Yes 40:1-5.9-11, 2Ptr 3:8-14, Mrk
1:1-8
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Sebuah istilah muncul baru-baru ini:
kegaduhan politik. Yang dikhawatirkan ialah keresahan di masyarakat gara-gara
pernyataan tokoh-tokoh tertentu. Di level dunia, itu sudah sering terjadi. Pernyataan
seorang pemimpin negara adikuasa dapat memicu kerusuhan besar di berbagai
negara lain. Tapi, bukankah politik itu sendiri ‘adalah’ kegaduhan? Dan sering
penyebabnya ialah pemikiran yang dangkal. Ini pun terjadi dalam keseharian
kita. Kalau baru saja membaca koran, kita mudah sekali merasa ‘tahu’ tentang
banyak hal. Sungguh mengherankan bahwa pengetahuan yang sangat sedikit bisa membuat
kita seakan-akan sudah seperti ahlinya, padahal itu semua hanya karena membaca
sebuah kolom berita di koran! Ada peribahasa yang cocok menggambarkan sikap
ini: tong kosong berbunyi nyaring.
Kehidupan beriman kita juga bisa
menampakkan sikap yang sama. Keyakinan berlebihan pada diri sendiri adalah
sebabnya. Ketika menganggap diri lebih tahu daripada orang lain, kita akan
memicu kegaduhan. Ternyata politik pun dipakai dalam kehidupan iman dan pelayanan,
sampai menimbulkan keresahan. Alangkah sulitnya sekarang ini menjalani iman
dengan tenang, mengungkapkannya dengan rendah hati, dan bersaksi tanpa
menggelisahkan siapapun! Namun, itulah pesan Injil yang hendak kita renungkan
bersama.
Markus mengawali Injilnya dengan
perkataan, “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah”. Sebutan
kepada Yesus – “Anak Allah” – ini takkan muncul lagi dalam Injil Markus, sampai
saat Yesus wafat di salib dan seorang perwira mengucapkannya. Demikianlah
Markus merangkum seluruh Injil tentang Yesus Kristus yang adalah Anak Allah. Sebagai
sebuah ‘permulaan’, bagian Injil yang kita dengar hari ini sekaligus adalah
suatu persiapan. Itu sebabnya kita mengenal Yohanes Pembaptis, figur yang
diperlukan terutama supaya kita belajar tentang sikap iman yang benar untuk
menyambut Yesus.
Sikap iman itu segera terlihat pada
diri Yohanes. Ia adalah simbol manusia apa adanya. Ia tinggal di padang gurun,
memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit; makanannya belalang dan madu
hutan. Yohanes tidak mengandalkan kepandaian atau kuasa apapun. Ia memanggil orang
supaya bertobat, sehingga dengan begitu mereka akan siap menyambut Dia yang
disebutnya “lebih berkuasa daripadaku” dan “akan membaptis kamu dengan Roh
Kudus”. Itulah sikap iman yang benar! Sikap ini dimulai dengan kerendahhatian,
dengan kesadaran penuh, bahwa “sesudah aku, akan datang Dia yang lebih
berkuasa”. Kita segera tahu bahwa mempersiapkan pada dasarnya ialah bersikap
tahu diri, memberi jalan kepada Tuhan untuk menguasai hidup kita.
Di masyarakat kita, reaksi yang muncul
terhadap pernyataan para tokoh politik pun sering kali berlebihan. Ada kalanya
orang lupa bahwa pernyataan itu tidak mewakili partai atau bahkan negaranya.
Akhirnya, reaksi-reaksi itu jatuh ke dalam mentalitas yang sama buruk, bahkan ditambah
lagi dengan sikap “sok tahu”. Beberapa hal dalam hidup keseharian kita juga
dipengaruhi oleh kecenderungan serupa. Kita senang berteman dengan orang-orang
yang mengagumi perkataan kita, dan karenanya tak ada yang mengkritik atau
mengoreksi. Dalam kelompok-kelompok, kita hanya mau terlibat kalau diposisikan
sebagai pemimpin atau pembina, pokoknya posisi yang lebih tinggi dan dihormati.
Dalam pelayanan dan kehidupan menggereja, kita kadang-kadang terlalu bangga
dengan bakat dan kelebihan yang kita sumbangkan. Mungkin kita masih jauh dari
sikap iman Yohanes Pembaptis, yang sadar akan dirinya sebagai manusia, dan mau
mengakui sosok Kristus yang jauh lebih besar dari dirinya.
Firman Tuhan melalui nabi Yesaya
(Bacaan I) adalah dasar bagi Markus ketika menulis Injilnya. Jalan yang lurus
dan rata harus dipersiapkan sebagai syarat kehadiran Tuhan yang penuh kekuatan
dan kuasa. Tuhan dilukiskan sebagai gembala yang berjalan di belakang
kawanan-Nya. Umat mempersiapkan jalan di depan dengan berani dan dengan suara
yang nyaring. Kehidupan iman di sini digambarkan layaknya suatu peziarahan, yang
di dalamnya kita mendahului Tuhan dan mempersiapkan jalan dengan keyakinan yang
wajar. Tindakan ‘mendahului’ bukanlah karena kita lebih diutamakan, melainkan
untuk membuka jalan agar Tuhan bisa sampai ke hati lebih banyak orang.
Lebih dari sekadar penantian, masa
ini adalah suatu persiapan yang perlu dijalani secara lebih aktif. Bagi kita,
umat kristiani, ini adalah saat yang paling baik untuk tetap berjalan maju,
namun dengan sekali waktu menoleh kepada Sang Gembala, yang berjalan di
belakang kita. Kita bukanlah pemeran yang utama. Kita pun tidak lebih tahu dibanding
saudara-saudara yang lain. Kepada siapapun yang kita jumpai di jalan, kita akan
meyakinkan bahwa kita hanya menyiapkan jalan bagi Tuhan.
Semoga kita mampu beriman dengan
tenang, mengungkapkannya dengan rendah hati, dan bersaksi tanpa membuat
kegaduhan yang meresahkan. Dia, yang lebih berkuasa, akan hadir di
tengah-tengah kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar