangga, kalau orang lain memuji-muji kegiatan yang
kita pimpin dan yang berhasil dengan memuaskan. Dan yang biasanya lebih tidak
disadari ialah, bahwa kita merasa sebagai yang paling mampu di bidang pelayanan
kita, merasa disukai dan dikagumi dalam hal kepemimpinan kita, dan akhirnya
merasa perlu ‘mengajari’ orang lain dalam kerohanian. Kalau hal-hal ini
terdengar tidak nyaman di telinga kita, mungkin karena sudah sering dibiarkan
terjadi. Kata ‘pelayanan’ mesti dikembalikan pada maknanya, dan kegiatan kita
pada asal dan tujuan utama iman, yakni Bapa kita yang di surga.
Peringatan
Tuhan melalui nabi Maleakhi (Bacaan I) mungkin tidak hanya ditujukan kepada
para imam, tetapi kepada semua orang yang meninggikan diri terhadap sesamanya.
Tuhan memaklumkan diri kembali sebagai Raja yang besar, dan bahwa nama-Nya
ditakuti bangsa-bangsa, karena banyak pemimpin yang telah “menyimpang dari
jalan”. Lebih menyedihkan lagi, para pemimpin bahkan “membuat banyak orang
tergelincir” dengan pengajaran mereka. Kita segera menduga bahwa sabda Tuhan
telah dilebihkan atau ditambahi karena para pemimpin ini sudah terlalu berkuasa.
Ada kalanya pelayanan atau kepemimpinan kita pun ‘keterusan’, sampai membuat
orang lain harus menanggung beban yang tidak perlu ada dalam hidup mereka.
Yesus
memperingatkan setiap orang yang ingin melayani dalam kehidupan rohani dan
menggereja. Kita, yang juga mau mewujudkan iman kepada-Nya, diminta untuk
menjadi pelayan dalam arti yang seharusnya. Itu berarti berusaha dengan jujur
melihat kembali kesesuaian perkataan dan perilaku kita. Apa yang kita katakan,
meskipun terdengar bagus, akan menjadi ‘sampah’ bagi orang lain ketika tidak
kita lakukan dalam perilaku hidup sehari-hari. Bagaimana kalau mulai dari
sekarang, kita mengganti setiap perkataan dan nasihat saleh kita dengan tindakan
yang berkenan di hati Yesus?
Semoga
kita dikenal orang dan menginspirasi lingkungan kita karena perilaku yang
kristiani, lebih daripada kata-kata yang menurut kita hebat. Sebab, hanya Bapa
di surga yang pantas dimuliakan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar