Sabtu, 10 Februari 2018

Dengan Belas Kasih Saja

Minggu Biasa VI (B)
Im 13:1-2.44-46, 1Kor 10:31-11:1, Mrk 1:40-45

Sikap antipati tak pernah membawa manfaat. Awalnya hanya rasa tidak suka, namun lama kelamaan menjadi kecenderungan menghindari. Di masyarakat kita selalu ada orang-orang yang dianggap ‘aneh’ dan karenanya cenderung dijauhi. Padahal, sering kali yang terjadi sebenarnya ialah perasaan rendah diri. Sebagian orang ingin menutupi kelemahannya dengan perilaku yang menurut kita aneh atau membuat kesal. Akan tetapi, menghindari mereka adalah suatu sikap yang tidak adil, sebab dengan begitu kita tidak membantu apa-apa. Maraknya diskriminasi terhadap orang-orang yang merasa rendah diri adalah bukti bahwa masyarakat kita masih kurang mampu mengasihani.

Apakah situasi kebersamaan iman kita lebih baik? Mungkin tidak. Diskriminasi juga terjadi dalam hidup bersama menggereja. Ketika membeda-bedakan sikap terhadap orang lain, apalagi terhadap mereka yang kita layani, kita belum sungguh-sungguh menjalankan nasihat Injil. Dibutuhkan kesadaran untuk setiap kali mengingat teladan Kristus, yang menghendaki agar keselamatan disampaikan kepada semua orang, tanpa membeda-bedakan.

Setelah mendekatkan diri kepada Bapa dalam keheningan, Yesus memutuskan bahwa Ia harus pergi ke kota-kota lain (Yun. ‘komopoleis’), yang lebih tepatnya berarti desa-desa di pinggiran Galilea. Injil Markus melukiskan gerakan Yesus yang mengarah ke daerah kumuh, yakni wilayah-wilayah yang dianggap sebagai tempat ‘pembuangan’. Oleh karenanya tidaklah mengejutkan bahwa di daerah seperti ini seseorang yang sakit kusta mendatangi Yesus. Orang itu mendekat kepada Yesus, dan ini adalah ‘pelanggaran’ aturan, karena mereka yang berpenyakit kusta pada waktu itu harus memisahkan diri. Bukan hanya itu, bahkan Yesus pun tergerak oleh belas kasihan, lalu “mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu”! Uluran tangan Yesus menyembuhkan, meskipun tindakan itu juga dianggap melanggar aturan.

Yesus tidak membiarkan orang yang susah semakin menderita karena aturan sosial dan keagamaan. Ia membersihkan penyakit orang kusta itu sekaligus memulihkan martabatnya, maka Ia menyuruhnya supaya memperlihatkan diri kepada imam. Dari kata-kata permohonannya yang ganjil (“Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku”), Yesus mengerti bahwa orang ini sudah sering diusir dan ditolak. Ada mentalitas di masyarakat yang tidak mendukung martabat manusia.

Dalam keseharian kita, sikap apapun yang mengecualikan dan membedakan perlakuan biasanya menyembunyikan sesuatu yang tidak benar. Orang yang berpenampilan lusuh tidak dilayani ketika masuk ke konter penjualan pakaian bermerek. Orang yang kurang dikenal dalam sebuah perkumpulan cenderung diabaikan dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam kehidupan beriman, mereka yang kurang pandai berbicara biasanya tidak diberi kesempatan dalam kepemimpinan, sehingga akhirnya pengurus adalah orang-orang yang sama dari tahun ke tahun. Pelayanan kita sering ditentukan oleh penilaian pribadi, dan kalau perlu kita mau supaya penilaian pribadi itu dijadikan aturan. Pelayanan seperti ini bersifat bias serta diskriminatif, dan itu mencerminkan watak kita sendiri yang sesungguhnya kurang mampu mengasihani. Kita mungkin belum menyelamatkan siapapun.

Gambaran kerasnya aturan keagamaan yang semakin meruntuhkan martabat manusia kita temukan dalam Kitab Imamat (Bacaan I). Sebuah maksud yang baik untuk mengarantina para penderita kusta berlanjut menjadi aturan-aturan yang hanya menambah penderitaan jasmani dan rohani mereka. Aturan itu seakan-akan dibuat agar jangan ada yang tertular penyakit, lebih dari bagaimana supaya yang sakit itu bisa disembuhkan. Penting bagi kita untuk berhati-hati dalam menyimpulkan kehendak Tuhan, sebab Tuhan pasti menghendaki kesembuhan dan keselamatan umat-Nya, bukan semakin beratnya penderitaan mereka.

Sabda Tuhan hari ini menyingkapkan apa yang tersembunyi di balik perlakuan kita terhadap sesama yang ditimpa kesusahan. Kita diajak menyelidiki hati kita sendiri: mengapa kita menambahkan kesusahan pada mereka yang hidupnya malang? Perilaku aneh saudara kita mungkin menutupi sebuah penderitaan. Mengecualikan, membedakan perlakuan, atau menghindari mereka tidaklah membantu sama sekali. Di masa kita ini tanggapan iman yang terbaik adalah belas kasihan, sebab hanya sikap itu yang akan membawa kesembuhan rohani dan pemulihan martabat bagi orang-orang yang kita layani.

Semoga praktik kehidupan iman kita mendatangkan manfaat yang sungguh-sungguh dirasakan oleh orang-orang di lingkungan tempat tinggal kita. Di saat mengutamakan belas kasihan di atas berbagai pertimbangan lain, kita akan menyembuhkan banyak jiwa yang menderita, sebab itulah juga yang telah dilakukan Yesus terhadap diri kita sendiri.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar