Minggu, 19 November 2017

Nyali untuk Bertumbuh dalam Iman



Hari Minggu Biasa XXXIII (A)
Ams 31:10-13.19-20.30-31, 1Tes 5:1-6, Mat 25:14-30
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Aksi “walk out” (pergi keluar begitu saja) adalah sebentuk protes dan ungkapan kemarahan. Ada kalanya aksi ini diambil dalam dunia politik untuk memboikot suatu pertemuan. Dengan berjalan keluar menjelang pengambilan keputusan, misalnya, orang ingin membuat proses itu menjadi tidak sah karena kurangnya suara. Akan tetapi, “walk out” pun secara latah dilakukan di beberapa situasi lain, yang malah dianggap sebagai sikap tidak bertanggung jawab atau menghindari sebuah tantangan yang sebetulnya baik. Itu sebabnya, tidak semua aksi demikian dapat disetujui, lebih-lebih kalau dimotivasi sikap sentimen atau bahkan kebencian terhadap figur-figur tertentu.

Hidup kita sebetulnya membutuhkan tantangan. Tanpa itu, kita akan menjadi lembek. Hal yang sama ini berlaku juga di wilayah iman. Kalau terlalu sering menghindari tantangan, iman akan tenggelam di balik arus sekularisme dunia ini. Iman memerlukan sikap gigih, dan bukan menyerah sebelum bertanding. Entah berapa kali kita pergi begitu saja manakala berhadapan dengan tantangan dalam hal relasi atau pelayanan. Maksud kita adalah sebagai suatu protes, tapi apakah Tuhan akan memandangnya demikian juga?

Perumpamaan yang disampaikan Yesus hari ini kembali bicara tentang ketidakhadiran. “Seseorang bepergian ke luar negeri”. Sejak itu, muncullah problem, apalagi kemudian Matius menuliskan, “Lama sesudah itu pulanglah tuan itu”. Ketidakhadiran tuan itu memang lama, tapi menjadi motivasi untuk “mempercayakan hartanya” kepada hamba-hambanya. Ia memberi, lalu pergi. Jemaat Matius pada waktu itu menghadapi situasi pengharapan akan kedatangan Tuhan kembali dan ketidakhadiran-Nya yang dirasa lama. Pokok persoalan jemaat ialah hari-hari penantian yang mesti dijalani dengan iman.

Bagian kedua perumpamaan menampilkan dialog yang sangat menarik, terutama antara tuan dan hamba yang menerima satu talenta. Tindakan hamba itu mengubur talenta tidak sangat aneh, apalagi dia melakukannya karena ‘takut’. Mengapa takut? Ia mengatakan kepada tuannya, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah orang yang keras...” Kata ‘skleros’ (Yun.) lebih bermakna keras dan tidak mau kalah. Dijelaskan lagi, bahwa tuan itu “menuai di tempat ia tidak menabur, dan memungut dari tempat ia tidak menanam”, dan hal ini diakui oleh tuan itu. Yesus waktu itu menjala banyak pengikut di luar kelompok Yahudi, dan itu karena ketidakpercayaan mereka sendiri. Ia gigih mengumpulkan sebanyak mungkin orang ke dalam Kerajaan Surga, sekalipun itu di antara bangsa-bangsa lain. Maka, sikap hamba yang ketiga itu dinilai dengan tepat: (wataknya) buruk dan malas.

Apakah permenungan ini menyingkapkan masalah yang kita alami di masa kini? Iman kristiani ‘adalah’ sebuah tantangan, namun kita malah sering menafsirkannya sebagai sikap menyerah dan kalah. Ada yang memilih untuk mengejar hal-hal duniawi saja dan bersikap sinis terhadap semua yang bersifat rohani. Ada yang tampaknya aktif dalam pelayanan, tapi wataknya buruk dan tak pernah berubah. Ada yang sesungguhnya punya bakat-bakat luar biasa, tapi mempergunakannya hanya untuk kepentingan sendiri. Ini semua menunjukkan kemenangan hal-hal yang sekuler – yang tidak berkaitan dengan Tuhan – terhadap iman kita. Apakah kita merasa tidak punya ‘talenta’? Atau, apakah itu karena watak kita yang buruk dan malas? Mengaku beriman, tetapi tidak bertumbuh, adalah sama dengan mengubur harta yang dipercayakan Tuhan kepada kita masing-masing. Dan ini pun berarti kita tidak punya cukup nyali untuk bertumbuh dalam iman.

Dengan cara yang unik Kitab Amsal (Bacaan I) menyampaikan suatu kebenaran dalam hal kerajinan atau kegigihan iman. Pujian diungkapkan terhadap seorang istri yang cakap berbuat baik, senang bekerja dengan tangannya, serta mengulurkan tangannya kepada orang yang tertindas dan miskin. Semua yang digambarkan ini adalah hal-hal sederhana dan sehari-hari, lagi pula tidak membutuhkan bakat yang luar biasa. Dengan kata lain, untuk dapat berbuat baik dan rajin, tidak diperlukan ‘talenta’ yang besar. Hanya dibutuhkan keberanian iman. Berapapun yang diberikan Tuhan kepada kita, selalu bisa dikembangkan agar menghasilkan buah yang berkenan kepada-Nya.

Apakah kita masih mencari-cari alasan untuk tidak mau mengembangkan harta yang Tuhan percayakan kepada kita? Iman kita bukanlah tempat untuk bersembunyi dari tanggung jawab, bukan pula cara untuk membenarkan sikap sentimen dan kebencian terhadap orang-orang lain. Mestinya kita punya kegigihan dan sikap tak mau kalah terhadap tekanan dari dunia ini, karena kita sudah diberi benih-benih yang baik untuk ditumbuhkan. Apapun yang membuat kita ‘takut’ untuk mengembangkan pelayanan dan karya harus dilawan dengan komitmen dan tanggung jawab yang berani.

Semoga kita tidak gampang melakukan “walk out” ketika menjumpai tantangan, sebab kita sudah punya cukup modal iman untuk membawa perubahan yang baik ke manapun Tuhan mengutus kita.

Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar