“MEMPERHATIKAN DENGAN IMAN YANG
SADAR”
Yes 63:16b-17;64:1.3b-8, 1Kor
1:3-9, Mrk 13:33-37
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kadang-kadang seseorang
menggerakkan tangan dekat dengan muka kita. Itu tandanya kita melamun. Mata
kita terbuka, namun menerawang ke suatu hal yang lain. Dan kita cukup sering
begitu. Mahasiswa yang mengangguk-angguk ketika mendengarkan kuliah pun tidak
dijamin bahwa ia mengerti apa yang sedang diajarkan. Pengendara sepeda motor
tanpa sadar bisa tancap gas, tapi sekaligus kakinya menginjak rem kuat-kuat. Ada
beberapa saat dari seluruh hari yang kita jalani tidak dapat kita ingat sama
sekali. Kita sering tidak ingat, misalnya, apa lauk makan kita kemarin siang.
Ada yang membela diri bahwa itu adalah faktor U (umur), padahal mungkin bukan juga.
Baik tua maupun muda, kita cenderung mudah melamun, dan mungkin itu karena kita
tidak sungguh-sungguh hadir “di sini”, dan “saat ini”.
Kebersamaan dan hidup beriman pun
bisa jadi dijalani seperti orang yang melamun. Barangkali semua tugas kita
lakukan dengan baik, dan kewajiban keagamaan pun setiap kali kita penuhi,
tetapi entah mengapa ada sesuatu yang dirasa hilang. Kekeringan rohani serta
ketidakpastian hidup masih membayangi hari-hari kita. Ketika merasa sudah
beriman dengan baik, kita masih bertanya-tanya, mengapa hidup dan masa depan kita
masih juga tidak jelas. Relasi dan jalan hidup kita tetap membawa keresahan
tersendiri. Apakah iman membosankan?
Ketidakpastian mewarnai jemaat
Markus seperti tecermin dalam Injil hari ini. Sabda Yesus jelas menanggapi
sesuatu yang sedang terjadi di antara para pengikut-Nya, dan sesuatu itu ialah
keresahan yang justru berasal “dari dalam” kehidupan beriman. Kata pertama yang
diucapkan Yesus sebagaimana dituliskan Markus ialah ‘blepete’, yang dalam
bahasa Yunani lebih bermakna ‘melihat’ dan ‘mencerap’. Makna ini agak berbeda dari
kata ‘berhati-hati’. Mencerap adalah memperhatikan serta menangkap inti sari
suatu kejadian dengan indera, seperti penglihatan dan pendengaran. Jadi, Yesus
sudah memberikan jawaban atas persoalan yang terjadi. Mencerap hanya terjadi di
saat kita sadar.
Gambaran tentang seseorang yang
bepergian dan tak diketahui hamba-hambanya bilamana ia pulang menjelaskan
peringatan itu. Ketidaktahuan bukanlah alasan bagi penunggu pintu untuk lantas
tidur. Markus di sini menuliskan waktu dengan ‘kairos’ (Yun.), artinya, waktu Tuhan
yang selalu luput dari pengetahuan manusia. Bukan berpikir-pikir, melainkan
melihat dan mencerap mesti dilakukan di waktu Tuhan itu. Dibutuhkan indera dan
kesadaran kita, lebih daripada otak dan pemikiran kita. Iman seharusnya adalah
sikap menerima serta mengalami dengan sadar, meyakini apapun yang “saat ini”
sedang kita lakukan dan kita perjuangkan.
Di zaman kita sekarang, kehidupan
berkeluarga dan berelasi banyak menghadapi kesulitan yang dulu tak
terbayangkan. Maksud hati bekerja keras mencari nafkah demi keluarga, tapi
kemudian pekerjaan pun semakin menjauhkan relasi dengan keluarga. Dalam relasi
dengan para sahabat, maksud baik pun sering ditafsirkan terlalu jauh atau
bahkan keliru, sehingga malah mengakibatkan putus hubungan. Kebersamaan kita dalam
pelayanan serta kehidupan menggereja tidak jarang memicu sikap antipati dan
sinis satu sama lain yang lekas menghilangkan sukacita. Dalam banyak pengalaman
sehari-hari itu, mungkinkah kita kehilangan iman yang sungguh-sungguh disadari?
“Iman yang disadari” tidak akan menjauhkan relasi di antara kita. Namun, hal
itu mengandaikan bahwa kita menggunakan seluruh indera dan pencerapan kita
untuk ‘memperhatikan’ apa yang saat ini sedang terjadi. Kita diajak untuk sadar
serta melihat dengan baik apa yang sedang dikerjakan Tuhan dan ke mana Ia akan
mengarahkan diri kita.
Perkataan Yesaya dalam Bacaan I
sangat mengesankan bagi mereka yang ingin menjalani hidup dengan iman.
Sekiranya telinga mendengar dengan baik dan mata melihat dengan seksama, akan
disadari bahwa ternyata Tuhan sendiri bertindak bagi orang-orang yang
menanti-nantikan Dia. Hanya Tuhan kitalah yang berbuat demikian! Maka, Yesaya
pun berserah, “Engkaulah Bapa kami! Kami ini tanah liat dan Engkaulah yang
membentuk kami, dan kami semua adalah buatan tangan-Mu”. Beriman tidak cukup dihayati
dengan melakukan apa yang sudah merupakan kewajiban, sebab masih diperlukan
sikap menerima apa yang sedang Tuhan perbuat demi kebaikan kita.
Masa Adven, masa penantian
kelahiran Yesus yang baru kita mulai ini, adalah sebuah undangan untuk
menggunakan seluruh indera dan kesadaran supaya mampu melihat tindakan-tindakan
Tuhan. Kita mau mengalami saat-saat ketika Tuhan membentuk dan mengarahkan diri
kita. Kita ingin tetap sadar bahwa kita berada di tempat ini dan di saat ini,
bersama orang-orang yang real di sekitar kita. Semoga kita tidak didapati Tuhan
sedang ‘melamun’ atau tenggelam dalam pikiran kita masing-masing. Ia ingin agar
kita memperhatikan dengan baik dan selalu siap menyambut kehadiran-Nya.
Semoga kita tetap memiliki
semangat dan sukacita setiap hari, sebab kejadian apapun yang kita alami,
adalah cara Tuhan membentuk dan mengarahkan hidup kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar