1Sam 3:3b-10.19,
1Kor 6:13c-15a.17-20, Yoh 1:35-42
Di antara banyak hal yang kita tekuni, mulai
dari yang sepele hingga yang serius, berapakah yang dimulai dengan “coba-coba”?
Sebagian orang merasa bangga bahwa profesinya kini sebetulnya dulu dimulai
dengan tak sengaja. Boleh berbangga, tapi perlu merenung. Sesuatu yang
dilakukan dengan semangat coba-coba, sesuai kata itu sendiri, berisiko ditinggalkan
dan kehilangan daya tarik. Lihat saja relasi kita. Ungkapan dalam bahasa Jawa
“tresna jalaran saka kulina” (= cinta oleh karena terbiasa) memuat bahaya yang
setiap saat bisa menghancurkan relasi itu sendiri. Tidak ada cinta sejati yang
bisa ‘dibiasakan’ atau dipaksakan. Komitmen hanya akan tumbuh dari kekaguman
yang otentik, yaitu dari dalam hati kita masing-masing.
Keterlibatan iman kita pun dimulai dengan
kekaguman pada inisiatif Tuhan. Tidak ada yang memaksa kita untuk terlibat. Roh
Kudus hadir dalam gerakan di hati dan Ia tak dapat ditahan, layaknya dorongan untuk
mencintai. Tetapi, kini banyak kelompok gerejawi kehilangan anggota. Satu per
satu anggotanya mundur, dan memilih untuk “beriman secara pribadi” saja.
Mungkinkah kekecewaan kita lebih besar dari rasa cinta? Atau mungkin semua ini
hanyalah coba-coba?
Yohanes Pembaptis menunjukkan sosok Yesus yang
disebutnya “Anak Domba Allah” kepada dua orang muridnya. Kedua murid itu
mendengarnya, lalu pergi mengikuti Yesus. Yohanes tidak mau mencari pengikut.
Ia hadir untuk menunjukkan siapa Mesias yang sejati, maka ia membiarkan murid-muridnya
memulai dan mengalami sendiri perjumpaan dengan Yesus. Dan pada waktu itu,
Yesus memberi pertanyaan untuk memurnikan motivasi mereka, “Apakah yang kamu
cari?” Pertanyaan ini membersihkan semangat para murid pertama itu. Artinya,
mengikuti Yesus bukanlah suatu tindakan main-main. Keputusan itu harus dimulai dengan
motivasi yang benar.
Dari situlah muncul jawaban yang menjadi kata
kunci kemuridan menurut Injil Yohanes, yakni ‘tinggal’ (Yun. ‘menein’). Kedua
murid itu ingin tahu di mana Yesus ‘tinggal’, dan mereka pun kemudian ‘tinggal’
bersama-sama dengan Dia. Kelak akan banyak pengikut Yesus yang meninggalkan Dia
karena sulit menerima ajaran-Nya (Yoh 6). Akan tetapi, masih ada murid-murid
yang akan tetap setia, karena sejak awal mereka memang mengikuti Yesus dengan
motivasi yang benar. Dan hanya mereka yang terakhir ini disebut ‘sahabat’ oleh
Yesus, sebab tidak mudah mundur atau meninggalkan Dia.
Apakah merupakan hal yang klise, kalau di
zaman ini kita bicara tentang ketidaksetiaan? Sesuatu kita anggap klise ketika
sudah dianggap biasa. Dan alangkah menyedihkan bila ketidaksetiaan adalah hal
yang biasa! Kelompok-kelompok yang ditinggalkan oleh para anggotanya,
relasi-relasi yang bubar di tengah jalan, dan pilihan hidup yang tiba-tiba
berubah 180 derajat hanyalah beberapa contoh merebaknya ketidaksetiaan di
sekitar kita. Kita bisa menambahkan lebih banyak lagi kasus atau pengalaman
pribadi, kalau mau jujur dan rendah hati mengakui. Dari banyak pengalaman hidup
itu, ketidaksetiaan dimulai persis dari awalnya. Kemunduran seseorang,
misalnya, sudah dimulai sejak ia dulu memutuskan untuk bergabung dalam sebuah kelompok.
Ia punya motivasi yang tidak benar, maka ia takkan mampu berkomitmen. Oleh
karenanya, betapa penting pertanyaan Yesus itu, “Apakah yang kamu cari?” Kalau
kita tidak siap menjawabnya, sebaiknya jangan memaksakan diri, apalagi memaksa
orang lain.
Kisah tentang pemanggilan Samuel (Bacaan I)
selalu menarik perhatian kita ketika dibacakan kembali. Namun, kisah ini tidak
sesederhana kedengarannya. Tiga kali Samuel dipanggil Tuhan, dan tiga kali pula
ia datang kepada Eli. Apakah panggilan Tuhan memang tidak jelas, sehingga kita
pun akan mengatakan bahwa hal itu karena Samuel masih terlalu muda? Samuel
melambangkan diri kita sendiri yang kurang memperhatikan suara siapakah yang
kita dengar dalam beriman. Seperti Samuel, kita sering terpikat pada
orang-orang tertentu, lebih daripada Tuhan yang memanggil dan mengarahkan hidup
kita. Mungkin kita belum pernah meneliti kembali motivasi iman kita, sehingga
mudah bosan, kecewa, dan mundur dari suatu keterlibatan.
Sabda Tuhan yang kita dengar hari ini hendak
membarui komitmen kita dalam segala hal, namun terutama dimulai dengan
keterlibatan dalam hidup beriman. Kita perlu bersikap jujur dan melihat kembali
motivasi kita ketika terlibat dalam kelompok pelayanan, ketika menjalin relasi dengan
orang lain, ketika menjalani profesi atau jalan hidup tertentu, dan seterusnya.
Dalam semua keterlibatan itu, Tuhan selalu bertanya kepada kita tentang apa
yang sejatinya kita cari, sebab Ia tidak mengharapkan seorang pengikut yang
hanya mencoba-coba. Kalau berani mengasihi Dia dengan tulus dan setia ‘tinggal’
di dekat-Nya, kita tidak akan salah menanggapi panggilan-Nya.
Dari kesetiaan iman di dalam hati, kita akan
dibimbing oleh Roh Kudus untuk menemukan sukacita rohani melalui setiap
komitmen kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar