Sabtu, 24 Maret 2018

Raja dan Salib-Mu


Minggu Palma (B) 2018

“RAJA-KU DAN SALIB-MU?”
Mrk 11:1-10; Yes 50:4-7, Flp 2:6-11, Mrk 14:1 – 15:47

Keuntungan adalah batas ‘kesetiaan’. Kita tidak nyaman dengan kata-kata tersebut, tapi itulah yang sering terjadi. Setidak-tidaknya, itulah yang diajarkan dunia. Dari panggung politik sampai warung makan di pinggir jalan, kesetiaan dimengerti sebatas keuntungan yang diperoleh. Dukungan suara dalam berpolitik adalah hal yang paling dicari. Ketika itu tak didapat lagi, berarti orang sudah pindah ke calon penguasa yang lain. Datang dan makan di sebuah warung pun diukur demikian. Kalau tiba-tiba tidak muncul lagi, berarti pelanggan sudah beralih ke warung yang lain. Pengikut ataupun pelanggan disebut ‘setia’, hanya kalau menguntungkan.

Dalam kehidupan relasi kita, banyak orang datang dan pergi. Kita sudah hampir terbiasa dengan hal itu, bahkan mungkin sampai lupa memperhatikan, siapa yang masih kita kontak dan siapa yang tidak. Barangkali kita pun cenderung setia dengan mereka yang menyenangkan diri kita saja. Dalam konteks iman, kesetiaan relasi akan diukur dengan salib; bukan di saat kita mengalaminya, melainkan ketika orang lain sedang memikul salibnya.

Bagian Injil yang kita dengar sebelum perarakan palma mengisahkan Yesus yang dielu-elukan banyak orang ketika memasuki Yerusalem. Bagian Injil yang kita dengar kemudian adalah Kisah Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus hingga wafat-Nya di kayu salib. Kedua bagian Injil Markus ini menggambarkan Yesus yang disambut sebagai raja, namun dari sudut pandang yang persis berlawanan. Meskipun begitu, orang-orang yang berada di sekitar dua peristiwa itu adalah orang-orang yang sama. Di sini kita mungkin mulai terdiam. Bagaimana mungkin secepat itu orang berubah sikap? Mereka menyambut Yesus sebagai raja yang rendah hati, dan tak lama kemudian menyalibkan-Nya. Yesus tahu hal itu, maka berpesan lewat murid-murid-Nya bahwa keledai yang dipinjam itu akan “segera dikembalikan”.

Ketika Yesus memanggul salib-Nya di jalanan Yerusalem, teriakan banyak orang berubah. Tidak ada gunanya lagi bagi mereka mendukung Yesus. Mereka semula mendaku Dia sebagai ‘raja-ku’, tetapi kini melemparkan penderitaan itu sebagai ‘salib-Mu’ sendiri. Dalam seluruh kisah yang melukiskan ketidaksetiaan banyak orang itu, kita melihat kesetiaan yang belum pernah ada dalam sejarah waktu itu. Kesetiaan itu dijalani Yesus, hingga Ia menyapa Bapa-Nya, “Allah-Ku, ya Allah-Ku”. Itulah saat yang paling intim Yesus dan Bapa, dan kehadiran ilahi itu dipahami oleh kepala pasukan yang berkata, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!”

Dalam hidup kita masing-masing, kita tidak mau berbicara terlalu ideal tentang makna kesetiaan. Kita kerap berdalih bahwa menghayatinya cukup dengan melakukan tanggung jawab yang sederhana, tetapi akibatnya kita tidak pernah lebih dari yang sederhana itu. Mungkin bagi kita menerima dan menjalani kesusahan tiap hari itu sudah cukup. Sayangnya, hal itu lebih mirip dengan tindakan ‘bertahan’. Mengapa bertahan? Sebab, kita hanya mau melewati hari demi hari, menggunakan nama orang lain, atau spiritualitas tertentu, sebagai alasan yang kedengaran luhur. Kalau ditanya dan tidak tahu harus menjawab apa, kita mengatakan, “Yah, saya harus berbuat apa lagi”. Persis di saat merasa tak punya pilihan, kita hanya bertahan dalam penderitaan. Kita belum sampai pada sebuah ungkapan kasih. Yesus menjalani salib, namun tahu bahwa orang-orang yang pernah menyambut dan kini menghujat-Nya ini tetap dikasihi-Nya! Perubahan sikap orang lain seharusnya tidak mengubah kesetiaan kita.

Ketaatan Hamba Allah yang dikisahkan Yesaya (Bacaan I) sangat mengharukan. Ketaatan itu membuat sang Hamba mampu menanggung berbagai penghinaan, sebab ia tahu bahwa Tuhan Allah adalah Penolongnya. Hamba itu meneguhkan hatinya seperti keteguhan gunung batu, sebab ia tahu bahwa ia tidak akan mendapat malu. Setiap kali kidung Hamba Allah ini dibacakan, orang tertegun mendengarnya. Ketaatan seperti itu sesungguhnya bisa ditemukan dalam diri manusia, namun mungkin semakin hari semakin langka. Sikap itu hanya dimungkinkan oleh relasi yang sangat dekat dengan Tuhan, relasi kasih yang tidak dapat diukur oleh apapun juga.

Minggu Palma yang kita rayakan adalah sebuah kesempatan untuk mengoreksi ketidaksetiaan, yang semakin dianggap sebagai hal yang ‘biasa’. Daun palma yang kita acungkan adalah pengingat pada salib; bukan salib kita, melainkan salib-salib orang lain. Di hadapan kesusahan dan penderitaan orang lain, mulai dari mereka yang terdekat, kita mau merenung, “Apakah aku ada di samping mereka?” Dunia ini hanya mengajarkan keuntungan, tapi iman kita memberikan alasan yang tak ternilai, yakni kasih. Di saat tergoda untuk berdalih apapun, kita mesti kembali pada kemurnian relasi, karena kasih.

Semoga kita tetap kristiani dan saling berelasi bukan karena suatu keuntungan, tapi karena kesetiaan pada salib-salib orang lain. Kita akan berjalan bersama mereka, hingga nanti diizinkan mengalami kehadiran ilahi Yesus dan Bapa-Nya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar