Minggu
Prapaska IV (B)
2Taw
36:14-16.19-23, Ef 2:4-10, Yoh 3:14-21
Carl
Jung pernah mengatakan, “Seseorang mengalami pencerahan bukan karena
membayangkan terang, tetapi karena menyadari kegelapan”. Kalau sedang sakit,
kita harus mencari penyebab rasa sakit itu dulu untuk bisa mengupayakan
kesembuhan. Bagian itulah yang biasanya ‘gelap’. Seseorang bisa terus menerus
mengeluh kesakitan, tapi tidak mau mengatakan bagian mana yang sakit. Padahal,
ketika yang gelap ditemukan, dikenali, dan diterima sebagai bagian dari diri,
kesembuhan dan keselamatan ada di depan mata. Menghadapi kegelapan diri adalah hal
yang paling sulit dan cenderung kita hindari, namun itu justru adalah awal
hidup yang baru bagi kita.
Bicara
tentang kegelapan akan lekas mengarahkan pandangan kita pada dunia sekitar
kita. Ada sementara orang yang tidak mau membaca berita di koran karena terlalu
banyak kejahatan, yang juga makin mengerikan setiap hari. Umat kristiani pun
kadang-kadang tidak mau membuka mata terhadap dosa yang semakin dianggap biasa
di sekitarnya. Menghindari semua itu adalah ibarat tak mau melihat salib, dan
hanya berpikir tentang mukjizat. Kalau demikian, apa itu iman?
Berbeda
dari para penulis Injil lain, Yohanes menekankan sisi yang sangat berbeda
salib. Dalam Injil hari ini, Yesus mengaitkan langsung antara salib-Nya dan
tindakan Musa meninggikan ular di padang gurun.Kalau orang-orang Israel di
padang gurun yang memandang ular itu menjadi sembuh, di sini lebih lagi mereka
yang memandang Yesus di kayu salib akan memperoleh “hidup yang kekal”. Salib,
seperti juga ular, melambangkan kegelapan, tapi Yesus menjadikannya sumber
keselamatan karena diri-Nya. Yohanes melukiskan bahwa perjalanan Yesus menuju salib
adalah sebuah pengangkatan: “Anak Manusia harus ditinggikan”. Dengan begitu,
semakin banyak orang akan dapat memandang Yesus dan diselamatkan.
Salib
Kristus adalah cara Allah untuk menyelamatkan dunia. Kata-kata yang sangat kita
kenal itu menjelaskannya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini...”
Perhatikanlah bagaimana Yohanes menuliskan ‘dunia’, bukan ‘manusia’. Allah
memang sangat mengasihi dunia, dan bukan hanya manusia. Dunia ini termasuk
semua sisi kegelapan dan kejahatan di dalamnya. Allah melihat kegelapan itu dan
membiarkan Anak-Nya yang tunggal masuk ke dalamnya dan menyelamatkan dunia dari
atas salib yang ditinggikan.
Bagaimana
pandangan kita tentang dunia tempat tinggal kita ini? Kita dengan mudah akan
menemukan sikap-sikap yang cenderung merendahkan dunia. Eksploitasi alam adalah
salah satu contohnya. Kita juga membiarkan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang
cenderung mengotori atau menambah gelap situasi sekitar. Kalau dunia sekitar
itu meliputi orang-orang yang kita jumpai setiap hari, sikap “tidak mengasihi” dunia
akan lebih banyak lagi ditemukan. Sikap ‘membiarkan’ bisa kita renungkan cukup
panjang, dan itulah alasan mengapa ketidakpedulian terhadap lingkungan dan
sesama masih menodai penghayatan iman kita. Dalam terang Injil yang kita dengar
hari ini, ternyata ada banyak sikap dan tindakan kita yang tidak mengungkapkan
kasih kepada dunia. Seandainya tergerak oleh kasih itu, kita pasti sudah
membuka mata terhadap kegelapan di sekitar, serta berjuang semampu kita menyelamatkan
siapapun dan apapun yang terjebak di dalamnya.
Dalam
Kitab Tawarikh (Bacaan I) kita mengetahui bahwa suatu ketika Israel pernah
mengalami masa pembuangan yang tidak akan mereka lupakan. Masa kegelapan itu
bisa ditelusuri kembali hingga ketidaksetiaan dan penolakan mereka terhadap
utusan-utusan Tuhan. Akan tetapi, di tengah semua itu terselip sikap Tuhan yang
sesungguhnya, yakni “karena Tuhan sayang kepada umat-Nya dan kepada tempat kediaman-Nya”.
Kata-kata ini sangat mengharukan karena terdengar persis di tengah keputusasaan
yang menghinggapi Israel di tempat pembuangan. Kita bisa membayangkan bahwa
Tuhan tidak mungkin menghendaki kesusahan dan penderitaan kita alami, tapi saat
menyadari bahwa kita selalu dikasihi-Nya, kita akan melihat bahwa pemulihan ada
di depan mata.
Kalau
setiap hari belajar memikul salib masing-masing dan melanjutkan hidup dengan
optimistis, kita sebetulnya sudah mencicipi kehidupan kekal yang dijanjikan
Yesus. Kita jangan mengalihkan pandangan dari kegelapan di sekitar kita. Kita
justru diundang untuk memandangnya, karena Kristus bertahta di atas salib, di
tempat-tempat itu. Kristus rela ditinggikan di sana, karena itulah satu-satunya
‘cara’ yang dipakai Allah Bapa-Nya untuk menyelamatkan dunia ini. Hari ini kita
diingatkan untuk menemukan, mengenali, dan menerima kegelapan sebagai bagian
dari dunia, yang begitu dikasihi Allah ini. Iman adalah kesempatan yang
ditawarkan Bapa kepada kita melalui salib, dan bukan melalui mukjizat.
Semoga
kita selalu sadar bahwa Bapa sangat mengasihi dunia beserta kita semua yang
menempatinya. Ia hanya mau menyelamatkannya. Semoga kita pun bersikap demikian.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar