Minggu
Palma (B) 2018
“RAJA-KU
DAN SALIB-MU?”
Mrk
11:1-10; Yes 50:4-7, Flp 2:6-11, Mrk 14:1 – 15:47
Keuntungan
adalah batas ‘kesetiaan’. Kita tidak nyaman dengan kata-kata tersebut, tapi
itulah yang sering terjadi. Setidak-tidaknya, itulah yang diajarkan dunia. Dari
panggung politik sampai warung makan di pinggir jalan, kesetiaan dimengerti
sebatas keuntungan yang diperoleh. Dukungan suara dalam berpolitik adalah hal
yang paling dicari. Ketika itu tak didapat lagi, berarti orang sudah pindah ke calon
penguasa yang lain. Datang dan makan di sebuah warung pun diukur demikian.
Kalau tiba-tiba tidak muncul lagi, berarti pelanggan sudah beralih ke warung
yang lain. Pengikut ataupun pelanggan disebut ‘setia’, hanya kalau
menguntungkan.
Dalam
kehidupan relasi kita, banyak orang datang dan pergi. Kita sudah hampir
terbiasa dengan hal itu, bahkan mungkin sampai lupa memperhatikan, siapa yang
masih kita kontak dan siapa yang tidak. Barangkali kita pun cenderung setia
dengan mereka yang menyenangkan diri kita saja. Dalam konteks iman, kesetiaan
relasi akan diukur dengan salib; bukan di saat kita mengalaminya, melainkan
ketika orang lain sedang memikul salibnya.
Bagian
Injil yang kita dengar sebelum perarakan palma mengisahkan Yesus yang
dielu-elukan banyak orang ketika memasuki Yerusalem. Bagian Injil yang kita
dengar kemudian adalah Kisah Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus hingga wafat-Nya
di kayu salib. Kedua bagian Injil Markus ini menggambarkan Yesus yang disambut
sebagai raja, namun dari sudut pandang yang persis berlawanan. Meskipun begitu,
orang-orang yang berada di sekitar dua peristiwa itu adalah orang-orang yang
sama. Di sini kita mungkin mulai terdiam. Bagaimana mungkin secepat itu orang berubah
sikap? Mereka menyambut Yesus sebagai raja yang rendah hati, dan tak lama
kemudian menyalibkan-Nya. Yesus tahu hal itu, maka berpesan lewat
murid-murid-Nya bahwa keledai yang dipinjam itu akan “segera dikembalikan”.
Ketika
Yesus memanggul salib-Nya di jalanan Yerusalem, teriakan banyak orang berubah.
Tidak ada gunanya lagi bagi mereka mendukung Yesus. Mereka semula mendaku Dia
sebagai ‘raja-ku’, tetapi kini melemparkan penderitaan itu sebagai ‘salib-Mu’
sendiri. Dalam seluruh kisah yang melukiskan ketidaksetiaan banyak orang itu,
kita melihat kesetiaan yang belum pernah ada dalam sejarah waktu itu. Kesetiaan
itu dijalani Yesus, hingga Ia menyapa Bapa-Nya, “Allah-Ku, ya Allah-Ku”. Itulah
saat yang paling intim Yesus dan Bapa, dan kehadiran ilahi itu dipahami oleh
kepala pasukan yang berkata, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!”
Dalam
hidup kita masing-masing, kita tidak mau berbicara terlalu ideal tentang makna
kesetiaan. Kita kerap berdalih bahwa menghayatinya cukup dengan melakukan
tanggung jawab yang sederhana, tetapi akibatnya kita tidak pernah lebih dari
yang sederhana itu. Mungkin bagi kita menerima dan menjalani kesusahan tiap
hari itu sudah cukup. Sayangnya, hal itu lebih mirip dengan tindakan
‘bertahan’. Mengapa bertahan? Sebab, kita hanya mau melewati hari demi hari,
menggunakan nama orang lain, atau spiritualitas tertentu, sebagai alasan yang
kedengaran luhur. Kalau ditanya dan tidak tahu harus menjawab apa, kita
mengatakan, “Yah, saya harus berbuat apa lagi”. Persis di saat merasa tak punya
pilihan, kita hanya bertahan dalam penderitaan. Kita belum sampai pada sebuah ungkapan
kasih. Yesus menjalani salib, namun tahu bahwa orang-orang yang pernah
menyambut dan kini menghujat-Nya ini tetap dikasihi-Nya! Perubahan sikap orang
lain seharusnya tidak mengubah kesetiaan kita.
Ketaatan
Hamba Allah yang dikisahkan Yesaya (Bacaan I) sangat mengharukan. Ketaatan itu
membuat sang Hamba mampu menanggung berbagai penghinaan, sebab ia tahu bahwa
Tuhan Allah adalah Penolongnya. Hamba itu meneguhkan hatinya seperti keteguhan
gunung batu, sebab ia tahu bahwa ia tidak akan mendapat malu. Setiap kali
kidung Hamba Allah ini dibacakan, orang tertegun mendengarnya. Ketaatan seperti
itu sesungguhnya bisa ditemukan dalam diri manusia, namun mungkin semakin hari
semakin langka. Sikap itu hanya dimungkinkan oleh relasi yang sangat dekat
dengan Tuhan, relasi kasih yang tidak dapat diukur oleh apapun juga.
Minggu
Palma yang kita rayakan adalah sebuah kesempatan untuk mengoreksi
ketidaksetiaan, yang semakin dianggap sebagai hal yang ‘biasa’. Daun palma yang
kita acungkan adalah pengingat pada salib; bukan salib kita, melainkan
salib-salib orang lain. Di hadapan kesusahan dan penderitaan orang lain, mulai
dari mereka yang terdekat, kita mau merenung, “Apakah aku ada di samping
mereka?” Dunia ini hanya mengajarkan keuntungan, tapi iman kita memberikan
alasan yang tak ternilai, yakni kasih. Di saat tergoda untuk berdalih apapun,
kita mesti kembali pada kemurnian relasi, karena kasih.
Semoga
kita tetap kristiani dan saling berelasi bukan karena suatu keuntungan, tapi
karena kesetiaan pada salib-salib orang lain. Kita akan berjalan bersama
mereka, hingga nanti diizinkan mengalami kehadiran ilahi Yesus dan Bapa-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar