“DALAM KUASA TUHAN SAJA”
Ul 18:15-20, 1Kor 7:32-35, Mrk
1:21-28
Meniru
penampilan seseorang atau mengatasnamakan figur penguasa sering dianggap
sebagai cara mudah untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungannya bermacam-macam,
mulai dari rasa bangga, kekaguman orang lain, perhatian, keistimewaan,
popularitas, fasilitas, hingga dana. Ada
orang yang habis-habisan meniru gaya komedian terkenal karena mengira dengan
begitu pertunjukannya akan cepat laku. Ada orang yang cara bicaranya sangat
dibuat-buat karena mengira bahwa orang lain suka mendengarnya. Ada politikus
yang mengatasnamakan pemimpin negara guna mendapatkan saham sebuah perusahan.
Ada banyak rupa keinginan, tapi mungkin sebenarnya satu nafsu: kuasa.
Kuasa
bersembunyi di balik berbagai sikap dan tindakan kita. Supaya tidak vulgar,
kuasa pun dipoles dengan hal-hal yang tampak luhur dan suci. Ketika pelayanan
dan kesaksian rohani digerakkan oleh keinginan berkuasa, kita akan cepat merasakannya,
sebab nafsu yang satu ini selalu muncul dalam perkataan terhadap orang lain.
Saat kita tidak mau ditegur atau dikoreksi oleh saudara kita, itulah awal dari
perkataan buruk yang akan segera keluar dari mulut kita.
Dalam
Injil Markus, Yesus tidak membuang waktu. Segera setelah Sabat mulai, Ia
“segera masuk ke dalam rumah ibadat dan mengajar”. Di hari yang suci bagi orang
Yahudi itu, Ia masuk ke pusat ‘pemerintahan’ para ahli Taurat. Tindakan Yesus
ini begitu dramatis karena langsung berhadapan dengan kelompok yang paling
berkuasa di sinagoga. Entah apapun yang diajarkan Yesus pada waktu itu,
komentar yang muncul memerahkan muka para penguasa rumah ibadat: “Ia mengajar
sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat”. Dan persis di
tengah suasana yang tiba-tiba tak nyaman itu, seseorang kerasukan roh jahat. Kebetulankah
hal itu? Mungkin bukan.
Roh
jahat muncul di rumah ibadat! Itu berarti roh jahat sudah biasa menampilkan
diri sebagai yang tampaknya saleh dan suci. Markus melihat sesuatu yang tidak
diamati oleh orang lain, yakni bahwa roh jahat menjadi terlihat, tepat ketika
kuasa para ahli Taurat dipermasalahkan. Roh jahat ini seakan-akan
‘membahasakan’ serangan mereka terhadap Yesus: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai
Yesus orang Nazaret? Engkau hendak membinasakan kami?” Setelah roh itu dihardik
Yesus, mereka masih memperbincangkan kuasa Yesus dalam perkataan, dan malah menyangkanya
suatu ajaran baru.
Tanpa
disadari sikap kita kadang-kadang agak berlebihan kalau suatu saat diangkat
menjadi pemimpin atau merasa sudah menyumbangkan kemampuan kita. Tak lama
kemudian. kita mulai bermain kuasa, merasa berhak mengatur segala hal dan semua
orang, serta tersinggung kalau ternyata ada orang lain yang melakukan perubahan
demi perbaikan. Sikap-sikap yang buruk gara-gara soal kuasa seperti ini cepat
sekali berubah menjadi kata-kata yang jahat. Dan pada saat itu kita melihat ironi
yang terjadi dalam berbagai pelayanan dan kebersamaan iman. Berkali-kali
ungkapan iman kita dalam kebersamaan dinodai oleh komentar buruk serta pikiran
jahat terhadap orang lain. Ibadat serta doa-doa kita yang saleh di hadapan
Tuhan, bisa dicemari oleh nafsu untuk menguasai, mengatur, dan mengajari orang
lain. Nafsu ini sama dengan yang ada dalam diri para ahli Taurat, yang
memunculkan suara roh jahat di rumah ibadat itu. Dan roh jahat hanya akan diam
dan pergi jika kita mendengarkan kata-kata Yesus yang penuh kuasa.
Musa
bernubuat kepada bangsa Israel dalam Kitab Ulangan (Bacaan I) bahwa seorang
nabi “seperti aku” akan dibangkitkan Tuhan Allah bagi mereka. Musa adalah tolok
ukur bagi para nabi selanjutnya, karena ia selalu menyampaikan apa yang
difirmankan Tuhan. Tuhan bersabda, “Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya,
dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya”.
Artinya, seorang nabi tidak menggunakan Sabda Tuhan untuk bermain kuasa,
melainkan harus merendahkan diri dalam setiap nubuatnya, sebab hanya Allah
berhak memerintah dan meminta pertanggungjawaban dari manusia. Kata-kata manusia
bukanlah perkataan Allah.
Para
pengikut Kristus di zaman ini dipanggil untuk bersikap tahu-diri dalam segala
hal, dimulai dari kehidupan berimannya di lingkungan Gereja. Pelayanan
kristiani tidak membenarkan cara- cara apapun untuk mendapatkan keistimewaan
dan kepuasan bagi diri sendiri. Kita tidak boleh mengatasnamakan Tuhan, Kitab
Suci, ataupun ajaran Gereja untuk memengaruhi, apalagi memaksa orang lain agar
tunduk pada keinginan kita. Sikap mawas diri akan lebih dibutuhkan, terutama
saat kita dipercaya untuk menjadi pengurus atau menyumbangkan kemampuan kita. Jangan
sampai nafsu untuk menguasai orang lain menjadi kata-kata jahat, sebab akan
berhadapan dengan kuasa Yesus.
Kita
percaya bahwa hanya kuasa Tuhan dapat membersihkan diri kita dari nafsu dan
pikiran jahat. Semoga ada damai di hati kita masing-masing ketika kita sedang
berdoa dan melayani sesama.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar