Yeh 34:11-12.15-17, 1Kor
15:20-26.28, Mat 25:31-46
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Biasanya
orang berusaha menutupi kelemahan dan rasa rendah dirinya dengan segala cara.
Kita yang sudah dewasa pun demikian. Iklim dalam keluarga dan dunia pendidikan
yang cenderung membanding-bandingkan membuat kita mudah berkecil hati. Para
guru Sekolah Dasar mampu mengamati siapa saja muridnya yang merasa minder, dan
pasti berusaha mengangkat kepercayaan diri anak-anak ini. Akan tetapi,
masyarakat kita tidak selalu menjadi lingkungan yang baik untuk orang-orang
yang merasa rendah diri. Kecenderungan mengabaikan atau melecehkan yang lemah
sangat kuat. Hanya segelintir orang yang memiliki jiwa besar untuk mengangkat
sesamanya yang minder.
Kehidupan
beriman tak lepas dari perbedaan antara yang kuat dan yang lemah, yang dominan
dan yang banyak diam, yang berapi-api dan yang kehilangan semangat hidup.
Kebersamaan kita dalam pertemuan-pertemuan lingkungan adalah ajang untuk saling
melayani, namun sebaliknya, bisa juga membuat beberapa orang tak mau hadir.
Mungkinkah sifat “gembala yang baik” mulai hilang dari antara kita? Pertemuan
yang hampir selalu berisi kritik dan teguran tidak akan menarik siapapun juga
untuk datang. Di manakah Tuhan saat itu?
Matius
menempatkan gambaran Kerajaan Allah yang menghadirkan domba dan kambing di
bagian akhir Injilnya. Setelah bagian ini, kita segera akan menemukan kisah sengsara
Yesus. Bagian ini dibuka dengan figur “Anak Manusia”, sosok Mesias dan Raja,
yang menjalankan penghakiman-Nya atas umat manusia. Akan tetapi, berbeda dari
Kitab Daniel yang menjadi sumber sebutan ini, Matius menampilkan Raja itu
sebagai yang ‘mengumpulkan’, dan bukan sekadar ‘memerintah’. Dan yang paling mengejutkan,
sosok Raja itu tidak disadari kehadiran-Nya, baik oleh domba maupun kambing.
Mereka tidak tahu, bilamana Raja itu lapar, haus, telanjang, atau sakit,
sehingga mereka melayani-Nya. Sebab, ternyata Raja itu selalu hadir di antara
mereka, khususnya dalam diri orang-orang yang paling hina!
Di
situlah letak perbedaan penting gambaran dalam Injil Matius. Yesus menyamakan
diri-Nya dengan orang-orang yang paling miskin dan hina di masyarakat, sehingga
Ia tidak dikenali dan karenanya juga tidak diperhitungkan oleh siapapun. Domba
dan kambing itu sama-sama “tidak tahu” bahwa yang mereka layani atau tidak
mereka layani, sesungguhnya adalah Tuhan sendiri. Betapa relevan gambaran ini
ketika dikaitkan dengan keadaan masyarakat kita di zaman ini.
Di
negara kita, begitu seseorang menjadi pemimpin, yang paling segera kelihatan
adalah kekuasaannya. Posisinya tiba-tiba jauh dari orang kebanyakan. Mobilnya
tiba-tiba mewah. Rumahnya menjadi seperti benteng yang sulit menerima tamu.
Belum lagi, sikapnya yang kini tak punya waktu untuk orang-orang yang paling
memerlukan bantuan. Semua perubahan itu sangat ‘kelihatan’ dan karenanya
sungguh-sungguh membedakan dirinya dengan yang lain. Dari kaca mata iman, sosok
yang demikian justru gagal menjadi pemimpin dan teladan. Yesus telah memberi
contoh bagaimana seharusnya memimpin, yakni sebagai gembala yang bahkan tidak
diketahui domba dan kambingnya sendiri, padahal selalu ada di antara mereka!
Bagi kita, kesaksian kepada dunia mestinya juga seperti itu. Kita perlu belajar
membaur di tengah orang kebanyakan, dan terutama di antara mereka yang paling
tidak diperhitungkan oleh masyarakat. Kehadiran dan kesetiaan kita bersama mereka
yang tersisih karena lemah adalah bentuk pelayanan yang paling sesuai dengan
maksud Yesus. Pada saat itu, kita tidak lagi menilai orang, tapi melayani
siapapun, bagaikan untuk Tuhan sendiri!
Kitab
Nubuat Yehezkiel (Bacaan I) menghadirkan sosok Tuhan Allah yang begitu
merendahkan diri, sampai mau mencari sendiri domba-Nya yang tercerai, membalut
yang terluka, menguatkan yang sakit, dan melindungi yang gemuk dan kuat.
Semuanya, tanpa terkecuali, akan didampingi dan diselamatkan-Nya. Dan itulah
yang disebut-Nya sebagai “menjadi hakim” di antara domba dan kambing. Tuhan
melakukan sendiri dengan penuh kasih penggembalaan-Nya itu, untuk menunjukkan
bagaimana seharusnya kita juga saling menggembalakan. Seandainya semangat
pelayanan yang rendah hati ini menjiwai kehidupan iman kita, Kerajaan Allah
sudah hadir saat ini juga.
Sosok
Raja yang sifatnya sungguh-sungguh berbeda dihadirkan Yesus bagi kita, supaya
kita belajar berempati dengan yang lemah. Dalam keseharian hidup, kita selalu
bisa mulai dengan membantu mereka yang merasa rendah diri, yang serba minder
atau cenderung menyendiri. Orang-orang yang demikian banyak kita temui di
sekitar kita. Jika kita melihat Tuhan dalam diri mereka, kita pasti akan
digerakkan untuk melayani mereka dengan sebaik-baiknya, memberi dengan senang
hati apapun yang mereka perlukan.
Semoga
kita mau mengurangi kecenderungan mengkritik dan menilai. Sebab dengan begitu,
kita akan lebih tulus melayani Tuhan, yang ada dalam diri mereka yang sering
kita anggap lemah dan hina.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar