Sabtu, 09 Desember 2017

Sesudah Aku akan Datang Dia

Minggu Adven II (B)
Yes 40:1-5.9-11, 2Ptr 3:8-14, Mrk 1:1-8
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Sebuah istilah muncul baru-baru ini: kegaduhan politik. Yang dikhawatirkan ialah keresahan di masyarakat gara-gara pernyataan tokoh-tokoh tertentu. Di level dunia, itu sudah sering terjadi. Pernyataan seorang pemimpin negara adikuasa dapat memicu kerusuhan besar di berbagai negara lain. Tapi, bukankah politik itu sendiri ‘adalah’ kegaduhan? Dan sering penyebabnya ialah pemikiran yang dangkal. Ini pun terjadi dalam keseharian kita. Kalau baru saja membaca koran, kita mudah sekali merasa ‘tahu’ tentang banyak hal. Sungguh mengherankan bahwa pengetahuan yang sangat sedikit bisa membuat kita seakan-akan sudah seperti ahlinya, padahal itu semua hanya karena membaca sebuah kolom berita di koran! Ada peribahasa yang cocok menggambarkan sikap ini: tong kosong berbunyi nyaring.

Kehidupan beriman kita juga bisa menampakkan sikap yang sama. Keyakinan berlebihan pada diri sendiri adalah sebabnya. Ketika menganggap diri lebih tahu daripada orang lain, kita akan memicu kegaduhan. Ternyata politik pun dipakai dalam kehidupan iman dan pelayanan, sampai menimbulkan keresahan. Alangkah sulitnya sekarang ini menjalani iman dengan tenang, mengungkapkannya dengan rendah hati, dan bersaksi tanpa menggelisahkan siapapun! Namun, itulah pesan Injil yang hendak kita renungkan bersama.

Markus mengawali Injilnya dengan perkataan, “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah”. Sebutan kepada Yesus – “Anak Allah” – ini takkan muncul lagi dalam Injil Markus, sampai saat Yesus wafat di salib dan seorang perwira mengucapkannya. Demikianlah Markus merangkum seluruh Injil tentang Yesus Kristus yang adalah Anak Allah. Sebagai sebuah ‘permulaan’, bagian Injil yang kita dengar hari ini sekaligus adalah suatu persiapan. Itu sebabnya kita mengenal Yohanes Pembaptis, figur yang diperlukan terutama supaya kita belajar tentang sikap iman yang benar untuk menyambut Yesus.

Sikap iman itu segera terlihat pada diri Yohanes. Ia adalah simbol manusia apa adanya. Ia tinggal di padang gurun, memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit; makanannya belalang dan madu hutan. Yohanes tidak mengandalkan kepandaian atau kuasa apapun. Ia memanggil orang supaya bertobat, sehingga dengan begitu mereka akan siap menyambut Dia yang disebutnya “lebih berkuasa daripadaku” dan “akan membaptis kamu dengan Roh Kudus”. Itulah sikap iman yang benar! Sikap ini dimulai dengan kerendahhatian, dengan kesadaran penuh, bahwa “sesudah aku, akan datang Dia yang lebih berkuasa”. Kita segera tahu bahwa mempersiapkan pada dasarnya ialah bersikap tahu diri, memberi jalan kepada Tuhan untuk menguasai hidup kita.

Di masyarakat kita, reaksi yang muncul terhadap pernyataan para tokoh politik pun sering kali berlebihan. Ada kalanya orang lupa bahwa pernyataan itu tidak mewakili partai atau bahkan negaranya. Akhirnya, reaksi-reaksi itu jatuh ke dalam mentalitas yang sama buruk, bahkan ditambah lagi dengan sikap “sok tahu”. Beberapa hal dalam hidup keseharian kita juga dipengaruhi oleh kecenderungan serupa. Kita senang berteman dengan orang-orang yang mengagumi perkataan kita, dan karenanya tak ada yang mengkritik atau mengoreksi. Dalam kelompok-kelompok, kita hanya mau terlibat kalau diposisikan sebagai pemimpin atau pembina, pokoknya posisi yang lebih tinggi dan dihormati. Dalam pelayanan dan kehidupan menggereja, kita kadang-kadang terlalu bangga dengan bakat dan kelebihan yang kita sumbangkan. Mungkin kita masih jauh dari sikap iman Yohanes Pembaptis, yang sadar akan dirinya sebagai manusia, dan mau mengakui sosok Kristus yang jauh lebih besar dari dirinya.

Firman Tuhan melalui nabi Yesaya (Bacaan I) adalah dasar bagi Markus ketika menulis Injilnya. Jalan yang lurus dan rata harus dipersiapkan sebagai syarat kehadiran Tuhan yang penuh kekuatan dan kuasa. Tuhan dilukiskan sebagai gembala yang berjalan di belakang kawanan-Nya. Umat mempersiapkan jalan di depan dengan berani dan dengan suara yang nyaring. Kehidupan iman di sini digambarkan layaknya suatu peziarahan, yang di dalamnya kita mendahului Tuhan dan mempersiapkan jalan dengan keyakinan yang wajar. Tindakan ‘mendahului’ bukanlah karena kita lebih diutamakan, melainkan untuk membuka jalan agar Tuhan bisa sampai ke hati lebih banyak orang.

Lebih dari sekadar penantian, masa ini adalah suatu persiapan yang perlu dijalani secara lebih aktif. Bagi kita, umat kristiani, ini adalah saat yang paling baik untuk tetap berjalan maju, namun dengan sekali waktu menoleh kepada Sang Gembala, yang berjalan di belakang kita. Kita bukanlah pemeran yang utama. Kita pun tidak lebih tahu dibanding saudara-saudara yang lain. Kepada siapapun yang kita jumpai di jalan, kita akan meyakinkan bahwa kita hanya menyiapkan jalan bagi Tuhan.

Semoga kita mampu beriman dengan tenang, mengungkapkannya dengan rendah hati, dan bersaksi tanpa membuat kegaduhan yang meresahkan. Dia, yang lebih berkuasa, akan hadir di tengah-tengah kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar