Sabtu, 10 Maret 2018

Allah Begitu Mengasihi Dunia



Minggu Prapaska IV (B)
2Taw 36:14-16.19-23, Ef 2:4-10, Yoh 3:14-21

Carl Jung pernah mengatakan, “Seseorang mengalami pencerahan bukan karena membayangkan terang, tetapi karena menyadari kegelapan”. Kalau sedang sakit, kita harus mencari penyebab rasa sakit itu dulu untuk bisa mengupayakan kesembuhan. Bagian itulah yang biasanya ‘gelap’. Seseorang bisa terus menerus mengeluh kesakitan, tapi tidak mau mengatakan bagian mana yang sakit. Padahal, ketika yang gelap ditemukan, dikenali, dan diterima sebagai bagian dari diri, kesembuhan dan keselamatan ada di depan mata. Menghadapi kegelapan diri adalah hal yang paling sulit dan cenderung kita hindari, namun itu justru adalah awal hidup yang baru bagi kita.

Bicara tentang kegelapan akan lekas mengarahkan pandangan kita pada dunia sekitar kita. Ada sementara orang yang tidak mau membaca berita di koran karena terlalu banyak kejahatan, yang juga makin mengerikan setiap hari. Umat kristiani pun kadang-kadang tidak mau membuka mata terhadap dosa yang semakin dianggap biasa di sekitarnya. Menghindari semua itu adalah ibarat tak mau melihat salib, dan hanya berpikir tentang mukjizat. Kalau demikian, apa itu iman?

Berbeda dari para penulis Injil lain, Yohanes menekankan sisi yang sangat berbeda salib. Dalam Injil hari ini, Yesus mengaitkan langsung antara salib-Nya dan tindakan Musa meninggikan ular di padang gurun.Kalau orang-orang Israel di padang gurun yang memandang ular itu menjadi sembuh, di sini lebih lagi mereka yang memandang Yesus di kayu salib akan memperoleh “hidup yang kekal”. Salib, seperti juga ular, melambangkan kegelapan, tapi Yesus menjadikannya sumber keselamatan karena diri-Nya. Yohanes melukiskan bahwa perjalanan Yesus menuju salib adalah sebuah pengangkatan: “Anak Manusia harus ditinggikan”. Dengan begitu, semakin banyak orang akan dapat memandang Yesus dan diselamatkan.

Salib Kristus adalah cara Allah untuk menyelamatkan dunia. Kata-kata yang sangat kita kenal itu menjelaskannya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini...” Perhatikanlah bagaimana Yohanes menuliskan ‘dunia’, bukan ‘manusia’. Allah memang sangat mengasihi dunia, dan bukan hanya manusia. Dunia ini termasuk semua sisi kegelapan dan kejahatan di dalamnya. Allah melihat kegelapan itu dan membiarkan Anak-Nya yang tunggal masuk ke dalamnya dan menyelamatkan dunia dari atas salib yang ditinggikan.

Bagaimana pandangan kita tentang dunia tempat tinggal kita ini? Kita dengan mudah akan menemukan sikap-sikap yang cenderung merendahkan dunia. Eksploitasi alam adalah salah satu contohnya. Kita juga membiarkan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang cenderung mengotori atau menambah gelap situasi sekitar. Kalau dunia sekitar itu meliputi orang-orang yang kita jumpai setiap hari, sikap “tidak mengasihi” dunia akan lebih banyak lagi ditemukan. Sikap ‘membiarkan’ bisa kita renungkan cukup panjang, dan itulah alasan mengapa ketidakpedulian terhadap lingkungan dan sesama masih menodai penghayatan iman kita. Dalam terang Injil yang kita dengar hari ini, ternyata ada banyak sikap dan tindakan kita yang tidak mengungkapkan kasih kepada dunia. Seandainya tergerak oleh kasih itu, kita pasti sudah membuka mata terhadap kegelapan di sekitar, serta berjuang semampu kita menyelamatkan siapapun dan apapun yang terjebak di dalamnya.

Dalam Kitab Tawarikh (Bacaan I) kita mengetahui bahwa suatu ketika Israel pernah mengalami masa pembuangan yang tidak akan mereka lupakan. Masa kegelapan itu bisa ditelusuri kembali hingga ketidaksetiaan dan penolakan mereka terhadap utusan-utusan Tuhan. Akan tetapi, di tengah semua itu terselip sikap Tuhan yang sesungguhnya, yakni “karena Tuhan sayang kepada umat-Nya dan kepada tempat kediaman-Nya”. Kata-kata ini sangat mengharukan karena terdengar persis di tengah keputusasaan yang menghinggapi Israel di tempat pembuangan. Kita bisa membayangkan bahwa Tuhan tidak mungkin menghendaki kesusahan dan penderitaan kita alami, tapi saat menyadari bahwa kita selalu dikasihi-Nya, kita akan melihat bahwa pemulihan ada di depan mata.

Kalau setiap hari belajar memikul salib masing-masing dan melanjutkan hidup dengan optimistis, kita sebetulnya sudah mencicipi kehidupan kekal yang dijanjikan Yesus. Kita jangan mengalihkan pandangan dari kegelapan di sekitar kita. Kita justru diundang untuk memandangnya, karena Kristus bertahta di atas salib, di tempat-tempat itu. Kristus rela ditinggikan di sana, karena itulah satu-satunya ‘cara’ yang dipakai Allah Bapa-Nya untuk menyelamatkan dunia ini. Hari ini kita diingatkan untuk menemukan, mengenali, dan menerima kegelapan sebagai bagian dari dunia, yang begitu dikasihi Allah ini. Iman adalah kesempatan yang ditawarkan Bapa kepada kita melalui salib, dan bukan melalui mukjizat.

Semoga kita selalu sadar bahwa Bapa sangat mengasihi dunia beserta kita semua yang menempatinya. Ia hanya mau menyelamatkannya. Semoga kita pun bersikap demikian.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar