Sabtu, 02 Desember 2017

Memperhatikan dengan Iman yang Sadar

Minggu Adven I (B)

“MEMPERHATIKAN DENGAN IMAN YANG SADAR”
Yes 63:16b-17;64:1.3b-8, 1Kor 1:3-9, Mrk 13:33-37
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Kadang-kadang seseorang menggerakkan tangan dekat dengan muka kita. Itu tandanya kita melamun. Mata kita terbuka, namun menerawang ke suatu hal yang lain. Dan kita cukup sering begitu. Mahasiswa yang mengangguk-angguk ketika mendengarkan kuliah pun tidak dijamin bahwa ia mengerti apa yang sedang diajarkan. Pengendara sepeda motor tanpa sadar bisa tancap gas, tapi sekaligus kakinya menginjak rem kuat-kuat. Ada beberapa saat dari seluruh hari yang kita jalani tidak dapat kita ingat sama sekali. Kita sering tidak ingat, misalnya, apa lauk makan kita kemarin siang. Ada yang membela diri bahwa itu adalah faktor U (umur), padahal mungkin bukan juga. Baik tua maupun muda, kita cenderung mudah melamun, dan mungkin itu karena kita tidak sungguh-sungguh hadir “di sini”, dan “saat ini”.

Kebersamaan dan hidup beriman pun bisa jadi dijalani seperti orang yang melamun. Barangkali semua tugas kita lakukan dengan baik, dan kewajiban keagamaan pun setiap kali kita penuhi, tetapi entah mengapa ada sesuatu yang dirasa hilang. Kekeringan rohani serta ketidakpastian hidup masih membayangi hari-hari kita. Ketika merasa sudah beriman dengan baik, kita masih bertanya-tanya, mengapa hidup dan masa depan kita masih juga tidak jelas. Relasi dan jalan hidup kita tetap membawa keresahan tersendiri. Apakah iman membosankan?

Ketidakpastian mewarnai jemaat Markus seperti tecermin dalam Injil hari ini. Sabda Yesus jelas menanggapi sesuatu yang sedang terjadi di antara para pengikut-Nya, dan sesuatu itu ialah keresahan yang justru berasal “dari dalam” kehidupan beriman. Kata pertama yang diucapkan Yesus sebagaimana dituliskan Markus ialah ‘blepete’, yang dalam bahasa Yunani lebih bermakna ‘melihat’ dan ‘mencerap’. Makna ini agak berbeda dari kata ‘berhati-hati’. Mencerap adalah memperhatikan serta menangkap inti sari suatu kejadian dengan indera, seperti penglihatan dan pendengaran. Jadi, Yesus sudah memberikan jawaban atas persoalan yang terjadi. Mencerap hanya terjadi di saat kita sadar.

Gambaran tentang seseorang yang bepergian dan tak diketahui hamba-hambanya bilamana ia pulang menjelaskan peringatan itu. Ketidaktahuan bukanlah alasan bagi penunggu pintu untuk lantas tidur. Markus di sini menuliskan waktu dengan ‘kairos’ (Yun.), artinya, waktu Tuhan yang selalu luput dari pengetahuan manusia. Bukan berpikir-pikir, melainkan melihat dan mencerap mesti dilakukan di waktu Tuhan itu. Dibutuhkan indera dan kesadaran kita, lebih daripada otak dan pemikiran kita. Iman seharusnya adalah sikap menerima serta mengalami dengan sadar, meyakini apapun yang “saat ini” sedang kita lakukan dan kita perjuangkan.

Di zaman kita sekarang, kehidupan berkeluarga dan berelasi banyak menghadapi kesulitan yang dulu tak terbayangkan. Maksud hati bekerja keras mencari nafkah demi keluarga, tapi kemudian pekerjaan pun semakin menjauhkan relasi dengan keluarga. Dalam relasi dengan para sahabat, maksud baik pun sering ditafsirkan terlalu jauh atau bahkan keliru, sehingga malah mengakibatkan putus hubungan. Kebersamaan kita dalam pelayanan serta kehidupan menggereja tidak jarang memicu sikap antipati dan sinis satu sama lain yang lekas menghilangkan sukacita. Dalam banyak pengalaman sehari-hari itu, mungkinkah kita kehilangan iman yang sungguh-sungguh disadari? “Iman yang disadari” tidak akan menjauhkan relasi di antara kita. Namun, hal itu mengandaikan bahwa kita menggunakan seluruh indera dan pencerapan kita untuk ‘memperhatikan’ apa yang saat ini sedang terjadi. Kita diajak untuk sadar serta melihat dengan baik apa yang sedang dikerjakan Tuhan dan ke mana Ia akan mengarahkan diri kita.

Perkataan Yesaya dalam Bacaan I sangat mengesankan bagi mereka yang ingin menjalani hidup dengan iman. Sekiranya telinga mendengar dengan baik dan mata melihat dengan seksama, akan disadari bahwa ternyata Tuhan sendiri bertindak bagi orang-orang yang menanti-nantikan Dia. Hanya Tuhan kitalah yang berbuat demikian! Maka, Yesaya pun berserah, “Engkaulah Bapa kami! Kami ini tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami semua adalah buatan tangan-Mu”. Beriman tidak cukup dihayati dengan melakukan apa yang sudah merupakan kewajiban, sebab masih diperlukan sikap menerima apa yang sedang Tuhan perbuat demi kebaikan kita.

Masa Adven, masa penantian kelahiran Yesus yang baru kita mulai ini, adalah sebuah undangan untuk menggunakan seluruh indera dan kesadaran supaya mampu melihat tindakan-tindakan Tuhan. Kita mau mengalami saat-saat ketika Tuhan membentuk dan mengarahkan diri kita. Kita ingin tetap sadar bahwa kita berada di tempat ini dan di saat ini, bersama orang-orang yang real di sekitar kita. Semoga kita tidak didapati Tuhan sedang ‘melamun’ atau tenggelam dalam pikiran kita masing-masing. Ia ingin agar kita memperhatikan dengan baik dan selalu siap menyambut kehadiran-Nya.

Semoga kita tetap memiliki semangat dan sukacita setiap hari, sebab kejadian apapun yang kita alami, adalah cara Tuhan membentuk dan mengarahkan hidup kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar