Kej 9:8-15, 1Ptr 3:18-22, Mrk
1:12-15
oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Sekali-sekali,
kita perlu ditugaskan di tempat yang asing. Terlalu lama berada di tempat kita
yang sekarang bisa membuat kita tinggi hati, merasa diri sudah hebat dan tidak
mau belajar lagi. Sebaliknya, sebuah pengalaman di tempat lain, meskipun
sementara, menantang perubahan diri. Ketika orang-orang sekitar tidak mengenali
siapa kita dan tidak tahu kemampuan kita, sebuah kesadaran akan membuka mata
hati kita. Mungkin hanya situasi-situasi asing itu dalam perjalanan hidup yang
telah mengubah diri kita secara luar biasa. Pengalaman di tempat-tempat baru
itu mengejutkan sekaligus menyadarkan. Kita baru sadar bahwa masih banyak hal yang
mesti kita pelajari, dan yang hanya akan kita alami di tempat yang asing.
Begitulah
iman mengubah hidup kita. Dalam keseharian kita, ada perubahan diri karena iman
dan juga perubahan karena terpaksa. Yang terakhir itu lebih merupakan kesadaran
yang sudah terlambat. Kadang-kadang kita baru berubah karena tidak ada pilihan
lagi. Kalau sudah kena penyakit, misalnya, kita baru berpikir untuk mengubah
pola makan. Ini pun belum tentu diteruskan setelah kita sembuh. Masa Prapaskah
ini adalah “padang gurun” yang perlu kita jalani, supaya perubahan yang baik
dalam hidup kita tidak hanya bersifat sementara.
Dalam
Injil, dikisahkan bahwa Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun. Markus
menggunakan istilah yang bahkan lebih mengejutkan, ‘ekballei’ (Yun.), yakni
bahwa Roh “melemparkan Yesus keluar”. Artinya, Yesus memang ditempatkan oleh
Roh ke padang gurun (Yun. ‘eremos’), yang lebih berarti tempat yang asing atau
daerah antah berantah. Tidak seperti kisah serupa dalam Injil Matius dan Lukas
yang lebih rinci menceritakan cobaan dan dialog dengan Iblis, Markus ingin
menekankan hal yang lain dalam Injilnya. Yang lebih penting baginya bukanlah
isi pencobaan Yesus, melainkan keadaan “padang gurun” itu.
Padang
gurun melukiskan sebuah keadaan yang menantang iman untuk hanya percaya pada
penyelenggaraan ilahi. Yesus tinggal di tempat itu selama empat puluh hari, di
antara binatang- binatang liar, dan dilayani oleh para malaikat. Bahwa
pengalaman ini dituliskan oleh para penginjil menandakan pentingnya bagi
kelanjutan karya penyelamatan Yesus di dunia. Pengalaman itu ‘harus’ terjadi
dalam kehidupan Yesus. Keberadaan di padang gurun dalam waktu yang lama adalah
ungkapan kesetiaan dan kepercayaan-Nya kepada Bapa.
Dunia
kita ini mengajarkan bagaimana mempertahankan keadaan yang sudah baik. Oleh
karenanya, kita terbiasa menjaga relasi dengan orang-orang yang menguntungkan
diri kita sendiri. Kita lekas merasa takut kalau suatu saat hendak ditugaskan
di daerah yang baru sama sekali, sebab itu berarti kehilangan relasi yang
sekarang sudah menyenangkan. Dan kehilangan relasi itu ibarat memulai lagi
segalanya dari nol. Siapa yang mau memulai lagi banyak hal dalam hidupnya? Kita
sering tenggelam dalam ilusi bahwa hidup kita ini sudah baik, jadi tidak usah
melakukan hal-hal baru yang hanya akan membawa risiko ketidakpastian serta kegagalan.
Akan tetapi, iman kita hanya membawa kekuatan di tengah tantangan. Kalau tidak
ada risiko, kita pun tidak akan sampai pada iman. Saat ini kita perlu bertanya
kepada diri sendiri: apakah kita rela mengalami situasi-situasi yang asing
dalam hidup kita? Atau kita memilih bertahan dengan keadaan yang sekarang
meskipun tidak ada perubahan apapun?
Kisah
tentang air bah di zaman Nuh dalam Kitab Kejadian (Bacaan I) menginspirasi
berbagai generasi. Air yang biasanya dipandang menghidupkan dan menyegarkan,
pada suatu ketika menjadi bersifat menghanyutkan dan bahkan memusnahkan
kehidupan. Akan tetapi, apa yang terjadi setelah peristiwa air bah
menyingkapkan rencana Allah, yakni memulihkan segala sesuatu melalui perjanjian
yang baru. Ia akan menempatkan busur-Nya di awan sebagai tanda perjanjian itu.
Kisah ini mengingatkan kita pada kesetiaan Allah dalam berbagai peristiwa hidup
yang kita alami. Layaknya pelangi tampak di tengah hujan, busur keselamatan
Allah adalah jaminan di tengah ketidakpastian.
Hari
ini kita dihadapkan pada tantangan dari situasi “padang gurun”, yakni
tempat-tempat asing yang seharusnya menumbuhkan dan menguatkan iman kita. Hanya
bertahan dalam keadaan saat ini yang menurut kita “sudah baik” akan menghalangi
setiap kesempatan untuk belajar. Selama masih menolak untuk dibawa ke situasi
yang baru agar diri kita dibentuk kembali oleh Roh Kudus, kita akan tetap
bersikap tinggi hati di hadapan orang lain dan dunia ini. Seharusnya kita sadar
bahwa iman kita akan membantu mewujudkan perubahan diri yang baik karena
percaya pada rencana Allah – perubahan karena percaya, bukan karena terpaksa.
Semoga
kita berani tinggal dalam situasi-situasi baru yang menantang iman kita.
Seperti yang dialami Yesus di padang gurun, kita akan melihat kehadiran Allah
yang selalu setia pada janji-Nya, asalkan kita percaya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar