Keb
6:13-17, 1Tes 4:13-18, Mat 25:1-13
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Tak
ada orang yang ‘siap’ dengan ujian. Beberapa saat menjelang ujian, kita selalu
merasa tidak siap. Sekeras apapun kita belajar, bahkan menghapalkan hingga
kalimat dan rumusnya, tapi di saat menerima lembar soal, kita lemas dan pasrah.
Kita sudah sampai pada saat ini. Tidak ada waktu lagi. Akhirnya, kita hanya
bisa berharap bahwa nilai akhir kita nanti tidak terlalu buruk. Para mahasiswa
paling tidak suka dengan ‘kuis’, karena selalu diadakan tiba-tiba, tanpa ada pemberitahuan.
Tentu saja, maksud dosen ialah agar mereka selalu belajar tiap hari, bukan
hanya pada malam menjelang ujian.
Mungkinkah
kita sebenarnya tidak mau diuji? Kita hanya ingin menjalani hidup yang
menyenangkan. Tidak usah pakai ujian segala. Oleh karenanya, kehidupan iman
kita kadang-kadang seperti berjalan terpisah dari kenyataan hidup. Iman hanya
dialami sebagai hiburan, ibarat sesuatu yang kita lakukan di waktu luang saja,
pada akhir pekan mungkin. Ketika masuk lagi dalam keseharian, kita sudah lupa
dengan ajaran dan semangat iman. Karena hanya mau bersenang-senang dan tidak mau
diuji, iman kita pun tidak bertambah dewasa.
Tanpa
cepat-cepat berpikir siapa bijaksana dan tidak bijaksana, marilah kita melihat
pokok persoalan di dalam perumpamaan Yesus hari ini. Matius sudah mendahului
pengajaran Yesus hari ini dengan soal ketidakhadiran orang-orang yang diundang
ke perjamuan. Kali ini, pemicu ketidakpastian ialah Sang Mempelai sendiri.
Mempelai itu “lama tidak datang-datang juga”, maka mengantuklah semua gadis itu
lalu tertidur. Kata yang dipakai Matius ialah ‘chronizo’ (Yun. ‘tertunda’), dari
kata ‘chronos’ (waktu). Kata ini bermakna waktu manusia, waktu dunia, berbeda
dari ‘kairos’, juga berarti waktu, yang bermakna waktu Allah, waktu yang suci.
Sebuah seruan di tengah malam mengacaukan para gadis itu, dan menyadarkan
ketidaksiapan sebagian dari mereka.
Mereka
yang “tidak siap” harus membeli minyak dahulu, dan ketika kembali, menjumpai
pintu yang tertutup. Bukan hanya itu. Kejutan lain lagi menambah kepanikan
mereka, sebab ketika minta dibukakan pintu, terdengarlah jawaban: “Sesungguhnya
aku tidak mengenal kamu”. Betapa waktu manusia itu selalu membawa kekacauan!
Dengan ketepatan ukurannya pun ternyata masih membawa ketidakpastian dan
kekeliruan yang akhirnya tak dapat diperbaiki lagi. Waktu sudah lewat.
Perumpamaan Yesus ini tidak berbicara soal kebijaksanaan dan kebodohan,
melainkan soal keputusan untuk setia dan percaya!
Kesibukan
dan kekhawatiran hidup kita sering terpisah sama sekali dari iman. Kita mudah
tenggelam dalam problem dan hal itu melumpuhkan seluruh diri kita. Kata-kata
bijak dan nasihat rohani apapun hanya membuat kita bergeming. Kita menolak
setiap undangan dan tawaran yang sebetulnya sangat simpatik, padahal itulah
kesempatan untuk kembali pada iman. Mungkin banyak orang menjalani hidup
seperti tak beriman pada hari kerja, tapi tiba-tiba khusuk berdoa di hari
Minggu. Itu sebabnya, kita berkali-kali ditimpa pengalaman ‘shock’ dan menjadi lemas,
tak berdaya. Mungkin dalam kenyataan beriman, kita tidak pernah serius dengan
semua yang kita ucapkan dalam doa. Iman yang kita hayati selama ini ternyata
tidak membuat hidup kita lebih tertata. Doa dan ibadat yang kita lakukan
ternyata tidak membuat kita lebih setia dalam komitmen. Apa yang salah? Waktu.
Kita hanya mengikuti waktu manusia, maka segala sesuatu jadi serba tertunda dan
bahkan terlambat. Bahkan, kita sering mengira bahwa Tuhan, Sang mempelai, “lama
tidak datang-datang juga”.
Kitab
Kebijaksanaan (Bacaan I) membahasakan dengan indah kehadiran Allah, Sang
Kebijaksanaan. Sesungguhnya Ia selalu bersinar dan tak pernah layu, bahkan
“mudah dipandang oleh yang kasih kepada-Nya, dan mudah ditemukan oleh mereka
yang mencari-Nya”. Artinya, kehadiran Allah sungguh-sungguh merupakan hal yang
sehari-hari, yang setiap saat melingkupi diri kita untuk mengarahkan kepada
Diri-Nya. “Dan siapa yang berjaga karena kebijaksanaan segera akan bebas dari
kesusahan”. Alangkah benarnya perkataan itu! Terus berelasi dengan Allah di segala
saat hidup, adalah jaminan bahwa kita dituntun untuk melihat jalan keluar dari
masalah apapun yang kita hadapi. Iman adalah kesetiaan untuk tetap berelasi
dengan Allah.
Lewat
perumpamaan, kita diingatkan Yesus pada kesetiaan untuk berada di dalam Waktu
Tuhan. Kita tidak bisa terus menerus memakai pertimbangan manusiawi saja untuk
menjalani hidup, sebab hal itulah yang membuat kita merasa serba telanjur.
Dalam iman, setiap kejadian mengundang tanggapan kita yang akan menjadi
bermakna pada saat itu juga. Jangan sampai kita kelihatan beriman hanya di
waktu luang. Setiap saat adalah kesempatan yang baik untuk mengisi pelita kita dengan
minyak. Kita bisa melakukannya dengan kesetiaan dan rasa cinta, kalau tetap
menjaga relasi yang akrab dengan Tuhan di tengah kesibukan, pengalaman, dan
pekerjaan sehari-hari.
Semoga
relasi akrab kita dengan Tuhan membawa ketenangan dan keyakinan dalam segala
peristiwa hidup. Mungkin bukan kita, tapi Tuhanlah yang sedang menunggu kita
untuk memutuskan dalam iman, sebab, Ia tak pernah terlambat datang.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar