Hari Minggu Biasa XXIV (A)
“LINGKARAN PENGAMPUNAN, TAK
TERHITUNG”
Sir 27:30-28:9, Rm 14:7-9, Mat
18:21-35
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Manusia senang berhitung. Semua
diberi angka, dan angka-angka pun diberi maknanya masing-masing. Ada angka yang
bagus, ada yang buruk. Ketika tanggal-tanggal pun ditentukan baik-buruknya
berdasarkan angka, orang bisa menghindari hari-hari tertentu karena ‘perhitungannya’
jelek. Hari perkawinan, hari kelahiran, hari perayaan dan pesta – semuanya bisa
dan ‘harus’ ditentukan, kecuali hari kematian. Bahkan, angka dan jumlah pelat
nomor kendaraan ataupun nomor rumah pun harus dipesan dan diatur supaya
maknanya menjadi bagus. Mungkin kita baru merasa tenang kalau hal-hal di
sekitar kita sudah sesuai dengan pemikiran dan kategori perhitungan kita.
Persoalannya timbul ketika yang
kita hitung-hitung adalah sikap orang lain atau saudara kita sendiri. Prinsip
berhitung bisa membahayakan kehidupan bersama dan beriman, tapi sekaligus
terjadi hampir setiap saat. Itu sebabnya sabda Tuhan yang kita baca dan kita
dengar, setiap kali akan mengingatkan lagi apa yang lebih utama dibanding
kebiasaan yang sudah kita anggap sehari-hari itu. Dan dalam kebersamaan iman ini,
kita akan menyadari kembali bahwa Tuhan mengajar kita untuk melampaui
perhitungan apapun, lewat pengampunan.
Perumpamaan tentang seorang hamba
yang tidak berbelas kasih disampaikan Yesus dengan sangat mengena. Kisah-Nya
ini dipicu oleh pertanyaan yang realistis Petrus, tentang “berapa kali harus mengampuni
saudara, jika ia berbuat dosa kepadanya”. Pertanyaan Petrus pun pasti dilatari
pengalaman konkret yang dialami para murid. Ada orang-orang di sekitar mereka
yang terus menerus mengulangi kesalahannya. Mari kita perhatikan, Petrus
bertanya “berapa kali”. Dan Yesus menanggapi dengan sebuah perumpamaan tentang
seorang raja yang hendak “mengadakan perhitungan” dengan hamba-hambanya. Jauh
di lubuk hati mereka yang sulit mengampuni, ada masalah yang lebih besar, yakni
sikap mengukur persaudaraan dengan hitung-hitungan.
Hamba itu berhutang 10.000
talenta, jumlah yang sungguh tidak mungkin. Jumlah ini adalah gaji seseorang
selama 150.000 tahun di masa Yesus. Dan hutang sebesar itu dihapuskan oleh raja
itu! Belas kasih raja itu pun, karenanya, tidak masuk akal, namun lebih tidak
dapat dimengerti lagi ialah sikap hamba tersebut terhadap hamba lain yang
berhutang 100 dinar (4 bulan gaji) kepadanya. Kalau mencari kemasukakalan dalam
belas kasih, kita tidak akan menemukannya. Penerimaan, pengampunan, dan rasa
belas kasihan tidak punya batas, sebab kalau ya, tidak akan disebut demikian
lagi. Yesus mengajarkan sebuah sikap yang berasal dari sifat Allah, dan yang
sering kali dipertanyakan oleh manusia.
Dunia kita ini serba diukur
dengan jumlah. Perbuatan baik ataupun perbuatan jahat diingat sampai pada
“berapa kali” orang telah menyelamatkan ataupun mencelakakan diri kita. Kita
memperhatikan siapa saja saudara atau teman yang mengunjungi, atau yang tidak
mengunjungi, di saat kita terbaring sakit. Kita cenderung mengingat siapa yang
baik dan siapa yang jahat terhadap kita, dan ternyata pengetahuan ini malah membuat
kita makin merasa tidak bahagia. Pada saat ‘berhitung’ soal kesalahan orang
lain, kita lupa betapa banyak kita sendiri sesungguhnya pernah dimaklumi. Dan
di sinilah letak bahayanya dalam kehidupan iman. Semakin tidak menyadari betapa
sering kita dimaklumi dan diterima oleh orang lain, semakin jarang kita
mengalami kasih Tuhan. Sebab, sudah tak terhitung dalam hidup ini, kita
diampuni Tuhan! Dia menghapuskan hutang kita dengan cara mengirimkan orang-orang
yang menyayangi dan mendukung kita dengan tulus, kendati mungkin kita tak
pantas menerima kebaikan itu.
Kitab Yesus bin Sirakh (Bacaan I)
memberikan renungan yang mudah kepada kita mengenai bagaimana menanggapi dosa
dan kesalahan orang lain. Sebuah kalimat sederhana kita dengar di dalamnya:
“Ingatlah akan akhir hidup... Ingatlah akan perjanjian dari Yang Mahatinggi”. Siapapun,
yang diingatkan akan akhir hidupnya, pasti akan lebih mudah melepaskan
dendamnya terhadap sesama. Kalau kita nanti menghadap Tuhan, kita tidak ingin
membawa hati yang sarat dengan kebencian. Sebaliknya, kita mau melepaskan
kesalahan semua orang, entah seberat apapun, sebab semuanya itu tidak penting
lagi di hadapan Tuhan. Dan bukankah ‘melepaskan’ itu membuat hidup kita menjadi
lebih ringan dan membahagiakan?
Hari ini Yesus mengajar kita
untuk menjalin sebuah lingkaran pengampunan, sebuah lingkaran persaudaraan yang
tak terhitung luasnya. Kita dapat mewujudkannya, dengan cara berhenti
menghitung-hitung kesalahan orang lain, mulai dari saudara-saudara kita
sendiri. Kita tidak akan lagi berpikir mengenai “berapa kali” seseorang telah melakukan
kesalahan yang sama terhadap diri kita. Memang iman kita kepada Kristus sungguh
tidak masuk akal, karena membuat kita mampu menghapuskan hutang seseorang,
sebesar apapun.
Setiap kali mengingat tujuan
hidup kita kelak, semoga kita melihat apa yang jauh lebih penting dibanding
kesalahan saudara kita. Kita akan berjumpa dengan Dia, yang selama ini selalu
mengampuni dan mengasihi kita, meskipun kita tidak pantas menerimanya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar