Minggu, 12 November 2017

Iman Bukan Sekedar Waktu Luang

Hari Minggu Biasa XXXII (A)
Keb 6:13-17, 1Tes 4:13-18, Mat 25:1-13
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Tak ada orang yang ‘siap’ dengan ujian. Beberapa saat menjelang ujian, kita selalu merasa tidak siap. Sekeras apapun kita belajar, bahkan menghapalkan hingga kalimat dan rumusnya, tapi di saat menerima lembar soal, kita lemas dan pasrah. Kita sudah sampai pada saat ini. Tidak ada waktu lagi. Akhirnya, kita hanya bisa berharap bahwa nilai akhir kita nanti tidak terlalu buruk. Para mahasiswa paling tidak suka dengan ‘kuis’, karena selalu diadakan tiba-tiba, tanpa ada pemberitahuan. Tentu saja, maksud dosen ialah agar mereka selalu belajar tiap hari, bukan hanya pada malam menjelang ujian.

Mungkinkah kita sebenarnya tidak mau diuji? Kita hanya ingin menjalani hidup yang menyenangkan. Tidak usah pakai ujian segala. Oleh karenanya, kehidupan iman kita kadang-kadang seperti berjalan terpisah dari kenyataan hidup. Iman hanya dialami sebagai hiburan, ibarat sesuatu yang kita lakukan di waktu luang saja, pada akhir pekan mungkin. Ketika masuk lagi dalam keseharian, kita sudah lupa dengan ajaran dan semangat iman. Karena hanya mau bersenang-senang dan tidak mau diuji, iman kita pun tidak bertambah dewasa.

Tanpa cepat-cepat berpikir siapa bijaksana dan tidak bijaksana, marilah kita melihat pokok persoalan di dalam perumpamaan Yesus hari ini. Matius sudah mendahului pengajaran Yesus hari ini dengan soal ketidakhadiran orang-orang yang diundang ke perjamuan. Kali ini, pemicu ketidakpastian ialah Sang Mempelai sendiri. Mempelai itu “lama tidak datang-datang juga”, maka mengantuklah semua gadis itu lalu tertidur. Kata yang dipakai Matius ialah ‘chronizo’ (Yun. ‘tertunda’), dari kata ‘chronos’ (waktu). Kata ini bermakna waktu manusia, waktu dunia, berbeda dari ‘kairos’, juga berarti waktu, yang bermakna waktu Allah, waktu yang suci. Sebuah seruan di tengah malam mengacaukan para gadis itu, dan menyadarkan ketidaksiapan sebagian dari mereka.

Mereka yang “tidak siap” harus membeli minyak dahulu, dan ketika kembali, menjumpai pintu yang tertutup. Bukan hanya itu. Kejutan lain lagi menambah kepanikan mereka, sebab ketika minta dibukakan pintu, terdengarlah jawaban: “Sesungguhnya aku tidak mengenal kamu”. Betapa waktu manusia itu selalu membawa kekacauan! Dengan ketepatan ukurannya pun ternyata masih membawa ketidakpastian dan kekeliruan yang akhirnya tak dapat diperbaiki lagi. Waktu sudah lewat. Perumpamaan Yesus ini tidak berbicara soal kebijaksanaan dan kebodohan, melainkan soal keputusan untuk setia dan percaya!

Kesibukan dan kekhawatiran hidup kita sering terpisah sama sekali dari iman. Kita mudah tenggelam dalam problem dan hal itu melumpuhkan seluruh diri kita. Kata-kata bijak dan nasihat rohani apapun hanya membuat kita bergeming. Kita menolak setiap undangan dan tawaran yang sebetulnya sangat simpatik, padahal itulah kesempatan untuk kembali pada iman. Mungkin banyak orang menjalani hidup seperti tak beriman pada hari kerja, tapi tiba-tiba khusuk berdoa di hari Minggu. Itu sebabnya, kita berkali-kali ditimpa pengalaman ‘shock’ dan menjadi lemas, tak berdaya. Mungkin dalam kenyataan beriman, kita tidak pernah serius dengan semua yang kita ucapkan dalam doa. Iman yang kita hayati selama ini ternyata tidak membuat hidup kita lebih tertata. Doa dan ibadat yang kita lakukan ternyata tidak membuat kita lebih setia dalam komitmen. Apa yang salah? Waktu. Kita hanya mengikuti waktu manusia, maka segala sesuatu jadi serba tertunda dan bahkan terlambat. Bahkan, kita sering mengira bahwa Tuhan, Sang mempelai, “lama tidak datang-datang juga”.

Kitab Kebijaksanaan (Bacaan I) membahasakan dengan indah kehadiran Allah, Sang Kebijaksanaan. Sesungguhnya Ia selalu bersinar dan tak pernah layu, bahkan “mudah dipandang oleh yang kasih kepada-Nya, dan mudah ditemukan oleh mereka yang mencari-Nya”. Artinya, kehadiran Allah sungguh-sungguh merupakan hal yang sehari-hari, yang setiap saat melingkupi diri kita untuk mengarahkan kepada Diri-Nya. “Dan siapa yang berjaga karena kebijaksanaan segera akan bebas dari kesusahan”. Alangkah benarnya perkataan itu! Terus berelasi dengan Allah di segala saat hidup, adalah jaminan bahwa kita dituntun untuk melihat jalan keluar dari masalah apapun yang kita hadapi. Iman adalah kesetiaan untuk tetap berelasi dengan Allah.

Lewat perumpamaan, kita diingatkan Yesus pada kesetiaan untuk berada di dalam Waktu Tuhan. Kita tidak bisa terus menerus memakai pertimbangan manusiawi saja untuk menjalani hidup, sebab hal itulah yang membuat kita merasa serba telanjur. Dalam iman, setiap kejadian mengundang tanggapan kita yang akan menjadi bermakna pada saat itu juga. Jangan sampai kita kelihatan beriman hanya di waktu luang. Setiap saat adalah kesempatan yang baik untuk mengisi pelita kita dengan minyak. Kita bisa melakukannya dengan kesetiaan dan rasa cinta, kalau tetap menjaga relasi yang akrab dengan Tuhan di tengah kesibukan, pengalaman, dan pekerjaan sehari-hari.

Semoga relasi akrab kita dengan Tuhan membawa ketenangan dan keyakinan dalam segala peristiwa hidup. Mungkin bukan kita, tapi Tuhanlah yang sedang menunggu kita untuk memutuskan dalam iman, sebab, Ia tak pernah terlambat datang.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar