Im 13:1-2.44-46, 1Kor 10:31-11:1,
Mrk 1:40-45
Sikap
antipati tak pernah membawa manfaat. Awalnya hanya rasa tidak suka, namun lama
kelamaan menjadi kecenderungan menghindari. Di masyarakat kita selalu ada orang-orang
yang dianggap ‘aneh’ dan karenanya cenderung dijauhi. Padahal, sering kali yang
terjadi sebenarnya ialah perasaan rendah diri. Sebagian orang ingin menutupi kelemahannya
dengan perilaku yang menurut kita aneh atau membuat kesal. Akan tetapi, menghindari
mereka adalah suatu sikap yang tidak adil, sebab dengan begitu kita tidak
membantu apa-apa. Maraknya diskriminasi terhadap orang-orang yang merasa rendah
diri adalah bukti bahwa masyarakat kita masih kurang mampu mengasihani.
Apakah
situasi kebersamaan iman kita lebih baik? Mungkin tidak. Diskriminasi juga
terjadi dalam hidup bersama menggereja. Ketika membeda-bedakan sikap terhadap
orang lain, apalagi terhadap mereka yang kita layani, kita belum
sungguh-sungguh menjalankan nasihat Injil. Dibutuhkan kesadaran untuk setiap
kali mengingat teladan Kristus, yang menghendaki agar keselamatan disampaikan
kepada semua orang, tanpa membeda-bedakan.
Setelah
mendekatkan diri kepada Bapa dalam keheningan, Yesus memutuskan bahwa Ia harus
pergi ke kota-kota lain (Yun. ‘komopoleis’), yang lebih tepatnya berarti
desa-desa di pinggiran Galilea. Injil Markus melukiskan gerakan Yesus yang
mengarah ke daerah kumuh, yakni wilayah-wilayah yang dianggap sebagai tempat
‘pembuangan’. Oleh karenanya tidaklah mengejutkan bahwa di daerah seperti ini
seseorang yang sakit kusta mendatangi Yesus. Orang itu mendekat kepada Yesus, dan
ini adalah ‘pelanggaran’ aturan, karena mereka yang berpenyakit kusta pada
waktu itu harus memisahkan diri. Bukan hanya itu, bahkan Yesus pun tergerak
oleh belas kasihan, lalu “mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu”! Uluran
tangan Yesus menyembuhkan, meskipun tindakan itu juga dianggap melanggar
aturan.
Yesus
tidak membiarkan orang yang susah semakin menderita karena aturan sosial dan
keagamaan. Ia membersihkan penyakit orang kusta itu sekaligus memulihkan
martabatnya, maka Ia menyuruhnya supaya memperlihatkan diri kepada imam. Dari
kata-kata permohonannya yang ganjil (“Kalau Engkau mau, Engkau dapat
mentahirkan aku”), Yesus mengerti bahwa orang ini sudah sering diusir dan
ditolak. Ada mentalitas di masyarakat yang tidak mendukung martabat manusia.
Dalam
keseharian kita, sikap apapun yang mengecualikan dan membedakan perlakuan
biasanya menyembunyikan sesuatu yang tidak benar. Orang yang berpenampilan
lusuh tidak dilayani ketika masuk ke konter penjualan pakaian bermerek. Orang
yang kurang dikenal dalam sebuah perkumpulan cenderung diabaikan dan tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam kehidupan beriman, mereka yang
kurang pandai berbicara biasanya tidak diberi kesempatan dalam kepemimpinan,
sehingga akhirnya pengurus adalah orang-orang yang sama dari tahun ke tahun.
Pelayanan kita sering ditentukan oleh penilaian pribadi, dan kalau perlu kita
mau supaya penilaian pribadi itu dijadikan aturan. Pelayanan seperti ini bersifat
bias serta diskriminatif, dan itu mencerminkan watak kita sendiri yang
sesungguhnya kurang mampu mengasihani. Kita mungkin belum menyelamatkan
siapapun.
Gambaran
kerasnya aturan keagamaan yang semakin meruntuhkan martabat manusia kita
temukan dalam Kitab Imamat (Bacaan I). Sebuah maksud yang baik untuk
mengarantina para penderita kusta berlanjut menjadi aturan-aturan yang hanya
menambah penderitaan jasmani dan rohani mereka. Aturan itu seakan-akan dibuat
agar jangan ada yang tertular penyakit, lebih dari bagaimana supaya yang sakit
itu bisa disembuhkan. Penting bagi kita untuk berhati-hati dalam menyimpulkan
kehendak Tuhan, sebab Tuhan pasti menghendaki kesembuhan dan keselamatan umat-Nya,
bukan semakin beratnya penderitaan mereka.
Sabda
Tuhan hari ini menyingkapkan apa yang tersembunyi di balik perlakuan kita
terhadap sesama yang ditimpa kesusahan. Kita diajak menyelidiki hati kita
sendiri: mengapa kita menambahkan kesusahan pada mereka yang hidupnya malang?
Perilaku aneh saudara kita mungkin menutupi sebuah penderitaan. Mengecualikan,
membedakan perlakuan, atau menghindari mereka tidaklah membantu sama sekali. Di
masa kita ini tanggapan iman yang terbaik adalah belas kasihan, sebab hanya
sikap itu yang akan membawa kesembuhan rohani dan pemulihan martabat bagi orang-orang
yang kita layani.
Semoga
praktik kehidupan iman kita mendatangkan manfaat yang sungguh-sungguh dirasakan
oleh orang-orang di lingkungan tempat tinggal kita. Di saat mengutamakan belas
kasihan di atas berbagai pertimbangan lain, kita akan menyembuhkan banyak jiwa
yang menderita, sebab itulah juga yang telah dilakukan Yesus terhadap diri kita
sendiri.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar