Yun 3:1-5, 1Kor 7:29-31, Mrk
1:14-20
Kecenderungan yang terjadi
akhir-akhir ini mungkin bisa disebut ‘latah’ dalam hal sikap dan tindakan.
Orang mudah sekali memutuskan berdasarkan dorongan “karena orang lain pun
begitu”. Satu orang memulai, yang lain akan ramai-ramai mengikuti.
Kecenderungan itu mencerminkan keadaan tertekan dan ketakutan. Ada banyak
sebabnya dalam hidup kita: takut tidak mendapat kesempatan, khawatir akan masa
depan, takut gagal dan rugi dalam usaha; sampai pada soal hidup bersama: tidak
ingin dijauhi orang, takut dimarahi dan dihukum, atau daripada dibicarakan di
belakang punggung. Bersembunyi dalam arus banyak orang seperti itu membuat kita
kehilangan daya juang. Berbagai keputusan diambil karena ‘terpaksa’.
Kalau begitu, di mana peran iman
kita? Mengikuti Kristus tidak mungkin dijalani dengan perasaan tertekan. Iman
seharusnya membawa keberanian untuk bersikap, sekalipun itu berbeda dari arus
banyak orang. Mungkin kita masih belum menjadikan iman sebagai sumber kekuatan
dan tolok ukur untuk bersikap dalam keseharian. Atau, mungkin kita mau mencari yang
‘aman’ saja, karena orang lain pun begitu.
Injil Markus yang kita dengar
hari ini dimulai dengan kejadian yang mencemaskan: Yohanes Pembaptis ditangkap.
Bayang-bayang kekerasan oleh penguasa sudah menggantung sejak awal karya Yesus.
Ia dikisahkan pergi ke Galilea. Yesus digambarkan sebagai orang Galilea dan
sangat dekat dengan perikehidupan daerah ini. Di masa itu, Galilea didatangi orang-orang
dari berbagai kultur, terutama karena kedatangan bangsa Yunani dan Romawi yang
mau menaklukkannya. Wilayah diberikan kepada perwira dan politisi sebagai
rampasan perang. Rakyat miskin yang rata-rata adalah petani dan nelayan
bertambah lagi beban hidupnya karena tekanan dari penguasa daerah.
Di tengah situasi gelap Galilea
itu, Yesus memanggil murid-murid pertama-Nya. Mereka adalah orang-orang miskin
yang hidupnya tertekan. Yesus tidak memikat mereka dengan mukjizat. Ia
memanggil mereka untuk menanggapi keadaan dengan cara yang berbeda, dengan
keberanian untuk percaya. Dan wibawa serta kuasa-Nya sendiri adalah jaminannya.
Para murid pertama begitu yakin akan jalan hidup yang baru itu, sehingga mereka
berani ‘meninggalkan’ segala-galanya. Kehidupan terlalu berharga untuk dijalani
dengan tertekan.
Menjadi orang kristen di zaman
kita pun mendatangkan banyak tantangan. Kata-kata itu tak perlu dijelaskan
lagi. Kita semua mengalami kesulitan demi kesulitan setiap hari, dan itu karena
kita mau setia di jalan ini. Namun, yang lebih mengherankan, ternyata di antara
sesama pengikut Kristus pun masih ada tekanan dan ketakutan satu sama lain. Ketidaknyamanan
bukan disebabkan oleh situasi sekitar, melainkan oleh sesama orang beriman.
Seolah-olah kesulitan hidup belum cukup membebani, sehingga masih harus
ditambah dengan sikap dan kata-kata yang menyakiti! Bagaimana menanggapinya
jauh lebih penting. Menanggapi dengan mencari aman atau serba mengiyakan justru
membuat kita kehilangan daya juang. Berapa banyak inisiatif yang kita batalkan hanya
demi situasi yang tampak “baik-baik saja”? Iman kepada Kristus mestinya adalah
jaminan supaya kita berani bersikap, dan bukan sekadar ikut arus.
Dalam Kitab Nubuat Yunus (Bacaan
I), Tuhan berfirman “untuk kedua kalinya” kepada Yunus agar ia bangun dan pergi
ke Ninive. Yunus menggambarkan sosok yang apatis terhadap pertobatan orang
lain, dan itu membuat Tuhan memakai segala cara untuk ‘menggerakkan’ dia. Yunus
kurang menyadari bahwa sesungguhnya kuasa Tuhanlah yang mempertobatkan orang,
dan bukan kata-katanya sendiri. Kalau Tuhan memanggil seseorang menjadi
utusan-Nya, Ia mengharapkan kepercayaan akan kuasa ilahi yang paling mampu
membawa perubahan hati. Di balik kisah panggilan seseorang, Tuhan bekerja
dengan cara yang tak terpahami, yang akan mengubah cara pandangnya terhadap
orang lain dan dunia.
Mari kita merenungkan kembali
panggilan dan tantangan Yesus kepada kita masing-masing di masa kini. Apa
maksudnya bahwa Ia mau menjadikan kita “penjala manusia”? Sesungguhnya Yesus
menawarkan suatu jalan hidup yang baru kepada kita, yakni cara bersikap yang
berani dan cara pandang yang percaya pada kuasa ilahi! Tekanan dari orang lain
maupun kecemasan akan keadaan tak perlu membuat kita jadi latah bersikap dan bertindak.
Kalau banyak orang lain sekadar mencari aman, kita selalu punya pilihan untuk
berani setia dengan prinsip iman. Jangan pernah ada perasaan terpaksa untuk
memutuskan, sebab Tuhan sendiri menghendaki kita berani dan bebas.
Semoga hidup sehari-hari kita
dijalani dengan hati yang lepas-bebas, berani mengatasi ketakutan dengan rasa
percaya kepada Kristus. Dialah yang berkuasa mengubah dunia ini, dan kita mau
setia berada di jalan-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar