Hari Minggu Biasa XXXIII (A)
Ams 31:10-13.19-20.30-31, 1Tes
5:1-6, Mat 25:14-30
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Aksi “walk out” (pergi keluar
begitu saja) adalah sebentuk protes dan ungkapan kemarahan. Ada kalanya aksi
ini diambil dalam dunia politik untuk memboikot suatu pertemuan. Dengan
berjalan keluar menjelang pengambilan keputusan, misalnya, orang ingin membuat
proses itu menjadi tidak sah karena kurangnya suara. Akan tetapi, “walk out”
pun secara latah dilakukan di beberapa situasi lain, yang malah dianggap sebagai
sikap tidak bertanggung jawab atau menghindari sebuah tantangan yang sebetulnya
baik. Itu sebabnya, tidak semua aksi demikian dapat disetujui, lebih-lebih
kalau dimotivasi sikap sentimen atau bahkan kebencian terhadap figur-figur
tertentu.
Hidup kita sebetulnya membutuhkan
tantangan. Tanpa itu, kita akan menjadi lembek. Hal yang sama ini berlaku juga
di wilayah iman. Kalau terlalu sering menghindari tantangan, iman akan
tenggelam di balik arus sekularisme dunia ini. Iman memerlukan sikap gigih, dan
bukan menyerah sebelum bertanding. Entah berapa kali kita pergi begitu saja manakala
berhadapan dengan tantangan dalam hal relasi atau pelayanan. Maksud kita adalah
sebagai suatu protes, tapi apakah Tuhan akan memandangnya demikian juga?
Perumpamaan yang disampaikan
Yesus hari ini kembali bicara tentang ketidakhadiran. “Seseorang bepergian ke
luar negeri”. Sejak itu, muncullah problem, apalagi kemudian Matius menuliskan,
“Lama sesudah itu pulanglah tuan itu”. Ketidakhadiran tuan itu memang lama,
tapi menjadi motivasi untuk “mempercayakan hartanya” kepada hamba-hambanya. Ia
memberi, lalu pergi. Jemaat Matius pada waktu itu menghadapi situasi
pengharapan akan kedatangan Tuhan kembali dan ketidakhadiran-Nya yang dirasa
lama. Pokok persoalan jemaat ialah hari-hari penantian yang mesti dijalani
dengan iman.
Bagian kedua perumpamaan
menampilkan dialog yang sangat menarik, terutama antara tuan dan hamba yang
menerima satu talenta. Tindakan hamba itu mengubur talenta tidak sangat aneh,
apalagi dia melakukannya karena ‘takut’. Mengapa takut? Ia mengatakan kepada
tuannya, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah orang yang keras...” Kata ‘skleros’
(Yun.) lebih bermakna keras dan tidak mau kalah. Dijelaskan lagi, bahwa tuan itu
“menuai di tempat ia tidak menabur, dan memungut dari tempat ia tidak menanam”,
dan hal ini diakui oleh tuan itu. Yesus waktu itu menjala banyak pengikut di
luar kelompok Yahudi, dan itu karena ketidakpercayaan mereka sendiri. Ia gigih
mengumpulkan sebanyak mungkin orang ke dalam Kerajaan Surga, sekalipun itu di
antara bangsa-bangsa lain. Maka, sikap hamba yang ketiga itu dinilai dengan tepat:
(wataknya) buruk dan malas.
Apakah permenungan ini
menyingkapkan masalah yang kita alami di masa kini? Iman kristiani ‘adalah’
sebuah tantangan, namun kita malah sering menafsirkannya sebagai sikap menyerah
dan kalah. Ada yang memilih untuk mengejar hal-hal duniawi saja dan bersikap
sinis terhadap semua yang bersifat rohani. Ada yang tampaknya aktif dalam pelayanan,
tapi wataknya buruk dan tak pernah berubah. Ada yang sesungguhnya punya
bakat-bakat luar biasa, tapi mempergunakannya hanya untuk kepentingan sendiri.
Ini semua menunjukkan kemenangan hal-hal yang sekuler – yang tidak berkaitan
dengan Tuhan – terhadap iman kita. Apakah kita merasa tidak punya ‘talenta’?
Atau, apakah itu karena watak kita yang buruk dan malas? Mengaku beriman,
tetapi tidak bertumbuh, adalah sama dengan mengubur harta yang dipercayakan
Tuhan kepada kita masing-masing. Dan ini pun berarti kita tidak punya cukup nyali
untuk bertumbuh dalam iman.
Dengan cara yang unik Kitab Amsal
(Bacaan I) menyampaikan suatu kebenaran dalam hal kerajinan atau kegigihan
iman. Pujian diungkapkan terhadap seorang istri yang cakap berbuat baik, senang
bekerja dengan tangannya, serta mengulurkan tangannya kepada orang yang
tertindas dan miskin. Semua yang digambarkan ini adalah hal-hal sederhana dan sehari-hari,
lagi pula tidak membutuhkan bakat yang luar biasa. Dengan kata lain, untuk
dapat berbuat baik dan rajin, tidak diperlukan ‘talenta’ yang besar. Hanya
dibutuhkan keberanian iman. Berapapun yang diberikan Tuhan kepada kita, selalu
bisa dikembangkan agar menghasilkan buah yang berkenan kepada-Nya.
Apakah kita masih mencari-cari
alasan untuk tidak mau mengembangkan harta yang Tuhan percayakan kepada kita?
Iman kita bukanlah tempat untuk bersembunyi dari tanggung jawab, bukan pula
cara untuk membenarkan sikap sentimen dan kebencian terhadap orang-orang lain. Mestinya
kita punya kegigihan dan sikap tak mau kalah terhadap tekanan dari dunia ini,
karena kita sudah diberi benih-benih yang baik untuk ditumbuhkan. Apapun yang
membuat kita ‘takut’ untuk mengembangkan pelayanan dan karya harus dilawan
dengan komitmen dan tanggung jawab yang berani.
Semoga kita tidak gampang
melakukan “walk out” ketika menjumpai tantangan, sebab kita sudah punya cukup
modal iman untuk membawa perubahan yang baik ke manapun Tuhan mengutus kita.
Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar